Mohon tunggu...
Gaganawati Stegmann
Gaganawati Stegmann Mohon Tunggu... Administrasi - Telah Terbit: “Banyak Cara Menuju Jerman”

Housewife@Germany, founder My Bag is Your Bag, co founder KOTEKA, teacher, a Tripadvisor level 6, awardee 4 awards from Ambassadress of Hungary, H.E.Wening Esthyprobo Fatandari, M.A 2017, General Consul KJRI Frankfurt, Mr. Acep Somantri 2020; Kompasianer of the year 2020.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Antalya, Turki: Saya Buat Polisi Bandara Ling-Lung dan Garansi Laptop Kembali

22 November 2011   10:49 Diperbarui: 25 Juni 2015   23:20 1954
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pesona Turki telah menyedot jiwa, begitu saya menapakkan kaki di Bandara Ataturk di Istambul. Negeri berpenduduk 67,8 juta jiwa dengan luas tak sampai satu juta meter persegi itu begitu eksotik. Di sana-sini terlihat bangunan berinfrastruktur modern bercampur bangunan bersejarah. Oyoyoy, negeri yang warganya memenuhi populasi Jerman itu selalu gigih mengikis olok-olok "Eropa tanggung" (red: banyak orangnya yang mirip warga EU dengan rambut blonde, kulit putih, hidung bangir, tinggal di daerah perbatasan EU dan timur tengah, serta memiliki gaya hidup modern … namun mungkin baru bisa diterima secara resmi sebagai anggota EU tahun 2013 atau bahkan 2021 nanti, let’s see lah).

[caption id="attachment_150912" align="aligncenter" width="664" caption="Welcome to EU, soon ...(N6670)"][/caption]

Kesan pertama: membuat polisi bandara ling-lung

Setelah beberapa hari tugas di Jakjazz dan hampir sehari penuh "terkungkung" di pesawat, rasanya lega begitu mendarat di Istambul. Dari Jakarta pesawat berangkat pukul 1.00 dinihari dan baru mendarat pukul 18.00 di Istambul. Selisih waktunya kira-kira 4 jam lebih lambat dari Indonesia (?).

Meski begitu, saya tak langsung mengistirahatkan badan. Dari kota yang dahulu masyhur dengan sebutan Konstantinopel itu, perjalanan saya harus berlanjut ke Kota Antalya untuk bertemu dengan teman-teman network (waktu itu). Ya ampunnn … boyoke, rek.

Begitu berada di pintu gerbang bandara Istambul, saya menuju agen perjalanan "The Last Minute". Sejumlah penerbangan ditawarkan; mulai dari yang paling mahal seperti Turkish Airlines hingga yang termurah seperti Skyfly atau Onuair. Akhirnya saya pilih Onuair dengan penerbangan pukul 19.30. Harga tiket yang dahulu ditawarkan panitia seharga 50 Turkish Lira, tiba-tiba berubah menjadi 120 TL atau 80 Euro di tempat. Dari Jakarta, saya terbang tanpa tiket lokal di Turki (termasuk sembrono, ya?). That was a big mistake! Bayangkan kalau tidak mendapat tiket dan terkatung-katung di bandara, rak ngaplo (red: bisa menderita batin).

Tanpa pikir panjang saya bayar tiket, demi mengejar jadwal acara yang tertinggal. Sebagai penawar hati, pramuwisata dari agen perjalanan itu berbaik hati membawakan satu troli dan mengantar hingga tempat boarding. What a porter!

Lelaki itu kembali ke tempatnya bekerja sedangkan saya melihat-lihat pemandangan yang ada. Beberapa menit kemudian, saya kalang kabut lantaran merasa tas saya menghilang. Buru-buru saya lapor kepada petugas. Merekapun kontan kebingungan. Empat orang polisi mulai hilir mudik di sekeliling bandara.

"Where did you put your baggage (red: dimana anda menaruh tas)?" tanya seorang petugas perempuan

"I took it from boarding desk and passed it through the screen then I forgot it. (red: saya membawanya dari tempat boarding dan melalui alat pengaman. Kemudian, saya lupa membawanya)," jawab saya setengah memelas.

