Gramedia. Siapa yang tidak kenal dengan penerbit atau toko bukunya? Waktu SMA, saya sering kali masuk ke toko ini yang ada di Jl. Pandanaran dekat masjid Baiturahmann. Selain hawanya yang sejuk, ruangan yang luas menampung beragam buku itu seperti sebuah surga dunia. Saya memang tidak seperti teman-teman lain yang duduk di lantai dan membaca sampai habis bukunya. Saya suka mengamati covernya saja, membaca narasi di belakangnya dan kalau tidak diplastiki, saya baca-baca sebentar, deh. Saya takut sama satpam.
Jaman susah itu, saya memang belum pernah ada pikiran untuk jadi penulis Gramedia atau membuat buku sendiri dan dipasarkan di toko terkenal ini. Baru pertama kali begitu kesengsem ingin jadi penulis adalah saat bertemu dengan Moammar MK, kalau tidak salah tahun 2004 atau 2005 di studio Smart FM di HSBC lantai 8 Jl. Gajahmada Semarang. Lulusan pondok yang menulis buku best seller “Jakarta Undercover“ itu memang inspiratif dan bersemangat orangnya. Waktu itu, ia sedang saya wawancarai dalam radio talk membahas buku barunya yang lain. Setelah berfoto dengannya, saya bilang; “Semoga saya ketularan. Saya ingin jadi penulis, menulis buku dan buku saya bermanfaat.“ Kalimat yang sama pernah saya utarakan kepada penulis Zara Zettira. Bandel. Ngawang-ngawang sekali saya ini memang ....
Meniru boleh dong, asal yang baik-baik bukan? Membawa manfaat lagi tak hanya untuk diri sendiri tapi orang lain pula. Menulis buku alias berbagi dalam bentuk tulisan.
Iya lah. Menulis kartu pos dan buku harian sudah saya mulai sejak remaja. Menulis artikel jalan-jalan (menumpahkan pengalaman keliling dunia dari tugas LSM) sudah berulang kali saya coba di berbagai media massa lokal. Hasilnya lumayan, honor untuk uang saku. Sayang, hobi ini tidak dipupuk, kurang ditekuni. Hanya dhat nyeng saja, kalau pas mood.
Nampaknya usai kepindahan saya ke Jerman, niat itu terdukung dengan kondisi jadi ibu rumah tangga di mana waktu saya lebih banyak di rumah mengurus anak, rumah dan suami. Sebagai penyelaras, saya bergabung bersama para blogger, menulis di blog. Gayanya, pastilah suka-suka. Lalu saya pikir kalau tulisan itu dikumpulkan pasti jadi buku. Saya rangkum, edit dan kirim ke penerbit Gramedia di Jakarta. Beanya, sekitar 8-16€ untuk satu buah naskah yang sudah dijilid di toko foto kopi Jerman. Sampai di Jakarta paling tidak 2-3 mingguan. Mengapa ke PT. Gramedia? Gramedia sudah jadi trade mark kebanyakan orang sebagai penghasil buku bagus dan menarik (sudah melekat di benak saya), belum lagi tokonya yang tersebar di seluruh tanah air dan amat dikenal. Argggh, orang mimpi boleh setinggi bintang di langit. Nyatanya ... saya seperti pungguk merindu bulan.Tidak kesampaiaaaaaan. Huuu ....
Tiga kali naskah saya ditolak. Apakah saya putus asa? Tidak, sedih iya pasti lah yaaaa ... tapi menulis tetap jalan teruuuus. Lantaran anak-anak kami senang balet, saya coba menulis naskah buku balet. Saya hubungi 10 orang balerina yang saya dapat infonya dari internet. Saya cari Facebook mereka, kirim pesan. Dari kesepuluh itu hanya mbak Jetty Maika yang menanggapi dan mengiyakan. Baik bangetttt. Awalnya mbak Jetty tidak yakin. Dahulu bahkan usul suaminya itu pernah ditolaknya; malu, merasa tidak pantas dijadikan nara sumber sebuah buku. Akhirnya, senang, saya berhasil meyakinkannya. Pasti inspirasi dan bermanfaat, mbak. Setidaknya untuk ibu-ibu seperti saya dalam membantu anak-anak menyalurkan bakat dan masa depannya seperti cerita dalam buku itu (mbak Jetty ke Vaya). Dan bertemulah kami di Jakarta tahun 2010, wawancara dengan email dan FB. Tak berapa lama, naskah elek-elekan jadi! Terkirim.
Naskah buku terakhir yang saya kirim ke Gramedia, berisi sebuah biografi, memoar mbak Jetty Maika, balerina Indonesia yang sekarang tinggal di New York, USA itu dari masa kecil sampai memiliki anak yang beranjak remaja. Ini, mendapat jawaban dari sekretariat, “harap menunggu.“
Menunggu memang pekerjaan yang mendebarkan. Kok, lamaaaa ya? Begitu kira-kira perasaan yang muncul dalam hati dan pikiran. Deg-degan juga, karena seperti naskah-naskah sebelumnya. Sudah dikasih surat pertama, ehhh surat kedua adalah penolakan karena setelah dipertimbangkan lagi, naskah dikembalikan. Nah, yang naskah terakhir beda; kata mbak Nana, salah satu staff editor yang menangani adalah bahwa ia ingin naskah balet itu diperbaiki, bukan dikembalikan. Naskah yang tergeletak di meja sekretaris redaksi dan siap ditolak itu, diambilnya. Kesukaannya pada masa pementasan mbak Jetty menari Nutcracker dan Coppelia di Taman Ismail Marzuki dan GKJ Jakarta. Obsesinya untuk menjadi penari balet tersalurkan dengan mengedit buku “Bertumpu di Ujung Pointe ...“ yang dulunya saya kasih judul seram-seram bergembira, “Jetty Maika dan Roh Ballet Sedunia“
Beberapa kali saya hubungi mbak Nana via telepon, naskah serasa kurang menggigit meski sudah bolak-balik saya perbaiki. Mbak Nana bilang kalau tujuan saya untuk menginspirasi banyak orang tentang perjuangan mbak Jetty di dunia balet, kurang. Aduuuh, susah amir. Harus ada ahlinya, nih. rewrite! Saya segera mencari bantuan. Muncul nama penulis Semarang yang saya kenal di Lini Kreatif Writing. Namanya Nora Umres alias Budi Maryono, yang awal-awal hanya saya kenal lewat maya lalu belakangan kami bertemu di Semarang tahun 2013. Sebenarnya, secara tak sengaja kami pernah bersinggungan saat saya kirim naskah tulisan jalan-jalan ke TREN atau Suara Merdeka Semarang, tempat mas Budi gawe terdulu. Penulis beragam buku dan novel itu memang sudah pengalaman bekerjasama dengan Gramedia Jakarta dan Gigih Pustaka Mandiri Jogja. Tahu seluk beluknya. Mas yang satu ini memang diyakini, sungguh memuaskan gambaran buku yang diinginkan. Mbak Jetty dan khususnya mbak Nana setuju. Mas Budi merombak naskah dan menjadikannya sempurna seperti yang bisa dibaca hari-hari ini. Ia memang pekerja keras dan tanggung jawab. Matur nuwun, mas Bud. Terima kasih mbak Jetty. Thank you, mbak Nana (editor mantab). Tanpa kalian, nama saya tidak akan katut nongol di Gramedia.
Buku tentu tidak langsung dicetak karena harus diteliti lagi oleh editor, nara sumber dan penulis lagi. Tidak sebentar, lho. Tahunan.
