Berbaris rapi bak tentara, saya dan grup menanti lambaian kereta express Minami Otari seharga 590 yen dari Shinjuku station, Tokyo. Senangnya si cepat itu setia mengantar langkah kami ke stasiun terakhir dimana masyarakat desa Maki yang unik nan terpencil di Hinode prefecture telah menanti.
Setiba di stasiun Hakuda yang kecil, penat tubuh menyerang tetapi karena saya wanita, paling tidak bisa melihat barang-barang bagus di sebuah toko souvenir. Untungnya kami tak berlama-lama disana, bisa bangkrut!
Kaki kami berlomba-lomba mencapai rumah kades di kaki gunung Maki. Sesampai di rumah Makoto Wiyajima san, sang istri mempersilahkan kami untuk duduk dan menikmati rumah yang khas Jepang itu. Katanya lagi sang kades masih berada di puncak.
Tak berapa lama Pak kades datang dengan motor sportnya dan mempersilahkan kami mendahului untuk naik ke puncak gunung karena beliau ada urusan dirumah yang harus ia selesaikan dan akan menyusul nanti.
Di 5km pertama, ada base camp kecil dari kayu yang penuh rumah serangga (hiyyy). Pesan pak kades untuk berhati-hati karena banyak ular saya camkan sekali. Meskipun beliau menambahi bahwa ada mitos masyarakat Maki “Jika bertemu ular berarti rejeki nomplok”, tetap saja mata ini jelalatan untuk membedakan apakah yang saya injak di tanah itu akar pohon atau ular (whaaaa).
Untung saja pemandangan setara dengan Hinode lake, tak jemu menyegarkan mata. Dedaunan telah berubah merah dan kuning warnanya, maklum musim dingin. Sebuah sungai kecil yang kabarnya kerap disinggahi beruang untuk minum itu kami lewati (sayang setelah beberapa saat kami mengintai, beruang tak kunjung datang mungkin karena rombongan terlalu berisik). Anyway, gemericik airnya begitu menenangkan jiwa. Ini amat jauh berbeda dengan Yokohama atau Tokyo. Yo mestiiii …
[caption id="attachment_142500" align="aligncenter" width="694" caption="Hinode lake yang menawan"][/caption]
Setelah 1,5 jam berjalan dari bawah gunung dengan jalanan sepetak dan menanjak (dengan 5 menit pause), kami sampai di puncak juga (yuhuuu).
Bentangan hutan di belakang pemukiman Maki amat mempesona tapi serem. Ada kesan angker pula memandangi 12 rumah yang berdiri disana. Na, ja … rumah-rumah itu rata-rata berumur 80-100 tahun, berselimutkan kayu dan beratap jerami kering. Disana-sini lahannya ditanami sayuran dan buah-buahan.
Beberapa penduduk begitu leluasa menghiasi dinding luar dengan hasil tanaman yang dikeringkan untuk persiapan musim dingin dan salju, apik. Diseberang puncak Maki, salju telah menutupi permukaan gunung. Brrr …
Kata Makoto san, dulu nenek kakeknya bercerita tentang seorang anak kecil yang meninggal di salah satu rumah dari 12 rumah yang ada dipuncak Maki ini. Katanya, kalau menemukan hal-hal yang aneh diharap untuk cuek bebek saja dan tidak usah takut.
Jarak antara satu rumah dengan satu rumah lainnya sangat berjauhan. Jika ada hantu dan menjerit, siapa yang membantu ya?
[caption id="attachment_142501" align="aligncenter" width="654" caption="Rumah tempat kami menginap"][/caption]
Setelah makan siang, kami dibawa kehutan untuk diajak mengumpulkan kayu bakar. Adohhh ternyata lebih berat dari Jerman karena areanya yang berbukit itu. Kayu kami angkut dipunggung selama 4 kali PP,belum lagi hawa dingin yang menyerang kulit ahhh. Selanjutnya kami belajar membuat kawul dan grajen (red: gosrokan kayu untuk bahan bakar).
[caption id="attachment_142502" align="aligncenter" width="671" caption="Membuat kawul dan grajen"][/caption]
Petang harinya, kebiasaan unik masyarakat dipuncak Maki ini adalah laporan dari masing-masing orang tentang apa yang baru mereka selesaikan selama seharian berikut hasil yang didapat untuk dijual esok harinya di kota. Pertemuan ini biasanya diadakan diruang tengah yang sekaligus sebagai tempat membaca semacam perpustakaan dan menjadi ruang makan pula. Meja panjang yang rendah dengan cara duduk lesehan begitu lekat dalam budaya Jepang. [caption id="attachment_142503" align="aligncenter" width="664" caption="Lesehan di ruang serbaguna"][/caption]
Didinding rumah yang kami huni, foto-foto orang asing dari berbagai negara bermain ski di musim salju. Pesan dan kesan mereka berada dipuncak Maki terpampang disana dalam berbagai bahasa. That’s cool!
Dipojok ruangan ada almari khusus alat-alat tidur dari kasur, sprei, bantal dan selimut. Saya memasang 3 spresi dan 5 buah selimut dengan bantal kecil berisi butiran kacang-kacangan pada futong (red: kantong tidur a la Jepang). Barang sebanyak itu menumpuk di tubuh ini demi menghangatkan tubuh dari temperatur 5 derajat tanpa penghangat ruangan! Byuh-byuh!!!
Sayup-sayup terdengar obrolan teman-teman yang masih setia mengelilingi sebuah ceret besar yang digantung ditengah-tengah ruangan minum bersekat pintu kertas minyak. Sesekali seseorang membalik bara arang dengan capit.
Malam kian larut, semua berjajar rapi tertidur pulas disatu ruangan besar. Pada suatu ketika, terdengar bunyi aneh mengelilingi dinding kamar. Gedebag-gedebug … Saya terbangun di keheningan malam, terdengar suara berisik dan dinding bergerak-gerak. Apakah itu dari hantaman angin? Ah, teringat pesan pak kades soal hantu anak gentayangan, saya diam dan membenamkan kepala didalam selimut. Zzzz …
Pukul 6 pagi, sehabis sholat, saya ikut membantu penduduk Maki. Saya memilih ke kandang ayam; memberi makan ternak dan mengambil telur hingga dimasukkan didalam keranjang. Lima belas telur bercampur kotoran ayam itu saya serahkan kepada seseorang, agar nantinya dijual di kota.
Sepasang kambing putih yang tinggi dan gemuk ada dikandang sebelah. Makoto san menunjukkan cara memeras susu kambing kepada kami. Karena saya terlalu kencang memeras susunya, kaki kambing menyepak kesana-kemari. Saya kabur menyelamatkan diri.
Usai bekerja, saya segera mandi. Wow! Dipuncak gunung ini ada sebuah bath tub, washtafel dan shower modern berwarna putih. Tak terbayang bagaimana orang-orang dahulu mengangkutnya hingga kepuncak gunung. Selain berat, jalan yang menanjak dan panjang pastilah melelahkan. Sebuah Plumpsklo alias WC duduk yang memiliki sistem plung lap (begitu kecemplung langsung lap/menghilang tanpa setoran air itu) membuat saya geli dan ingat desa Indonesia.
Keheranan saya tak terhenti lantaran sebuah tabung besar untuk tenaga listrik didepan mata. Kabarnya dulu diangkat oleh 10 orang teman pak kades, demi meningkatkan pelayanan listrik bagi warga puncak. Pak kades menerangkan bahwa dua puluh tahunan yang lalu beberapa orang kaya memang datang dari kota untuk mengasingkan diri dari ributnya suasana modern untuk back to nature di puncak Maki. Walhasil berhektar-hektar tanah dipetak dan digarap untuk mendapatkan hasil bumi supaya di kemudian hari dijual dikota. Sayangnya desa ini lalu terbengkalai karena banyak orang yang akhirnya kembali keasalnya di kota.
Beberapa dari mereka telah meninggal dan dikubur dilapangan dekat pohon cemara. Kuburannya unik, bernisan batu kali saja dan asli, terkesan keangkerannya. Sedangkan 9 orang lainnya yang masih hidup tetap bergulat dengan alam bebas serta menunggu pendaki lainnya yang hendak singgah.
Sumber: artikel saya di SM beberapa tahun yang lalu “Gunung Maki, Jepang; Ketemu Beruang?” dengan berbagai editing.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H