Saya ingat waktu ngadain pameran bersama Koteka di lobby rektor UPGRIS tahun 2015, dik Wawa (dulu admin Kompasiana) yang ekstra datang sekeluarga untuk membantu, menyarankan untuk menyediakan beberapa standing frame. Biar gambar-gambar pemenang dipajang dengan gagahnya. Tapinya bingung. Nyari di mana? Segera ingat seorang teman SD yang sekarang jadi fotografer. Sewa dari dia saja! Waktu saya telpon, ia sedang sibuk melakukan pemotretan. Pre-wedding sessions!
Yaelah. Iya ... saya lihat facebook-nya. Betul. Ia memang sedang repot melakukan pekerjaan tersebut. Saya amati, asyik juga ya? Katanya, “Lumayan lah, rejeki tambahan dari buka studio foto di rumah.“
Lalu saya tanya lagi,“Kok, pinter motret, kuliah atau belajar dari mana?“. Rupanya, ia hanya mendapatkan ilmu dari klub fotografi di kota Semarang. Hebat. Kumpulan yang bermanfaat, ya? Dari hobi, jadi hoki.
Setting tempat pre-wedding bisa direkomendasikannya, kebanyakan atas permintaan klien, si pasangan yang mau fotoan itu. Untuk pemotretan ke luar negeri, dia belum pernah dapat job. Lain kali. Asyik kann, sekalian motret bisa piknik. Xixi. Semoga tercapai!
[caption caption="Di depan patung"][/caption]
[caption caption="Banyak orangggg ...."]
[caption caption="Konsentrasi ..."]
[caption caption="Pasangan Eropa juga ada."]
Pre-wedding di luar negeri atau dalam negeri, hanya orang Asia atau sedunia yang melakukannya?
Hmmmm. Pre-Wedding ... memang saya jadul alias ketinggalan. Waktu menikah, baik di Indonesia maupun di Jerman, kami tidak melakukannya. Kalau After Wedding malah iya. Setelah tamu pergi, kami pamit bapak ibu, terus mampir ke studio foto di Simpang Lima. Karena make-up sudah luntur dari panas dan seharian dipajang jadi ratu sehari, perias studio kasih touch-up. Cling.
Ya. Ambil paket potret murah dan hasil terbaiknya nanti sudah difigura. Sudah. Itu saja. Sekarang dibawa ke Jerman, nampang di dinding ruang tamu. Sempet dipamerin dalam pameran foto bersama Kampret di Jerman tahun 2013.