Mohon tunggu...
Gaganawati Stegmann
Gaganawati Stegmann Mohon Tunggu... Administrasi - Telah Terbit: “Banyak Cara Menuju Jerman”

Housewife@Germany, founder My Bag is Your Bag, co founder KOTEKA, teacher, a Tripadvisor level 6, awardee 4 awards from Ambassadress of Hungary, H.E.Wening Esthyprobo Fatandari, M.A 2017, General Consul KJRI Frankfurt, Mr. Acep Somantri 2020; Kompasianer of the year 2020.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Buku Pelajaran Dipinjami Sekolah, Tak Usah Beli

7 Oktober 2014   23:16 Diperbarui: 17 Juni 2015   21:59 145
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Suatu hari, anak wadon satu minggu lagi tes bahasa Inggris. Lah, saya tanya buku diktatnya mana? Eeee ... dia bilang di sekolah. Kok, tidak dibawa pulang? Belajarnya piye, nddduuuk???

Argh. Memang kata gurunya begitu. Biar tidak hilang, rusak atau lupa kalau dibawa pulang dan ketika dibutuhkan saat pelajaran di kelas sudah siap. Ini sebagai antisipasi lancarnya proses belajar-mengajar di Jerman yang liburnya setidaknya sudah 15 mingguan setahun ... Terbatas kan?

Tes? Tidak ada bukunya? Oalah, piye iki jal? Baik buku diktat atau LKS tidak ada di tas ransel anak, yang kayak serdadu mungil itu. Kami pun belajar dengan mengingat pelajaran terdahulu.

***

Minggu-minggu berikutnya, pas ada pertemuan dengan guru, saya bertanya kepada yang bersangkutan. Guru muda yang cantik itumenjelaskan bahwa tanpa membawa buku, ujian tidak akan sulit asal memperhatikan waktu di kelas. Toh, belum diajarkan untuk menulis bahasa Inggris tapi hanya listening comprehension alias memahami teks dengan CD/DVD lalu tinggal mencocokkan dengan menyilang gambar-gambar yang tersedia. Namun, jika ada permintaan dari anak atau orang tua untuk membawa buku diktat ke rumah juga boleh.

Kejadian itu terjadi lagi saat tes matematika, tes bahasa Jerman dan lainnya. Saya hanya mengingat-ingat lewat PR-PR yang dibuat terdahulu menyangkut bab apa saja (pakai LKS), lalu saya buat soal sendiri.

[caption id="attachment_364743" align="aligncenter" width="384" caption="Contoh LKS bahasa Inggris dengan CD"][/caption]

[caption id="attachment_364745" align="aligncenter" width="384" caption="Contoh LKS Matematika"]

14126732351947070985
14126732351947070985
[/caption]

[caption id="attachment_364747" align="aligncenter" width="384" caption="Contoh LKS MNK, ilmu hayat"]

1412673327151775968
1412673327151775968
[/caption]

Atau ketika ...

“Mama, jangan dicorat-coret. Ini buku pinjaman, harus dijaga.“ Begitu kata anak perempuan saya. Ia sedang membuat PR di buku tulis, dengan buku diktat panduan. Ia hanya boleh mengisi buku LKS karena memang membayar.

OK. OK .. buku diktat di sekolah, dipinjami. Diktat dan LKS kadang dibawa ke rumah. Bisa dibawa ke rumah kalau bilang.

***

Yak, buku-buku anak-anak Jerman di Grundschule, Gymnasium atau Realschule memang demikian. Setiap orang tua pernah dikumpulkan dalam pertemuan orang tua dan guru wali kelas (Eltern Abend) dan diberi banyak informasi. Kami diharap membeli buku LKS untuk dikerjakan di rumah atau sekolah sedangkan buku diktat pelajaran akan dipinjami dari sekolah. Tapi saya sepertinya tidak mendengar kalimat, kalau buku-buku itu hanya dibawa ke rumah pada saat-saat tertentu, tidak setiap hari. Hedeh.

Buku diktat tak usah beli? Wah, irit juga ya. Bisa pusing kalau punya anak tiga, tiap tahun ajaran berganti kurikulum dan atau berganti bukunya. Uang bisa dialirkan ke pos yang lain. Uhuy.

Yang menarik perhatian saya adalah, adanya nama setiap anak dan tahun ajarannya, tertera di halaman pertama buku. Sayang, sudah saya foto kemarin-kemarin, kok tidak ketemu yoooooo. Begini ... Misalnya:

Gaganawati/1A/2011

Mawar/1B/2012

Rama/1D/2013

.....

Ini berarti saya sudah memegang buku ini selama setahun saat duduk di kelas 1 (A) pada tahun 2011 dan begitu juga dengan Mawar dan Rama, meski berbeda tahun ajaran dan kelasnya. Tahun berikutnya atau pemegang buku tahun 2014 silakan mengisi sendiri nama, kelas dan tahun ajar.

Jika buku rusak atau hilang, anak harus mengganti buku yang sama. Ada nilai didikan tanggung jawab sejak dini pada anak dan orang tua terhadap sekolah atas pemanfaatan buku. Kalau sudah gratis, dipinjami, tidak boleh sembarangan sakkepaneke dhewe. Harus dikembalikan seperti kondisi semula, pada akhir tahun masa pelajaran setelah menerima rapor. Bukankah ini ide yang bagus?

Saya akui, orang Jerman memang tidak suka menumpuk barang  terlalu banyak di rumah. Marahi kebak, marahi bledhug. Bikin rumah penuh, mengundang debu. Rumah harus bersih dan tertata, selalu! Meski tidak ada pembantu lho yaaaa. Ini saya perhatikan sejak awal-awal kedatangan sampai hari ini. Ketimbang sia-sia tak berguna, bangsa barat ini lebih senang membuangnya atau menjual lewat internet di ebay, pasar barang loak di Flöhmarkt, ditukar dengan barang lain di bursa Tauschbörse atau tukar menukar barang, ditaruh di give box untuk diambil orang yang membutuhkan, atau dihibahkan kepada teman, saudara atau tetangga.

“Satu euro lebih berarti ketimbang barang mangkrak tidak bermanfaat.“ Begitu kata kebanyakan orang Jerman yang saya kenal. Ini sama dengan teman-teman saya di Indonesia yang menjelaskan “Satu sen tetap satu sen, tetap dihitung ....“ Bukannya "Aku utang lali, ora bali" Hahaha .... sudah hutang pakai lupa lagi, bisa bahayaaa ...

Hmmm ... Kalau setiap tahun harus membeli buku diktat, kalau tidak digunakan lagi untuk apa? Ngebak-ebaki, memenuhi rumah dengan sampah saja. Jadinya, penggunaan buku diktat pinjam dari sekolah ini menjadi solusi juga untuk ramah lingkungan dengan tidak menambah sampah. Ah, sampah, di Jerman saja sudah dimanage sebagus mungkin tetapi tetap saja masyarakat sangat memperhatikan untuk tidak memproduksi sampah terlalu banyak. Emoh kwadrat .... (G76)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun