Mohon tunggu...
Gaganawati Stegmann
Gaganawati Stegmann Mohon Tunggu... Administrasi - Telah Terbit: “Banyak Cara Menuju Jerman”

Housewife@Germany, founder My Bag is Your Bag, co founder KOTEKA, teacher, a Tripadvisor level 6, awardee 4 awards from Ambassadress of Hungary, H.E.Wening Esthyprobo Fatandari, M.A 2017, General Consul KJRI Frankfurt, Mr. Acep Somantri 2020; Kompasianer of the year 2020.

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Andai Seniman Jalanan Ditata Sedemikian Rupa …

7 Juli 2012   23:29 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:12 583
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_199460" align="aligncenter" width="509" caption="Band jalanan Jerman"][/caption]

Seniman atau seniwati adalah orang-orang yang saya kagumi. Mereka ini memiliki bahasa yang biasanya hanya dimengerti oleh sesamanya. Bahasa cinta, itu sebutan saya pada mereka. Mengapa bahasa cinta? Tanpa cinta, sangatlah mustahil mereka mengekspresikan bakat dan minatnya dalam bentuk seni apa adanya, bukan semata-mata karena pamrih harta benda yang didapat darinya. Saya tafsir, ini bukan hanya soal perut.

[caption id="attachment_199420" align="aligncenter" width="490" caption="Seni Vs sesuap nasi (sepasang pengamen Italia, 2007)"]

1341702732487879979
1341702732487879979
[/caption] Entah dari keahlian seni mereka yang bisa dinikmati lewat audio (seni musik, seni suara), audiovisual (seni teater) atau visual (seni rupa) dan lain-lain. Semuanya sama saja, olah pikir dan budaya manusianya merupakan ramuan yang jatuhnya pas secara rohani. Obat tamba ati. Seniman jalanan. Kelompok ini saya pandang mengusung sebuah visi misi yang hanya dipahami oleh grup yang sama. Tak bisa saya bayangkan berapa kilometer yang harus ditempuh dengan kaki oleh sepasang suami istri yang menawarkan jasa ledhek ketek atau ketek ledeng alias topeng monyet, tak terkira berapa liter peluh yang jatuh dari seorang pengamen jalanan yang naik turun beberapa bis atau door to door dalam sehari, tak tahu pula berapa lama waktu menghias diri dengan warna di sekujur tubuh para seniman/wati ekonomi kreatif yang bertebaran di jalanan luar negeri.

[caption id="attachment_199411" align="aligncenter" width="442" caption="Pengamen jalanan Stuttgart, Jerman"]

13417016111613595957
13417016111613595957
[/caption] [caption id="attachment_199412" align="aligncenter" width="440" caption="Pengamen jalanan Magelang, Indonesia"]
1341701703497414823
1341701703497414823
[/caption]

***

Mengapa para seniman itu turun kejalan?

Seperti halnya topeng monyet, teater jalanan yang mengusung musik dan teater hewan (ular, kera) ini sudah turun menurun selama bertahun-tahun bahkan berabad-abad. Sebuah tradisi yang semoga tak akan mati di negeri rayuan pulau kelapa.

[caption id="attachment_199413" align="aligncenter" width="446" caption="Topeng monyet, sirkus jalanan kesukaan anak-anak"]

13417018121217278681
13417018121217278681
[/caption]

Kedua, mungkin saja ini memang tujuan utama mereka menggelar happening art yakni working on the street. Di jalanan, seniman bisa mendapatkan massa yang akan menikmati seni yang disajikan dengan mudah lantaran banyak pengendara motor atau mobil dan pejalan kaki yang bisa tersedot magnet tampilan mereka.

[caption id="attachment_199414" align="aligncenter" width="416" caption="Brussel (Belgia), 2002"]

134170192544743921
134170192544743921
[/caption] [caption id="attachment_199415" align="aligncenter" width="402" caption="Istambul (Turki), 2005"]
13417020291277662012
13417020291277662012
[/caption] [caption id="attachment_199417" align="aligncenter" width="392" caption="Dubai (UEA), 2010"]
13417021331067268279
13417021331067268279
[/caption] [caption id="attachment_199418" align="aligncenter" width="398" caption="Nürnberg (Jerman), 2006"]
13417022641242909564
13417022641242909564
[/caption] [caption id="attachment_199419" align="aligncenter" width="391" caption="Hemmendorf (Jerman), 2012"]
13417023751182247628
13417023751182247628
[/caption] [caption id="attachment_199425" align="aligncenter" width="403" caption="Innsbrück (Austria), 2008"]
134170335132233004
134170335132233004
[/caption] [caption id="attachment_199426" align="aligncenter" width="392" caption="Innsbrück (Austria), 2008"]
13417034621116852498
13417034621116852498
[/caption]

Alasan kedua, seni mereka ini mungkin juga belum diterima oleh media resmi seperti TV, radio, perusahaan rekaman dan lain sebagainya. Dengan menemukan lokasi di jalan atau tempat umum, saya duga penerimaannya lebih besar dari penolakan. Sambutan wajah yang sumringah dari penonton, senyuman yang melebar, tepukan tangan yang bergemuruh, siulan yang bersahutan, gemerincing jatuhnya kepingan logam uang adalah sebuah feedback yang menyenangkan hati para seniman.

[caption id="attachment_199427" align="aligncenter" width="439" caption="Perbatasan Jerman-Austria (2007)"]

13417037262123428561
13417037262123428561
[/caption]

Terakhir saya terka, para seniman/wati ini berada di jalan karena sengaja ingin melanggar aturan, mendobrak sesuatu dengan kekuatan yang dahsyat dan makna lain yang hanya dimengerti oleh penyaji. Hal ini ingin disampaikan kepada khalayak, di tempat umum. Gambaran ini sepertinya lebih mengacu pada seniman jalanan di negara maju seperti Jerman. Sekali saja mereka menggelar aksinya di tempat yang tidak semestinya atau tanpa ijin, tibum yang datang adalah polisi dengan seragam lengkap dan mobil patroli. Nampaknya ini juga diberlakukan oleh negeri Italia (saya lihat polisi mengejar beberapa peniup terompet/saxophone, badut atau grup musik indie) di pusat kota.

[caption id="attachment_199422" align="aligncenter" width="386" caption="Happening art di Odense, Denmark (2003)"]

13417029561694044695
13417029561694044695
[/caption]

Di Jerman sendiri seniman jalanan yang (biasanya) menggelar teater, mulai dikenal pertama kali sejak tahun 1960-an. Misalnya saat para mahasiswa mulai mengkritisi pemerintah Bundes, menyangkut sospol. Nama-nama seperti Joseph Beuys, Wolf Vostell dan seorang dari Korea, Nam June Paik adalah sosok yang tak asing pada masa itu. Kini perkembangan teater jalanan Jerman amat pesat. Tercatat sampai tahun 2011 yang lalu, 200 grup telah menggelar banyak pertunjukan jalanan dengan nul tarif alias gratis (red: sumbangan atas kerelaan penikmat) dan terbuka bagi semua kalangan. Kelihatannya di beberapa negara yang sempat saya kunjungi, seniman jalanan bukanlah sekedar orang cari duit (dan atau perhatian), gembel atau sebuah pemandangan yang tidak nyaman dimata, namun justru sebagai pelengkap menarik dan penghibur di sebuah tempat umum! Semoga saja gambaran dan contoh yang baik dari para seniman jalanan di mancanegara benar-benar menggugah kompetensi, kemajuan, persatuan, kreativitas dan semangat seniman jalanan Indonesia. Sehingga pada gilirannya, happening art atau street theater para seniman jalanan nusantara misalnya, patut dihargai para penikmat di sekitarnya.

[caption id="attachment_199423" align="aligncenter" width="462" caption="Anak jalanan Semarang, Indonesia (2005)"]

1341703044484658357
1341703044484658357
[/caption] [caption id="attachment_199424" align="aligncenter" width="440" caption="Pengemis Simpang Lima Semarang, Indonesia (2009)"]
1341703107459798187
1341703107459798187
[/caption]

Jalanan tak hanya jadi langganan banjir, macet, anak jalanan, pengemis, copet, kaki lima atau … sampah. Lantaran seni itu indah sekali, betapa indah saat jalanan disemarakkan dengan seniman jalanan saja. Ah, andai seniman jalanan ditata sedemikian rupa mungkin bangsa kita tak hanya akan disebut-sebut sebagai bangsa peminta-minta, bangsa kasihan, bangsa yang banyak koruptor, bangsa yang penuh sampah, ahhh ... tetapi lebih pada bangsa yang berbudi pekerti luhur dengan budayanya yang adi luhung (dengan kemasan yang menarik dan tak lusuh) …. (G76)

Sumber :

1.Link WPC XII: http://lifestyle.kompasiana.com/hobi/2012/07/07/weekly-photo-challenge-street-photography/

2.Pengalaman pribadi

3.http://en.wikipedia.org/wiki/Street_theatre

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun