Mohon tunggu...
Gaganawati Stegmann
Gaganawati Stegmann Mohon Tunggu... Administrasi - Telah Terbit: “Banyak Cara Menuju Jerman”

Housewife@Germany, founder My Bag is Your Bag, co founder KOTEKA, teacher, a Tripadvisor level 6, awardee 4 awards from Ambassadress of Hungary, H.E.Wening Esthyprobo Fatandari, M.A 2017, General Consul KJRI Frankfurt, Mr. Acep Somantri 2020; Kompasianer of the year 2020.

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Artikel Utama

"Full Day School" Tidak Dipaksakan

10 Agustus 2016   17:08 Diperbarui: 11 Agustus 2016   13:00 615
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bis kota-bis kota, full day school-nggak, sama saja (dok.Gana)

Indonesia sedang ribut membicarakan soal sekolah seharian. Ya. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI yang baru, Muhadjir Effendy, punya gebrakan dengan wacana menerapkan sistem full day school untuk pendidikan dasar (SD dan SMP), di sekolah negeri maupun swasta. Tanggapan pro dan kontra pasti adalaaaaah, termasuk dari target atau yang akan menjalani aka si anak itu sendiri. 

Wacana dipelajari berbagai pihak. Katanya akan jadi masalah kalau anaknya nggak mau, orang tua nggak mampu bayar ekstra uang makan, atau sekolah yang bersangkutan juga digunakan untuk sekolah pagi dan siang. Apakah full day school nanti akan bisa terlaksana? Hmmm, menurut saya, tidak usah dipaksakan! Ini seperti yang kami alami di Jerman bagian selatan.

Harus ada tanda tangan persetujuan orang tua

Oktober 2015. Ada undangan dari sekolah untuk kami para orang tua. Isinya, presentasi dari sekolah tentang rancangan Ganzetagschule - full day school.  SD tempat anak-anak kami sekolah itu tergolong bagus di area itu. Barangkali, mereka ingin meningkatkan pelayanan. Rapat juga dihadiri oleh Bürgermeister, pimpinan daerah setempat, selain dari sekolah dan orang tua murid. Saya tidak tahu, apakah nanti wacana yang sama di tanah air, juga akan diajukan kepada orang tua dalam sebuah pertemuan khusus atau tidak. Kita tunggu saja.

Nah, setelah selesai rapat di sekolah tentang full day school dan kembali ke rumah, saya diskusi sama suami dan tanya anak-anak. Hasilnya, kami tidak akan ikut menandatangani formulir persetujuan adanya Ganzetagschule untuk anak yang nomor tiga (naik kelas dua tahun ini). Alasannya, pertama, kami berdua di rumah. Sejak beberapa tahun terakhir, kantor suami jadi satu dengan rumah pribadi. Kalau saya mengajar misalnya dua hari, anak-anak suami yang ngawasi. Kalau suami saya ke luar negeri atau luar kota, saya masih ada dan mengatur jadwal anak biar ada yang mengawasi selama saya tidak ada. 

Alasan kedua, anak yang nomor satu dan tiga tidak mau ikut/tidak suka sekolah full day (ada pilihan di sekolah tapi nggak nggak ngambil). Sebenarnya, anak yang nomor dua memang sangat aktif. Dia saja yang mau. Idih, maunyaaa. Ketiga, mahal alias faktor ekonomi. Mengapa? Sekolah memang gratis tapi uang makan harus ditanggung, dengan harga standar. Uang itu bisa digunakan untuk keperluan pengembangan bakat anak seperti kursus piano atau apa kek yang dia suka dan pilih. Keempat, anak-anak sangat aktif ikut kegiatan sore seperti olahraga di balai kampung, berkuda, berenang, main alat musik dan tak kalah penting, bermain-bermain-bermain! 

Bagaimana pengaturan jadwal hobi yang waktunya tabrakan itu? Kalau anak-anak harus di sekolah dari jam 08.00-16.00, waktunya sudah mepet di rumah. Jam 18.00 biasanya jadwal makan malam, jam 19.00 sudah masuk kamar. Jam 20.00 rumah harus sepi (kecuali kalau hari sangat terang dan panas sekali). Kami pengen istirahat juga. Nggak mudah, tapi saya yakin kalau ritme diatur demikian, mereka terbiasa.

Begitulah. Beberapa bulan sebelum September 2016 (masa ajaran baru 2016/2017), sudah ada edaran lagi bagi semua orang tua, untuk meyakinkan apakah keputusan mereka bulat atau mau diganti. Ini pilhan yaaa ... bukan wajib! Sekolah full day nggak dipaksakan. Formulir pendaftaran full day school diberikan lagi. Isinya; informasi dan formulir yang lebih komplit untuk diisi data, misalnya penentuan akhir dari yang minat memasukkan anaknya ke sekolah seharian jadi tidak minat dan sebaliknya. Toh, waktu itu belum akhir masa ajaran (belum Juli 2016).

Apa pendapat para orang tua?

Berikutnya, kami para ibu ngobrol-ngobrol. Beberapa ibu mengaku sangat setuju dan terbantu dengan adanya sekolah seharian itu. Tentu saja karena mereka harus bekerja dari pukul 08.00-16.00. Kalau tidak ada orang tua atau mertua yang dititipi repot, bukan? Apalagi kalau orang tua tunggal, single parent. Bagi mereka uang tidak masalah. Toh, mereka mendapat gaji yang cukup. Pemda dan sekolah menanggapi kesulitan dengan solusi full day school itu.

Sedangkan orang tua seperti saya yang kebanyakan banyak di rumah, tidak ingin menyerahkan anaknya ke sekolah seharian. Separoh hari, cukup! Selain anaknya nggak mau, capek dehhh. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun