Mohon tunggu...
Gaganawati Stegmann
Gaganawati Stegmann Mohon Tunggu... Administrasi - Telah Terbit: “Banyak Cara Menuju Jerman”

Housewife@Germany, founder My Bag is Your Bag, co founder KOTEKA, teacher, a Tripadvisor level 6, awardee 4 awards from Ambassadress of Hungary, H.E.Wening Esthyprobo Fatandari, M.A 2017, General Consul KJRI Frankfurt, Mr. Acep Somantri 2020; Kompasianer of the year 2020.

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Cari Suaka ke Jerman Lebih Disukai?

14 Oktober 2014   06:28 Diperbarui: 17 Juni 2015   21:07 158
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1413200486312239324

Tertegun menyimak berita TV yang mengupas kekisruhan di Suriah dan gelombang pengungsi ke Jerman dari negara-negara seperti Suriah, Irak dan negara lainnya yang sedang dilanda peperangan.

Tercatat sejak Januari hingga Juli 2014, 97.093 pengungsi didata pihak migrasi dan pengungsi Jerman pada Juli 2014. Diperkirakan masih ada ratusan ribu lainnya yang belum tercatat.

Menurut data statistik, tahun 1995 sudah tercatat secara resmi 166.951 pengungsi (rekor tertinggi sepanjang tahun), disusul tahun 2013 sebanyak127.023 dan 2014 115.737 (Agustus 2014, diperkirakan akan terus membengkak hingga akhir Desember 2014).

Menurut Spiegel, NRW atau Nordrhein-Westfalen memiliki prosentasi jumlah pengungsi terbesar, 21,2% disusul Bayern 15,2 % dan daerah kami di Baden-Württemberg 12, 9%. Hamburg (daerah Jerman yang dekat laut) justru memiliki prosentasi terendah 2,6%.

Tentu saja ini mengundang pro dan kontra di negeri sosis sendiri. Ada yang kasihan dengan para pengungsi, banyak juga yang khawatir ini akan menjadi bahaya laten, terorisme. Barangkali, contoh pencurian di toko permata di daerah Iserlohn yang dilakukan oleh seorang pemuda dari Algeria (18 tahun) adalah salah satu contoh yang membuat orang jadi phobia.

Saya amati layar TV. Mereka itu ditampung di beberapa titik yang dipusatkan di kota-kota yang ditunjuk. Mereka ini biasa ditampung di sebuah gereja, aula, gudang pabrik/toko, tenda pengungsian di lapangan dan tempat lain yang memungkinkan untuk menampung massa. Fasilitas seadanya tapi mencukupi.

Salah satu pengungsi yang diwawancarai media mengatakan bahwa ia pantas dilindungi pemerintah Jerman dan hidup layak seperti manusia lainnya di dunia. Banyak pekerjaan kasar yang ia telah kerjakan. Mulai dari tukang cuci di restoran atau bar, tukang sampah sampai pekerjaan lain yang sebenarnya tak perlu ia tangani karena ia lulusan universitas dari tempat asalnya.

Pemerintah daerah setempat menanggapi bahwa untuk bekerja dengan layak butuh surat-surat resmi, sedangkan pada umumnya para pengungsi tidak membawa selembar surat pun. Kemampuan bahasa Jerman pun sangat minim. Ini hal yang sulit, apalagi jumlah pengungsi yang banyak.

[caption id="attachment_366118" align="aligncenter" width="560" caption="Menjadi negara favorit para pengungsi"][/caption]

Jerman mendukung Asyl

Jerman membukakan pintu lebar-lebar untuk para pengungsi. Pastinya ini bisa dirunut dari konvensi Geneva. Mungkinkah Jerman jadi favorit untuk tempat mengungsi karena Jerman (dan negara EU lainnya), sangat lunak dengan kedatangan pengungsi?

Apakah ini juga karena adanya semakin banyaknya pendukung suaka Asyl di Jerman? Di mana gagasan mereka banyak di follow up masyarakat khususnya pihak gereja untuk sejalan; melindungi mereka. Memberikan pencerahan dalam kehidupan.

Padahal, Jerman adalah negara yang dikelilingi Swiss, Perancis, Belanda, Belgia, Austria, Ceko, Polandia. Jerman jadi tujuan favorit para pengungsi meski sebenarnya Jerman adalah negara pedalaman, harus meloncat dahulu dari negara lainatau sebelum menuju Jerman harus melewati negara lain dahulu). Jerman bisa saja mengusir pengungsi dan mengirim kembali ke negara asal atau negara tempat mereka datang dahulu. Namun, pilihan terakhir kebanyakan yang saya baca dan lihat di media Jerman adalah tetap ada pada melindungi, merawat dan menempatkan mereka (ke penampungan, pekerjaan dan kehidupan yang layak dan sebagainya) apalagi kalau tujuan mereka murni melarikan diri dari peperangan atau kejahatan ekstrim lainnya di negara asal.

