“Pinjem koleksi album fotomu dong ...“ Aku tersenyum. Anggrek mengangguk dan segera masuk kamar. Dikeluarkannya dua buah album.
“Ya ampuuuuun, banyak bangeeeet. Play girl kamu, koleksi foto cowoknyaaa .... Ini siapa?“ Perasaan sedikit iri itu menderaku. Kalau kupandang cermin, mukaku ayu. Kuakui, Anggrek lebih manis dariku. Apalagi kulitnya sangat eksotis, sawo matang. Kulitku sendiri pucat seperti tembok. Huh!
“Darma, pacar waktu SMP ... tiga tahun sih.“ Tanpa malu-malu teman baruku itu membuka jati diri si remaja.
“Yang ini?“ Mataku terbelalak melihat pria yang sedang selfie, menyetir mobil.
“Ah, itu, cuma main-main saja kok. Sebulan aja. Nggak pacaran beneran. Dia kan terlalu tua untukku. Aku butuh uang, dia butuh teman jalan-jalan. Sebentar saja, kok. Nggak pa-pa.“ Berbinar mata gadis berambut hitam, lebatdan panjang itu. Aku semakin gemes. Gemes sekali padanya. Dia memang beruntung. Pacaran saja aku baru pertama kali ini.
“Kamu bisa aja, Nggie.“ Nama Anggrek terlalu lama untuk kuucapkan. Dan dia setuju kupanggil Anggie. Kutanggapi curhatannya tadi sebagai sebuah lelucon.
“Wahhh ... yang ini ganteng banget. Siapa namanya?“ Mukaku memerah. Aku berakting. Untung saja Anggrek tak mengawasi perubahan drastis di ruang tamu yang sempit itu. Hanya ada dua buah kursi plastik, sebuah meja tua, buffet lemari hias dari kayu dan TV hitam putih yang barangkali jadi saksi menatap wajahku.
“Namanya Agus. Aku paling lama pacaran sama dia. Satu tahun. Waktu itu aku masih SMA, dia sudah kuliah semester pertama. Tapi kuputuskan bubaran karena dia mendua ....“ Mata Anggrek berkaca-kaca. Kualihkan perhatian. Kuminta ia memberiku segelas teh hangat manis sore itu, “Sebentar, ya, kubuatkan untukmu. Sepertinya emak menggoreng pisang tadi.“
Anggrek menghilang di antara gorden pintu. Tak berapa lama, dari gorden muncul Yanis, adik Anggrek.
“Lho, kenapa kakak ambil foto dari album?“ Si adik memergokiku memasukkan tiga lembar foto ke dalam tasku. Ia merebut foto-foto itu. Aku pertahankan foto yang kurasa pantas jadi milikku seorang. Keributan yang terjadi mengundang Anggrek kembali ke ruang tamu, tanpa pesanan yang kusebutkan tadi.
“Adik, ada apa teriak-teriak? Malu, ah ribut-ribut.“ Anggrek melerai kami. Ia peluk adiknya yang masih berseragam putih merah itu. Tangisannya meledak sembari bercerita tentang apa yang terjadi. Ucapannya kurang jelas, namun tetap kami pahami. Aku terdiam. Anggrek menatapku tajam.
“Kamu boleh mengambilnya. Aku tahu dia pacarmu dan bagiku dia hanya masa lalu. Aku tahu kamu pacar Agus.“ Heran. Sungguh aku heran Anggrek tidak marah. Tangisan Yanis makin menderu. Ia tetap tidak terima, foto milik kakaknya, diambil orang lain secara paksa. Dan orang itu adalah aku.
Aku pun tertunduk. Merapikan baju dan mengambil tas yang terjatuh dari tarik-menarik tadi. Tak perlu kutunggu teh manis yang belum jadi dan pisang goreng yang masih panas itu. Suasana sudah panas.
Sekali pun tak kutolehkan kepalaku. Jalan lurus terus menuju jalan raya. Meninggalkan gang sempit yang baru saja kukunjungi.
Di dalam angkota, kupandangi foto yang berhasil kucuri dan kurebut dari Anggrek. Agus adalah kekasihku sejak 2 tahun lalu. Aku tak ingin ada perempuan lain yang menyimpan fotonya. Dari penuturan Agus beberapa hari lalu, aku baru tahu kalau Anggrek, teman baruku, adalah mantan pacarnya dulu:
“Kok kamu kenal Anggrek?“ Barusan kutunjukkan foto selfieku dengan Anggrek di sebuah cafe.
“Memangnya kenapa? Nggak boleh punya teman baru?“ Aku curiga. Kornea mata Agus mengecil!
“Aku mau cerita, jangan marah ya, sayang. Anggrek ... Anggrek dulu pernah setahun pacaran denganku. Aku ingin kamu dengar cerita ini dari mulutku sendiri bukan dari Anggrek atau orang lain ....“ Tuhan, ia bercerita tentang sesuatu yang sungguh nyata tapi sebenarnya tak ingin kudengar. Kisah yang panjang itulah yang membuatku menyusun rencana yang barusan saja terjadi. Kisah pencurian foto. Dan pencurinya adalah aku!
***
Dan hari ini adalah lima tahun perkawinanku dengan Agus. Pria yang dahulu pernah jadi pacar Anggrek dan kini jadi suamiku. Teman hidupku.
Kusudahi menghirup teh manis dan kudapan pisang goreng pagi itu. Kubuka kotak usang berwarna emasyang ada di lemari. Kukeluarkan tiga lembar foto, kumasukkan ke dalam amplop bersama sebuah catatan kecil:
“Anggrek, maafkan aku. Aku telah merebut foto mantan pacarmu. Lima tahun sudah Agus menjadi suamiku, tak perlu sangsi lagi ketulusan cintanya padaku. Kukembalikan foto yang pernah jadi milikmu. Kupikir, kenangan itu tetap berhak kamu simpan sampai kapanpun.“
Kusiapkan kardus kecil untuk mewadahi sekotak coklat “Lindt“ berbentuk hati, tiga lembar foto Agus waktu masih muda dan secarik kertas. Kutulis alamat Anggrek terbaru, yang kudapat dari seorang teman. Sengaja tak kusertai alamat baruku agar ia tak bisa mengembalikannya lagi.
“Ya, Anggrek. Aku sudah mengerti bahwa pacarmu dulu adalah pacarku juga dan kini jadi teman hidupku. Maafkan aku.“ Ujarku, lirih. (G76)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H