Pertama kali ketemu Vaya di sebuah cafe di Jakarta. Ia masih berumur 9 tahun. Waktu itu ia ikut mamanya yang janjian sama saya untuk memperbincangkan buku biografi “Bertahan di Ujung Pointe.“ Saya ditemani kompasianer Sri Sulastri alias mbak Ncul.
Ia tampak begitu cuek ketika kami ngobrol banyak tentang kemungkinan untuk menulis buku yang mengulas balet dan balerina.
Dalam perjalanan saya mengajar anak Indonesia dari TK, SMA sampai perguruan tinggi, banyak mengamati tentang pengembangan bakat dan minat seorang anak. Dalam hati saya membatin, “Ini anak pasti punya bakat yang luar biasa, seperti mamanya.“
Dan benar. Gadis yang telah mengikuti kelas balet sejak umur satu tahun itu kini sudah tumbuh dewasa. Limabelas tahun umurnya. Dia ada di New York, Amerika. Negeri paman Sam itulah yang menjadi negeri tumpangannya selama 3 tahun ini untuk menuntut ilmu balet di akademi balet GKA. Sesuai postingan mamanya di FB, sudah 4 summer dan 3 tahun program yang dijalani. Pertunjukan besar seperti Harlequinade (2013 & 2015), Sleeping beauty (2013 & 2014), Nutcracker (2013 & 2014) dan Don Quixote (2015).
[caption id="attachment_418890" align="aligncenter" width="448" caption="Vaya di panggung NYC, bikin mamanya bangga (dok.Jetty)"][/caption]
Keyakinan bahwa sang mama bangga, terbukti, “Dada menggembung...“ begitu balasan si ibu ketika saya menulis komentar, “Betapa bangganya yang jadi ibu ketika anaknya berhasil menjadi balerina soloist di sebuah show Amrik....“
Tentu saja untuk menuju prestasi itu tidak mudah. Meski sudah terlihat berbakat dan memang sudah turunannya balerina hebat, Vaya memiliki keinginan kuat untuk jadi penari balet dan rela homeschooling. Bukan dari tekanan mamanya (seperti yang terjadi pada mama Vaya), tak pula dari gurunya, tidak juga dari neneknya. Sendiri, dari lubuk hati yang paling dalam. Panggilan jiwa, passion nya di situ.
Ini berbeda dengan cerita beberapa ibu yang prihatin atas perkembangan anaknya yang remaja.
A (50 tahun) terlihat begitu stress memandangi anak lelakinya yang ragil kurang satu tahun lulus Realschule (kelas 10), mogok. Ia memilih untuk cari kerja saja di sebuah dealer mobil. Otomotif adalah klangenannya. Si ibu berpikir, bekerja nanti saja, setahun lagi kalau sekolah sudah lulus. Ijazahnya bisa digunakan untuk melamar pekerjaan atau meneruskan ke jenjang berikutnya seperti Berufschule atau Gymnasium (sampai kelas 13). Setelah melalui diskusi alot, tetap saja keputusannya, “Tidak, mama, aku tidak mau sekolah lagi. Aku mau cari uang saja. Aku bosan belajar.“
Keprihatinan itu bertumpuk, ketika anak keduanya yang mengaku secara terbuka pada publik bahwa dirinya gay (terlihat dari kalung bertuliskan “I like boys“), lulus Gymnasium dan jadi pengangguran. Setiap hari di rumah makan, tidur dan nonton TV. Katanya, sudah stress dari melamar pekerjaan sana-sini, nggak ada yang panggil. Ya, sudah, nyerah.
Usaha si ibu untuk mengobati jiwa anak telah dilakukan dengan berkonsultasi rutin dengan psikiater dan psikolog. Nihil. Hasilnya tetap nihil.
Atau cerita seorang ibu, O (45 tahun) yang diancam akan dibunuh oleh anaknya, T (16 tahun). Kisahnya agak mirip Malin Kundang. Si anak laki-laki mengatakan pada sang ayah “Kau bukan bapakku, tak sudi aku hidup denganmu.“ Dan si anak memang betul-betul minggat dari rumah. Sekolah seperti hidup segan mati tak mau. Kacau.
Serem, si anak masih bisa menghisap ATM orang tuanya untuk mencukupi kebutuhan hidupnya di sebuah flat. Belakangan ketika orang tua terus mengirim uang karena desakan pemda juga, si anak bahkan pernah berujar pada ibunya,“Kubunuh kau ...“
Pusing kepala, jengkel, sedih dan marah rasanya kalau saya mendengar cerita para orang tua (ibu) tadi yang tidak bisa memilih anak seperti apa yang mereka akan dapatkan di dunia ini. Membayangkan susahnya waktu mengandung, melahirkan dan menyusui ....
Barangkali salah asuh, sehingga anak-anak itu menjadi sedemikian tidak berbaktinya. Mungkin saja anak-anak itu bermaksud menguji kesabaran orang tuanya. Entahlah. Barangkali betul kata pepatah Jerman “Kleine Kinder kleine Sorge, Größe Kinder größe Probleme“ karena kalau anak masih kecil, kekhawatirannya tidak sebesar saat mereka remaja nanti. So, enjoy the times.
Bagaimanapun pelajaran hormat pada orang tua di manapun tetap sama lah yaaa. Mau di Amerika, Ameriki, Jerman atau jejer taman ... Harus ada, tidak boleh hilang. Jadi kalau ada anak yang mampu membanggakan orang tuanya, wajar kalau orang tuanya bahagianya selangit. Kalau ada anak yang membuat orang tua pusing tujuh turunan, bagaimana? (G76)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H