Bagaimana mereka bisa sampai Jerman?

Pada dasarnya kedatangan para pengungsi ini banyak yang illegal, ada juga yang diorganisir UNHCR seperti yang dari Libya, dimanage sendiri secara pribadi bersama keluarga lewat laut. Atau kata tetangga yang dari Turki, mereka yang tinggal di perbatasan Turki-Suriah, takut dengan peperangan di Suriah, menempuh jalan darat yakni naik bus menuju Jerman. Kalau tidak salah dengar, 2 hari lamanya.

Mereka ini ditampung di daerah perbatasan seperti Berlin, Fürth, dan Niedersachsen untuk kemudian dibagi ke negara bagian Jerman lainnya.

Oh, ya. Berikut pengalaman mengungsi yang dimanage sendiri;

Sepasang suami istri dari Vietnam yang sudah 25 tahun berada di Jerman pernah curhat waktu saya belanja di tokonya. Mereka ini adalah pengungsi dari Vietnam yang naik kapal bersama keluarga lainnya dari Tanjung Pinang menuju Jerman! Entah bagaimana rasanya terombang-ambing ombak dalam jangka waktu yang tidak bisa diprediksi, lama pakai banget. Belum lagi ancaman nyawa melayang. Jangan-jangan bisa dimakan ikan hiu seperti film-film Hollywood itu. Tapi tidak dengan bapak ibu Kim. Dengan modal nekat, bekal pakaian seadanya dan tanpa uang sepeser pun, akhirnya mereka sampai ke Jerman. Bukan jejer Kauman.

Menjadi pengungsi di negeri seketat dan semodern Jerman tentu tidak mudah. Banyak aral melintang dan penderitaan yang mereka alami. Sungguh saya kagum dengan perjuangan hidup orang yang negerinya terkenal dengan perjuangan Vietkongnya itu, demi memiliki masa depan yang pasti.

Sekarang? Mereka telah membesarkan dua orang anak yang lulus dari universitas Jerman dan menikah. Sebuah toko bahan makanan Asia di kota Schwenningen telah mereka dirikan.

Begitu pula cerita seorang tante teman saya yang juga kebetulan dari Vietnam tinggal di Spaichingen. Mereka datang dengan nol euro. Menggantungkan diri sebagai pengangguran Hartz IV, disokong pemerintah setempat dan harus melaporkan diri secara rutin selama tahun pertama. Hingga suatu saat berhasil mengumpulkan uang dari pemda itu, hidup irit, mendirikan toko kelontong dan bisnis maju. Saat ini, kedua anaknya sudah kuliah dan toko bahan makanan Asia sudah berkembang, ditambah restoran Imbiss Asia yang banyak penggemarnya itu. Luar biasa.

Ada lagi seorang teman, lelaki Serbia yang melarikan diri ke Jerman lalu menikah dengan perempuan Turki pada tahun 2006 di Tuttlingen. Ia mendaftarkan diri di kelas bahasa Jerman di mana saya dahulu juga jadi muridnya. Langkah-langkah yang dilakukannya penting karena pernikahan dengan orang berpaspor Jerman akan memperkuat proses visa tinggalnya. Sedangkan bahasa adalah modal utama untuk hidup di Jerman. Mereka dikarunia anak, si pria mendapat pekerjaan dan hidup layak dan damai ketimbang di negerinya.

Kalau contoh-contoh apa yang dilakukan orang-orang yang saya ceritakan dari Vietnam dan Serbia itu, tak khayal, Jerman akan menjadi lebih berwarna. Tetapi kalau seperti skandal pencurian yang dilakukan pengungsi Algeria itu, lain ceritanya. Ledakan pengungsi bisa jadi momok, tombok.

***

Ada gula ada semut. Barangkali seperti itulah kondisi ledakan pengungsi di Jerman. Negeri berempat musim ini memang masuk kategori manis seperti gula, sehingga menjadi tempat tujuan kebanyakan pengungsi dari beragam negara tadi. Bagaimana pemerintah (Deutschland ist über alles) dan masyarakat mengatasinya jika ini semakin meledak populasi pengungsinya? Kita tunggu saja perkembangan berikutnya .... (G76)

Sumber:

1. Nonton TV Jerman

2. Tahun 2014, jumlah pengungsi meningkat tajam sejak 1993.

3.Statistik jumlah pengungsi di Jerman

4.Skandal pengungsi


Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun