Tara, perempuan berambut keriting pemberi jimat. Jimat yang tersimpan di sebuah kalung dan digantung di dinding kantor. Mulanya aku ketawa saja. Hari gini?
Nyatanya, setahun kemudian, bisnis suamiku melesat. Jimat Tara?!
Kami jadi orang kaya mendadak. Dari laba perusahaan, Paul menghadiahiku kapal pesiar. Hahhhhh? Buat apaaaa?
Andai saja aku boleh memilih, kuingin seperti dulu. Paul banyak di rumah dan kami bisa bermanja-manja di tubuhnya yang macho.
Bagiku, memandang wajahnya ketika aku bangun pagi atau menyiapkan makanan untuknya, adalah anugerah terindah. Sayang sekali, Paul telah melupakan saat-saat sederhana tapi bermakna seperti itu.
***
Siapa bilang limpahan harta mampu membeli cinta? Bagaimana rasanya kehilangan kekasih untuk selama-lamanya? Kuingin mengejar jawaban pertanyaan itu usai pemakaman.
Kudatangi sebuah puri dekat hutan.
“Aku sudah tahu maksud kedatanganmu. Aku turut berduka cita.“ Perempuan berdagu lancip itu menatapku tajam.
“Ini semua gara-gara kamu, nenek sihir!“ Kuambil pisau dari dalam tas. Kutekankan ke lehernya yang jenjang.
“Aku sudah peringatkan Paul, tapi dia yang memaksa!“ Tara pernah cerita soal tumbal pada Paul tapi Paul tak peduli.