Sejak tinggal di Jerman, ada satu lagi hobi yang membuat saya kegirangan. Menanam! Tak hanya bunga, buah pun jadi. Kesenangan saya menanam mawar misalnya, menimbulkan suka cita yang mendalam saat memandang bunganya mekar. Meski kalau pegang tangannya kecocok. Aucht! Aduh sekali. Maaaaawar berduriiiii ....
Menanam, kata orang Jawa, tanganan. Siapa yang memang bertalenta untuk melakukannya, akan hidup. Kalau tidak, ya mati.
Dari puluhan mawar di kebun kami, 90 % hidup. Lainnya kering. Pupuknya, biasa saya ambil dari kotoran kuda tetangga sebelah. Mintaaaa, gratis. Sedangkan Blumenerde atau pupuk untuk bunga dan tanaman biasa didapat di toko kembang atau swalayan dengan 20 liter, barang 2-3 €.Pemotongan batang biasa saya lakukan pada musim gugur. Disaat mereka sudah mulai coklat dan mengering. Biar tak mengotori kebun dan masuk sampah bio, warna coklat. Jadi musim sekarang ini, mereka bangun, tumbuh lagi. Menghijau sedikit demi sedikit.
Bagaimana dengan menanam pohon? Musim menanam di Jerman ada dua yakni musim semi (Frühlings) dan musim gugur (Herbst). Musim panas biasa dipakai orang buat berjemur dan hanya merawat tanaman yang sudah tertanam. Mengejar matahari. Musim dingin untuk bermain salju dan menghangatkan diri di depan perapian.
Cara menanam pernah saya belajar dari tetangga saya yang cowboy. Sebelumnya, saya sudah pernah menanam Birne (pir) dan apel sendiri. Yang Birne mati. Makanya, barusan saya menanam Kirsche (ceri, manis) dan Pfirsich (persik), kali ini bersama opa Rheinhardt. Biar selamat. Supaya tak mati. Satu bibit setinggi 30 cm saja harganya sudah 20 euro. Tapi kayaknya stek, jadi batangnya sudah gemuk. Sayang, kann kalau mati? Mereka melengkapi pohon di kebun kami yang ditanam opa dan si almarhum pemilik rumah kami dahulu. Ada kenari, hazelnut, plum, brombeer ... seru lho lihat tupai atau burung rebutan buah.
OK. Saya perhatikan betul pelajaran dari kakek umuran hampir 70 tahun itu ....
[caption id="attachment_330986" align="aligncenter" width="320" caption="Membuat kubangan dengan Spitzhaken"][/caption]
[caption id="attachment_330987" align="aligncenter" width="240" caption="Masukkan ranting-ranting."]
[caption id="attachment_330988" align="aligncenter" width="240" caption="Balik tanah berumput biar rumput jadi humus di dalam tanah."]
[caption id="attachment_330989" align="aligncenter" width="240" caption="Campur pakai pupuk."]
[caption id="attachment_330991" align="aligncenter" width="240" caption="Masukkan tanaman."]
Pertama, melubangi tanah selebar 60x60 cm kedalaman 30 cm dengan sekop bukan pacul seperti di Indonesia. Sekop ditekan ke dalam tanah, dipegang agak miring. Salah satu kaki menekan bagian bawah sekop untuk mendukungnya masuk ke dalam tanah. Untuk memperdalam kubangan menggunakan Spitzhacken. Sebuah alat yang pucuknya lancip (di Indonesia namanya apa, ya?).
Setelah cukup dalam, masukkan patahan ranting. Ini sebagai pelindung bagi akar tanaman. Agar tetap hangat dan tidak kering di dalam tanah.
Ketiga, dengan mencampur tanah yang dikeluarkan tadi dengan pupuk. Sebaiknya menggunakan sarung tangan karena ada cacing. Baru tahu bagaimana cacing mengeluarkan BAB. Hiyy ...
Tutup sekitar tanaman dengan tanah berumput (bagian paling atas dari tanah hasil kubangan, jangan dibuang ...). Syaratnya, harus dibalik. Bagian rumput yang ada di posisi ke bawah ini akan rusak dan menjadi humus bagi tanaman.
Kelima, masukkan pohon/tanaman yang akan ditanam hingga bagian teratas bisa terlihat atau sejajar dengan permukaan. Bukan tenggelam. Oh, ya. Sebelum dimasukkan, tanaman yang biasa dibeli ada di pot plastik ini direndam air selama beberapa saat. Agar segar dan basah.
Siram lagi dengan air. Kalau permukaan tanah miring tidak datar, buat tembok kecil dari tanah agar air yang datang dari siraman atau air hujan tidak meluncur ke bawah tapi tertahan.
Sesudah ritual penanaman, Onkel Rheinhardt menyarankan untuk memberi tanaman itu jaket (karung atau plastik, penahan dingin pada malam hari). Bagi yang tanamannya langsing dan tinggi, diberi Pfall, sebuah kayu atau batang untuk melindungi dari angin. Dikaitkan dengan tali. Biar kuat. Sebelum pulang, si opa berpesan agar saya berdoa supaya tanamannya selamat dan tak mati.
Hmm ... Semoga bermanfaat. Beginilah rasanya kalau menanam di negara empat musim. Kata orang kalau menanam di Indonesia, kebanyakan tinggal sebar biji, datanglah hujan ... subur, deh. Oh, indahnya negeri tropis. (G76)
Ps: Halaman atau kebun rumah tak memungkinkan untuk bercocok tanam (bunga, buah, pohon)? Pot dengan segala ukuran tetap berjasa untuk niatan hobi ini. Menyumbang oksigen bagi manusia dan bumi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H