"Are you sure? What was inside? Money? Petugas keamanan bandara menanyakan apakah saya benar-benar kehilangan dan ingin tahu apa isinya, uang atau barang berharga lainnya. Sayapun menjelaskan bentuk dan warna tas serta menginformasikan bahwa tak ada barang berharga kecuali baju dan berkas seminar.

Setengah jam berlalu, petugas ketiga mengajak saya keliling bandara untuk mencarinya. Beberapa detik kemudian, sekilas mata saya menyoroti antrean di Onuair, saya berteriak karena tiba-tiba ingat bahwa tas itu sudah saya kirim duluan. Ya, ampun! Saya sudah mengirimnya lebih dahulu ke Antalya! Sebelum ngeloyor turun ke ruang tunggu, buru-buru saya minta maaf kepada para petugas keamanan. Hahaha dasar saya bilung (bingung dan ling-lung).

[caption id="attachment_150914" align="aligncenter" width="631" caption="Tiket box Onuair (N6670)"][/caption]

I was (not really) a milliondollarwoman

Sebelum duduk di ruang tunggu, saya menukar uang di money changer. Berkenaan dengan mata uang Turki itu, hal yang sempat membuat saya bilung adalah pada mata uang Turki edisi lama karena ada sederet angka nol dalam jumlah jutaan di belakang tiap nominal yang tertera di mata uang. Kaget rasanya menjadi milyuner dadakan. Jutaan uang masuk di dompet warna pink. Saat melihat sebuah kalung warna biru dengan harga 5.000.000 TL, hati saya kecut. What, 5 juta? Harga barang yang ditawarkan toko tiba-tiba terasa tidak masuk akal. Begitu sadar dari panik dan menghitung nilai nominal aslinya dengan HP, hati yang tadi berdesir berubah jadi geli. Hahaha … itu hanya sekitar 4 YTL, ndhuk!

Beruntung, Turki saat ini memiliki kebijakan mata uang baru yang menghilangkan nol-nol di belakang. Sejak Januari 2005, selain Turkish Lira (TL), negeri itu juga menggunakan New Turkish Lira (YTL). Sebagai perbandingan, nilai 1 dolar AS misalnya, setara dengan 1.350.000 TL atau 1,35 YTL dan 1 Euro sama dengan 1.770.000 TL atau cukup ditulis 1,77 YTL.

Menurut saya, barang di sana relatif mahal dibanding Indonesia. Sebagai gambaran, sebotol bir 0,5 liter seharga 2,8 Euro atau 5 YTL (loh, kok di Jerman lebih murah yang hanya 0,60 euro?); satu pak rokok Marlboro isi 20 harganya 1,8 Euro atau 3,30 YTL; dan satu kali makan di restaurant biasa tarifnya 8,4 Euro atau 15 YTL. Tarif kamar hotel melati ternyata tak terlampau mahal. Satu kamar di hotel itu, semalam berkisar 16,9 Euro atau 30 YTL per orang.

[caption id="attachment_150917" align="aligncenter" width="593" caption="He was (not) a milliondollarman"][/caption]

Garansi lap top kembali

Perjalanan Istambul-Antalya bisa ditempuh dalam satu jam dengan pesawat. Karena membeli tiket Onuair, saya hanya mendapatkan air mineral saja. Waduh, ngelihe rak jamak (red: laparnya). Masih untung, penerbangan internasional sebelumnya telah menjamu dengan makan besar dan snack sampai tuntas he he he … ada stock di perut.

Begitu mendarat di Bandara kecil Antalya, saya rasakan udara begitu dingin. Saya lihat peta menuju lokasi pertemuan yang ternyata tak seberapa jauh. Untungnya, shuttle bus belum berangkat. Untuk tujuan hotel berbintang empat, Best Western Khan Hotel saya rogoh kocek 8 YTL lebih murah 12 YTL ketimbang taksi.

Oh, ya … biasanya antara jam 12 malam hingga 6 pagi harga tiket transportasi naik 25 persen dibandingkan jam-jam biasa. Di depan bis, kondektur yang baik hati dengan bahasa Inggris berlogat Turki mencoba menolong mencarikan hotel yang saya maksud. Bahasa Inggrisnya sempat terbata- bata, kadang mengangguk-angguk, kadang tersenyum. Inikah bahasa Tarzan?

Ketika itu saya mengamati sudut-sudut kota Antalaya diantara remang cahaya malam. Wow! Kota ini memang cantik, tertata meski tua dimakan usia.

Di bis inilah saya menaruh laptop mini di bagasi atas kepala saya. Parahnya, karena baru pertama kali ke Antalya, lelah yang hebat dan gelapnya malam, saya lupa membawanya serta. Tak sadar, saya turun hanya membawa trolley.

Sesampai di hotel dan berinteraksi dengan teman-teman yang sedang asyik berbagi informasi lewat laptop, saya baru ingat benda berharga itu sudah tidak lagi bersama saya. Panik itu membuat saya memaksa ketua panitia untuk menelpon perusahaan bis. Untung saja saya masih menyimpan tiket bis yang diberikan lelaki baik hati tadi. Ada alamat dan nomer telepon yang bisa dihubungi tertera disana. Setelah berbincang dengan bahasa Turki, Aisyah mengatakan bahwa besok pagi, sopir bis akan mengirimnya kepada receptionist hotel. Ihhh … baik hati sekali. Jarang-jarang mungkin kali ya? Ia menggaransi laptop saya kembali! Saya segera menelpon kembali suami di kantor (Indonesia), yang sebelumnya saya beritahu perihal kehilangan dan ikut panik namun tidak bisa berbuat apa-apa. Lelaki saya itu akhirnya happy, tak perlu merogoh kantong lagi. Lah, kalau ketinggalan di bis Indonesia sudah raibkah? (Pengalaman di Jerman, garansi HP dan dompet utuh kembali benar terjadi, loh).

Mescit atau Masjid sangat mudah ditemukan di kota-kota Turki.

Antalya disinari sang mentari selama 300 hari setahun. Itulah sebabnya banyak turis mandi matahari, berenang, ski air, berlayar, selancar angin, naik gunung, dan olah raga lain. Datang pada bulan Maret, tak saya lihat salju di sekitar, hanya butiran es dan glatt (red: air yang sudah membeku). Padahal biasanya pada bulan Maret dan April, orang-orang kadang bisa bermain ski di pagi hari dan di sore hari berenang di air hangat air laut Mediterania. Kota tua ini pasti beruntung berada di ujung selatan negeri, hingga memiliki keindahan laut Mediterania dan menjadikannya sebagai wisata pantai terbaik di Turki, layaknya Bali di Indonesia atau Cebu di Filipina.

Menurut sejarah, Antalya ditemukan kali pertama tahun 159 SM oleh Attalos II, raja Pergamum, yang akhirnya menamakan kota itu sebagai Attaleia. Pada waktu itu terjadi perebutan kekuasaan kota. Salah satu saksi bisu nan megah adalah masjid yang dibangun oleh Setjuk sultan Alaeddin Keykybat di tengah kota pada abad 13 M. Inilah yang menjadi simbol kota Antalya.

Selain itu ada masjid-masjid pada masa Ottoman yang penting dibangun pada abad 16. Contohnya Masjid Murat Pasa dan Masjid Tekeli Mehmet Pasa yang dibangun pada abad 18. Dalam bahasa Turki, masjid adalah Mescit. Hotel yang kami huni dikelilingi masjid-masjid. Salah satunya bahkan ada di depan hotel. Ada getaran halus menerpa kulit saat azan nyaring mengundang masyarakat untuk beribadah, serasa di kampung halaman. Muadzin-muadzin itu bersahutan di waktu yang bersamaan.

