[caption id="attachment_199460" align="aligncenter" width="509" caption="Band jalanan Jerman"][/caption]
Seniman atau seniwati adalah orang-orang yang saya kagumi. Mereka ini memiliki bahasa yang biasanya hanya dimengerti oleh sesamanya. Bahasa cinta, itu sebutan saya pada mereka. Mengapa bahasa cinta? Tanpa cinta, sangatlah mustahil mereka mengekspresikan bakat dan minatnya dalam bentuk seni apa adanya, bukan semata-mata karena pamrih harta benda yang didapat darinya. Saya tafsir, ini bukan hanya soal perut.
[caption id="attachment_199420" align="aligncenter" width="490" caption="Seni Vs sesuap nasi (sepasang pengamen Italia, 2007)"]
[caption id="attachment_199411" align="aligncenter" width="442" caption="Pengamen jalanan Stuttgart, Jerman"]
***
Mengapa para seniman itu turun kejalan?
Seperti halnya topeng monyet, teater jalanan yang mengusung musik dan teater hewan (ular, kera) ini sudah turun menurun selama bertahun-tahun bahkan berabad-abad. Sebuah tradisi yang semoga tak akan mati di negeri rayuan pulau kelapa.
[caption id="attachment_199413" align="aligncenter" width="446" caption="Topeng monyet, sirkus jalanan kesukaan anak-anak"]
Kedua, mungkin saja ini memang tujuan utama mereka menggelar happening art yakni working on the street. Di jalanan, seniman bisa mendapatkan massa yang akan menikmati seni yang disajikan dengan mudah lantaran banyak pengendara motor atau mobil dan pejalan kaki yang bisa tersedot magnet tampilan mereka.
[caption id="attachment_199414" align="aligncenter" width="416" caption="Brussel (Belgia), 2002"]
Alasan kedua, seni mereka ini mungkin juga belum diterima oleh media resmi seperti TV, radio, perusahaan rekaman dan lain sebagainya. Dengan menemukan lokasi di jalan atau tempat umum, saya duga penerimaannya lebih besar dari penolakan. Sambutan wajah yang sumringah dari penonton, senyuman yang melebar, tepukan tangan yang bergemuruh, siulan yang bersahutan, gemerincing jatuhnya kepingan logam uang adalah sebuah feedback yang menyenangkan hati para seniman.
[caption id="attachment_199427" align="aligncenter" width="439" caption="Perbatasan Jerman-Austria (2007)"]
Terakhir saya terka, para seniman/wati ini berada di jalan karena sengaja ingin melanggar aturan, mendobrak sesuatu dengan kekuatan yang dahsyat dan makna lain yang hanya dimengerti oleh penyaji. Hal ini ingin disampaikan kepada khalayak, di tempat umum. Gambaran ini sepertinya lebih mengacu pada seniman jalanan di negara maju seperti Jerman. Sekali saja mereka menggelar aksinya di tempat yang tidak semestinya atau tanpa ijin, tibum yang datang adalah polisi dengan seragam lengkap dan mobil patroli. Nampaknya ini juga diberlakukan oleh negeri Italia (saya lihat polisi mengejar beberapa peniup terompet/saxophone, badut atau grup musik indie) di pusat kota.
[caption id="attachment_199422" align="aligncenter" width="386" caption="Happening art di Odense, Denmark (2003)"]
Di Jerman sendiri seniman jalanan yang (biasanya) menggelar teater, mulai dikenal pertama kali sejak tahun 1960-an. Misalnya saat para mahasiswa mulai mengkritisi pemerintah Bundes, menyangkut sospol. Nama-nama seperti Joseph Beuys, Wolf Vostell dan seorang dari Korea, Nam June Paik adalah sosok yang tak asing pada masa itu. Kini perkembangan teater jalanan Jerman amat pesat. Tercatat sampai tahun 2011 yang lalu, 200 grup telah menggelar banyak pertunjukan jalanan dengan nul tarif alias gratis (red: sumbangan atas kerelaan penikmat) dan terbuka bagi semua kalangan. Kelihatannya di beberapa negara yang sempat saya kunjungi, seniman jalanan bukanlah sekedar orang cari duit (dan atau perhatian), gembel atau sebuah pemandangan yang tidak nyaman dimata, namun justru sebagai pelengkap menarik dan penghibur di sebuah tempat umum! Semoga saja gambaran dan contoh yang baik dari para seniman jalanan di mancanegara benar-benar menggugah kompetensi, kemajuan, persatuan, kreativitas dan semangat seniman jalanan Indonesia. Sehingga pada gilirannya, happening art atau street theater para seniman jalanan nusantara misalnya, patut dihargai para penikmat di sekitarnya.
[caption id="attachment_199423" align="aligncenter" width="462" caption="Anak jalanan Semarang, Indonesia (2005)"]
Jalanan tak hanya jadi langganan banjir, macet, anak jalanan, pengemis, copet, kaki lima atau … sampah. Lantaran seni itu indah sekali, betapa indah saat jalanan disemarakkan dengan seniman jalanan saja. Ah, andai seniman jalanan ditata sedemikian rupa mungkin bangsa kita tak hanya akan disebut-sebut sebagai bangsa peminta-minta, bangsa kasihan, bangsa yang banyak koruptor, bangsa yang penuh sampah, ahhh ... tetapi lebih pada bangsa yang berbudi pekerti luhur dengan budayanya yang adi luhung (dengan kemasan yang menarik dan tak lusuh) …. (G76)
Sumber :
1.Link WPC XII: http://lifestyle.kompasiana.com/hobi/2012/07/07/weekly-photo-challenge-street-photography/
2.Pengalaman pribadi
3.http://en.wikipedia.org/wiki/Street_theatre
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H