Liburan paskah. Anak-anak tak masuk sekolah selama dua minggu. Hedehhh ... repot. Tapi senang karena banyak punya waktu bersama. Ke manaaaa gitu.
Seperti waktu kota-kota. Berlin. Kota yang dahulu masuk wilayah Jerman Timur, blok Rusia dan daerah kami yang ada di Jerman Barat, blok Amerika. Asyikkk. Kami harmonis, I like.
Tapinyaaa bagian yang paling saya tidak sukai adalah untuk meraih kota-kota itu. Anak-anak nggak rewel sih, kasihan pantatnya.
Perjalanan yang memakan waktu 6 jam an itu kami bagi dua. Saya setir dulu mumpung belum ngantuk. Biasa kalau sudah ada yang jadi sopir, digoyang-goyang, seperti nina bobok, biasanya saya KO.
Yup. Jalan tol gratis Jerman memang mulus, megah dan banyak. Seperti malesan di sofa. Banyak proyek perbaikan di jalan tol. Jadinya tak selalu bebas hambatan alias tanpa batas kecepatan tapi masih ada jalur 60, 80, 100, 120 dan 130.
Oh, ya. Kemudian, dalam masa pergantian, kami gunakan untuk istirahat dan senam-senam ringan sejenak di Rastplatz, tempat khusus kendaraan untuk berhenti. Ini dilengkapi dengan taman, tempat duduk, tempat sampah dan toilet. Kadang malah ada SPBU dan toko atau resto/cafenya.
OK. Babak kedua diteruskan suami pakai ngejosss ... ngebut nggak pakai ngepot. Cepet banget. Mak wuss, wussssss. “Awas-awasss ...“ Begitu pesan saya selalu.
[caption id="attachment_409797" align="aligncenter" width="512" caption="Jalan tol Jerman"][/caption]
Dan mak deg. Mak tlunyurrrrr ..... banyak yang nyelonong!
Untung. Untung sekali, bukan saya yang menyetir pada kloter kedua itu. Menggunakan jalan tol yang baru, mulus dan bagus di wilayah yang dahulunya Jerman Timur itu, belum tentu menjadikan perjalanan kita nyaman dan aman. Coba bayangkan. Orang pindah dari lini kanan ke kiri tanpa menyalakan lampu riting. Sudah gitu jalannya kayak siput. Harusnya paling tidak lebih cepat dari sebelah kanan, bukan sama atau lebih lambat. Ditambah, lini terakhir di kiri hanya untuk mendahului. Lalu kembali ke lini sebelah kanan kalau sudah mendahului. Atau yang umum terlihat di area itu adalah orang menyalakan lampu dulu baru lihat kaca atau mobil di belakang. Parahnya, banyak yang lupaaaaa.
Kebiasaan ini berbeda dengan cara berlalin menggunakan jalan tol di daerah Jerman Selatan yang dahulu masuk kawasan Jerman Barat. Kebanyakan pengendara lebih berhati-hati dan waspada. Tidak membahayakan orang lain. Jadi kalau mau menyalip, lihat kaca dulu apa di belakang ada yang ngebut atau menunggu dulu, baru lampu riting dinyalakan dan tancap gas, pindah lini.
Oh-ooooh. Saya gedeg-gedeg, geleng kepala.
Bagaimana dengan cara berlalin di daerah Kompasianer? Serampangan atau tertib, lebih baik?(G76)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H