Berikutnya? Masa pemotretan untuk mbak Jetty Maika dan putrinya, Vaya saja juga butuh waktu dan energi khusus. Bayangkan; mbak Nana sang editor buku (dan Gramedia) ada di Jakarta, Indonesia. Jetty Maika dan Vaya ada di Amerika. Mas Budi ada di Semarang, Indonesia dan saya ada di Jerman. Sering geli dengan group chatting dalam FB karena kadang waktunya kadang tidak klop. Yang lain sudah bangun, saya masih tidur karena masih pagi sekali, di tempat lain sudah siang, sore atau bahkan malam. Bedanya 3 benua.
Naskah yang sudah diedit dan hasil pemotretan serta foto koleksi mbak Jetty dipadu-padan. Lay out. Proof reading lagi. Apakah tulisan ada yang salah, gambar salah letak dan seterusnya? Pasti ada. Saya ikut nimbrung menyimak dan usul. Begitu juga dengan yang lain. Gak banyak memang. Naskah sudah bagus.
Endingnya, cover berwarna putih dari mas Alfari Firdaus yang baik, lewat jepretan foto mbak Jetty Maika atas kaki Vaya Jemima di New York, seperti usulan saya (ketimbang mengambil kaki orang lain seperti pada 5 cover terdahulu). Roh buku biar tambah komplit karena satu unsur. Jadilah sebuah buku Jetty Maika “Bertahan di Ujung Pointe“, dengan ukuran buku 15x23cm, tebal 168 halaman dibandrol dengan harga Rp 80.000,00. Buku ini bisa didapatkan di toko buku Gramedia seluruh Indonesia pertengahan Oktober 2014 dan studio Speranza Maikarinia Jakarta (sekarang juga dan terbatas. Buruan, ya).
Ah, jadi ingat, diskusi soal cover itu juga membutuhkan waktu lama, lama sekali. Tahun lalu, sudah ada 5 desain cover yang bisa dipilih. Tidak ada kata sepakat. Baru tahun inilah, cover ini mendapat anggukan empat kepala.
[caption id="attachment_358198" align="aligncenter" width="448" caption="Bertahan di Ujung Pointe (dok.Jetty Maika)"][/caption]
***
Beberapa bulan yang lalu, mbak Jetty bertemu editor untuk membicarakan perjanjian. Buku yang menampilkan tulisan dan gambar perjuangan mbak Jetty menekuni balet dari usia 5 tahun hingga sekarang di atas 40 tahun dan menurunkan kelebihannya ini pada anak keduanya, dicetak 3000 eksemplar. Temukan bagaimana rasanya menentukan sekolah formal dan homeschooling karena karir balet Vaya. Dan apa saja yang bisa terjadi karena kesukaan akan balet.
Dan serasa tak percaya jika suatu hari, nama saya akan bisa ditemukan di TB Gramedia, tertempel di sebuah buku yang diterbitkan oleh mereka. Bersanding dengan penulis hebat seperti mas Budi, editor seenergik mbak Nana dan balerina Indonesia seulet serta seprofesional mbak Jetty Maika dan putrinya yang berbakat, Vaya Jemima.
Berapa tahun sampai buku itu jadi? Empat tahun. E-M-P-A-TT-A-H-U-N. Alias 365 hari x 4=1460 harian. Satu hari 24 jam, atau 35.040 jam. Sabar sekali bukan? Kalau pusing-pusing sedikit pasti lah. Apakah kompasianer bisa menanti selama itu? Bisa kalau mau!
Saya memang bukan satu-satunya kompasianer yang berhasil menembus Gramedia. Hanya saja, saya ingin agar catatan uneg-uneg ini sebagai penyemangat bagi penulis pemula seperti saya (yang statusnya ibu rumah tangga dan menjadikan menulis sebagai hobi dan obat tamba ati), bahwa tak pernah ada hasil tanpa upaya keras, doa dan kesabaran tingkat tinggi. Selamat mencoba. Kalau tidak sekarang, kapan lagi? Ayo menulis dan kirimkan ke penerbit pilihan kompasianer. Semangkaaa.(G76)
PS: Terima kasih atas kebaikannya dalam mendapatkan dan membaca buku "Bertahan di Ujung Pointe ..."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H