Mohon tunggu...
Gaganawati Stegmann
Gaganawati Stegmann Mohon Tunggu... Administrasi - Telah Terbit: “Banyak Cara Menuju Jerman”

Housewife@Germany, founder My Bag is Your Bag, co founder KOTEKA, teacher, a Tripadvisor level 6, awardee 4 awards from Ambassadress of Hungary, H.E.Wening Esthyprobo Fatandari, M.A 2017, General Consul KJRI Frankfurt, Mr. Acep Somantri 2020; Kompasianer of the year 2020.

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Dokter yang Lucu

18 Oktober 2014   22:18 Diperbarui: 17 Juni 2015   20:32 389
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1413620016659433069

Beberapa waktu yang lalu, saya periksa ke HNO. Apa saya tuli atau ada yang meler? Tidak. Gendang telinga kiri saya terasa tertutupi kabut. Itu setelah berenang dan seorang anak di dekat saya, main ciprat-cipratan di ruang gelombang dan airnya menampar telinga saya. Crott! Aduh.

Saya merasa tak nyaman, ketika menelan sesuatu ada bunyi klek, seperti sesuatu ditekuk. Untung di kampung ada dokter umum, saya minta rekomendasi ke dokter HNO. Sreeeet. Selembar surat saya terima. Sesampainya di rumah, mencari alamat dokter HNO terbaik di kota dan menelponnya untuk membuat janji. Argh, di Jerman kalau dokter spesial mana bisa datang langsung? Bisa-bisa datang begitu saja dan dipanggilbaru keesokan harinya atau apesnya, disuruh pulang.

Pada jadwal yang ditentukan, saya datang. Menunggu di ruang tunggu luamaaaa sekali. Mundur dari jadwal sebenarnya. Tanya kenapa ....

Akhirnya, saya dipanggil. Dokter Jerman yang pernah bertandang ke Indonesia itu menemukan batu kecil. Oh, itu dari kotoran yang mengumpul di telinga.

“Sudah baikan?“ Tanya ibu dokter bertubuh tinggi besar itu.

“Saya tak yakin ....“ Meski kotoran yang termasuk agak besar itu sudah diambil dengan jepitan metal, saya kok kurang yakin bahwa bunyi klek itu akan hilang.

“OK, kita tes gendang telinga kanan kiri, ya?“ Dokter yang bajunya hijau pupus itu mengajak saya ke kamar yang lain. Tempat tes kuping.

Seorang petugas datang. Ia memberikan headset. Saya harus mendengarkan bunyi-bunyian dan harus memberikan tanda kalau saya mendengarnya pada ketukan pertama. Hasilnya? Justru telinga yang bermasalah tadi yang paling bagus, tengen! Ohhhh ...

“Semua baik-baik saja, telinga Anda sehat.“ Si dokter pirang menyalami saya.

“Tapi dok, masih ada sesuatu   ...“ Saya menganga. Si dokter buru-buru menyalakan lampu dan senter serta alat-alatnya.

“Ya ampuuuun, apa ini? Saya belum pernah sekalipun lihat begini.“ Si ibu geleng kepala.

“Dokter yang praktek di klinik ini dahulu pernah bilang, benjolan ini tulang tumbuh. Biasa ....“ Saya terangkan bahwa saya sudah pernah periksa pada awal kedatangan di Jerman dan disuruh dokter A, periksa rutin demi mencegah kalau ada hal buruk yang mungkin terjadi. Dokter baru itu mengangguk, memberikan rekomendasi untuk scan di radiologi.

“Saya tidak mau gegabah. Harus ada bukti di atas kertas bahwa itu tulang tumbuh biasa bukan tumor atau kanker.“

***

Beberapa hari kemudian, saya discan. Saya jadi tahu rasanya para kertas atau foto yang dimasukkan di mesin scan. Oh. Hasil scan saya? Diberikan dua minggu kemudian, negatif. Saya sehat, bebas dari kanker atau tumor. Alhamdulillah.

Tapi ... ada hal menggelikan yang terjadi saat saya periksa lagi sehubungan dengan hasil scan itu. Sebelum meninggalkan si dokter:

“Bu dokter, itu ada pasien marah-marah ...“ seorang petugas receptionist masuk ke ruang periksa.

“Kenapa memangnya?“ Si dokter tetap merapikan alat-alat yang baru saja digunakan.

“Dia tak mau menunggu lama. Sudah menunggu sejam katanya, tidak dipanggil-panggil, padahal dia merasa sudah jamnya.“ Si wanita menjelaskan lagi sambil sesekali melongok dari daun pintu. Barangkali mencari sosok yang mencak-mencak keras sekali di klinik HNO dan kemudian pergi tanpa pamit. Untung tidak ada acara balang sandal.

[caption id="attachment_367314" align="aligncenter" width="220" caption="Wajah marah ... grrrrr ...."][/caption]

“Ada-ada saja tuh orang, di tempat saya praktek, mana mungkin orang menunggu sampai satu jam. Betul, tidak?“ Dokter HNO bertanya pada saya, “Memangnya tadi Anda menunggu sampai berapa jam sampai masuk ruang periksa ini?“

“Satu jam atau 60 menit pas ....“ Suami saya yang duduk di pojok, menjawab duluan karena gemes. Saya menahan tawa karena bu dokter ... terbelalak tanpa kata.(G76)

PS: Jagalah sehat sebelum sakit. Jika sakit berlanjut hubungi dokter (tapi ... tak pakai lama).

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun