[caption caption="Tuhan, kembalikan suamiku ...."][/caption]Di bawah pohon Ahorn aku terduduk. Daunnya yang berjatuhan kuambil satu persatu. Kuning, oranye, merah, hijau ... mereka begitu terbuang. Lemah tak berdaya berpegang pada ranting. Seperti diriku.
Aku masih saja terisak. Butiran-butiran sedih, masih saja berjatuhan ... seperti daun-daun yang mirip lambang negara Kanada itu.
“Marie, bibirmu berdarah!“ Patricia, tetanggaku tergopoh-gopoh. Melepas sarung tangan kebun warna pink, membuangnya ke tanah dan bergegas menghampiriku. Ia keluarkan sesuatu dari jaket. Tangannya sibuk mencari tissue tanpa parfum. Aku tak peduli ... kudiamkan saja ia merawatku dan memuntahkan sejuta kata. Mengumpat suamiku yang menamparku tanpa ampun.
Ya, tanpa kuceritakan, Patricia sudah tahu. Nikolah biang keladinya.
“Aku nggak habis pikir, mengapa Niko tega melakukan ini lagi. Kamu harus minggat, Patricia. Bawa anakmu sekalian. Mengungsilah sejenak ke tempat ibumu.“
“Aku malu pada mama, Patricia. Sudah berulang kali aku melakukannya dan aku selalu luluh untuk kembali saat Niko menjemput kami. Aku rapuh. Aku bodoh.“ Hidungku mulai berair bukan saja karena dingin tapi tekanan emosi yang meluluhlantakkan hatiku. Aku semprotkan pada tisu pemberian Patricia tadi. Aku sedikit terbatuk.
“Kamu harus pergi! Bayi yang ada di perutmu, tidak boleh rusak sebelum jadi!“ Patricia mengelus-elus perutku yang tertutup sweater. Badanku memang mulai mengembang. Sudah lima bulan.
***
Kekerasan dalam rumah tangga sudah menjadi langgananku. Rambut yang rontok karena jambakan tangan kuat suamiku, warna biru di sekujur tubuhku, darah yang menetes ....
Ah ... pilu. Sungguh pilu nasibku. Inikah kutukan keturunan dari mamaku?
Demi Maike dan bayi yang ada dalam kandunganku, aku bertahan. Aku tak mau hidup seperti aku waktu kecil dulu. Hanya dengan mamaku. Di mana papaku, akupun tak tahu.