[caption id="attachment_150919" align="aligncenter" width="678" caption="Contoh masjid di Antalya"][/caption]

Air terjun Kursunlu

Setelah seharian berdiskusi, 60 Koordinator LSM se-Eropa Timur dan 5 negara Asia (Indonesia, Thailand, Jepang, Korea dan India) mengikuti city tour. Dua bis putih dan kuning mulai merangkak keluar dari parkir Hotel Khan. Pelan tapi pasti, bis-bis wisata itu melewati jalan-jalan kecil di Antalya.

Si pemandu mulai berbla bla bla. Di tempat duduk paling belakang di sisi kanan, saya terlelap karena dingin. Begitu mata terbuka, di sana-sini banyak pohon tua yang tidak ditebang dan terawat dengan baik di sepanjang jalan. Bahkan beberapa pohon dibiarkan tumbuh tua di tengah-tengah sebuah jalan!

Waktu kami hanya 4 jam dengan tujuan pertama lokasi air terjun Kursunlu. Hembusan angin beriklim 10 derajat celcius membuat saya menggigil. Seorang teman dengan gentle-nya menambahkan jaket yang saya kenakan menjadi ganda. Badan terasa hangat sementara keindahan alam Turki tetap menyegarkan mata.

[caption id="attachment_150920" align="aligncenter" width="653" caption="Air terjun Kursunlu, airnya hijau"][/caption]

Sebagai manusia tropis, saya terserang virus toilet. Berada di toilet Bayan untuk perempuan, saya tersenyum lantaran kebersihan yang amat terjaga tampak disana. Lalu saya bergabung dengan teman-teman menyusuri jalan setapak yang mengitari air terjun. Airnya yang hijau bening membuat kami bisa melihat dasar tanah dan bebatuan. Di sebelah kanan adalah taman burung. Beragam burung langka bisa ditemukan bagai buluh perindu akan panggilan suara alam.

Aspendos Amphitheater dan Gora, kompleks pasar zaman kuno

Satu jam berada di air terjun, kami bertolak ke tempat bersejarah. Yakni, sebuah reruntuhan gedung teater tua bernama Aspendos Amphitheater di timur Antalya.

[caption id="attachment_150922" align="aligncenter" width="628" caption="Aspendos Amphitheater"][/caption]

Setibanya di sana, kami berlomba-lomba menaiki trap tempat duduk tertinggi. Tiba-tiba seorang pria asal Jerman menyanyikan sebuah lagu layaknya Pavarotti atau Placido Domingo. Semua bertepuk tangan untuk "opera" spontan itu. Mas … mas, sedang happy ya?

Saya membayangkan bagaimana dahulu orang Turki menikmati hiburan di gedung antik yang pasti dulunya megah itu. Konon, para artis Turki dan sekitarnya menggunakan teater tersebut untuk galeri seni, akustik, dan lain sebagainya.

Berikutnya, pemandu kami pamer tentang keindahan Gora, sebuah kompleks pasar zaman kuno. Sayang sekali bangunannya sudah rusak. Namun sisa-sisa kemasyurannya masih kentara terutama pada pilar-pilar yang masih berdiri tegak.

[caption id="attachment_150924" align="aligncenter" width="587" caption="Pilar Gora"][/caption]

Di seputaran, ada tempat jagal hewan, taman tempat istirahat bersama dayang-dayang, kolam renang air panas khusus untuk kaum saudagar dan masih banyak lagi. Lahannya sangat luas, tapi keluasan itu seakan-akan melambaikan tangan mengajak kita mencermati setiap detil bebatuan di situ.

Hari makin gelap, perjalanan terakhir kami usai sudah. Keesokan harinya, saya kembali ke Istambul. Itu sebuah babak perjalanan yang juga menggelikan. Argggh, kaki pendek saya terasa pegal tapi hati tak mau jera menilik ciptaan alam karunia Illahi time to time. Yaiy!

I believe I can fly …

Sumber:

1. Pengalaman pribadi

2. WWW.Wikipedia.de

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun