Mohon tunggu...
Gaganawati Stegmann
Gaganawati Stegmann Mohon Tunggu... Administrasi - Telah Terbit: “Banyak Cara Menuju Jerman”

Housewife@Germany, founder My Bag is Your Bag, co founder KOTEKA, teacher, a Tripadvisor level 6, awardee 4 awards from Ambassadress of Hungary, H.E.Wening Esthyprobo Fatandari, M.A 2017, General Consul KJRI Frankfurt, Mr. Acep Somantri 2020; Kompasianer of the year 2020.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Andai Kota Lama Semarang Disulap Layaknya Altstadt Passau

13 Desember 2011   19:34 Diperbarui: 25 Juni 2015   22:21 1078
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Rumah-rumah yang tak terawat dan pavingisasi di Semarang

Yaiy, Desember, musim penghujan di Semarang kota ATLAS (Aman, Tertib, Lancar, Asri dan Sehat). Hehehe … yang tinggal lama di Semarang pasti bisa manggut-manggut memaknai slogan tersebut. Meski beberapa kali menerima piala penghargaan Adipura, ternyata momok bernama rob dan banjir, baik yang dari hujan maupun bandangan (termasuk tanah longsornya) tetap menjadi langganan. Dulu sering melihat demo dimana-mana … pemandangan yang awam. Yang itu tentunya bukan demo masak.

Sesekali jantung saya ikut jogging, khawatir bahwa tanah kota Lumpia itu ambles senti demi senti dari tahun ke tahun (seperti yang dijelaskan berbagai researcher). Banyak daerah yang telah mengalami peninggian jalan berkali-kali, termasuk kampung halaman saya. Hiks, tanah merembes itu masih menghantui. Bapakkkk ... ibuuukkk ...

Nampaknya beberapa langkah yang diambil oleh pemda dan masyarakat tak menunjukkan hasil yang signifikan. Rumah-rumah masih kebanjiran, banyak daerah yang rumahnya keruntuhan tanah longsor, mas rob setia menggenangi para langganan di beberapa titik (Tanah Mas, Semarang Utara, Simpang Lima, MH Thamrin, Pemuda, Ahmad Yani, MT Haryono, Jenderal Sudirman dan sekitarnya) dan terakhir korban dari jatuhan pohon besar di pinggir jalan. Innalillahi …

Yah … silahkan menikmati sensasi copot sandal/sepatu maupun cincing-cincing rok/celana (red: mengangkat rok/celana agar tak kena air baik dari banjir atau rob) di Semarang. Itu bisa menjadi atraksi kagetan bagi turis lokal bahkan mancanegara. Hey, ini kondisi yang biasa ik … hiks. Semarang kaline banjir … (red: air sungai Semarang sering meluap).

***

Mal-mal ditanam, kota lama terbenam

Tahun demi tahun, kota yang menjadi pusat bisnis dan jasa ini tumbuh. Ya ampun, Nda … makin banyak investor yang tanam saham untuk membangun mal disana. Ow … mungkin karena di Semarang panas, orang butuh ngiyup (red: berteduh) ditempat yang ber-AC kah? Orang Jerman lebih menyukai AC alami dengan membuka pintu dan jendela rumah/kantor sedangkan pemanaslah yang selalu ada demi melawan gigitan temperature sampai misalnya – 27 derajat!

Kalau melihat para pengunjung di Mal Semarang, banyak orang wara-wiri window shopping dan tak benar-benar menghamburkan uang. Irit, betulkah? Buntutnya, mal tetap saja menang tender investasi dibanding kota lama.

OK. Yang paling menggenaskan adalah kawasan kota lama yang sering disebut-sebut sebagai “The Little Netherland”. Limapuluhan bangunan kuno jaman pendudukan Belanda selama 2 abad, seperti Greja Blenduk, jembatan Berok, Stasiun Tawang dan lainnya patut diorganisir sebagai tujuan wisata Asia berkelanjutan, bahkan dunia. Sayang bangunan lainnya rusak dimakan usia, kondisi alam yang mengganggu bangunan (air asin, banjir, panas dan sebagainya) dan kurangnya maintenance.

[caption id="attachment_155936" align="aligncenter" width="553" caption="Gereja Blenduk Semarang"][/caption]

Sebuah aset kota pantai yang sebenarnya bisa dibidik untuk selalu bisa terjual laris manis ini tak tergarap dengan maksimal. Gembar-gembor pemda untuk merawat, merenovasi, mendesainnya sebagai obyek wisata dan lain sebagainya ternyata belum menunjukkan hasil yang diharapkan banyak pihak. Sedih … memang tak semudah membalikkan telapak tangan. Tak hanya boleh menyalahkan mereka, rakyatnya saja banyak yang keplok ora tombok (red: ingin enaknya saja). Ada yang merusak bangunan, mencuri, membuang sampah sembarangan dan lainnya. Hedeh …

Jadi jangan kaget, kalau musim hujan begini dan naik kereta api, bisa saja sambutan stasiun Tawang adalah genangan air coklat. Pun ketika turun dari pesawat dengan air yang mandeg di jalan bandara A.Yani. Hiyyy … atau terjebak kemacetan di Simpang Lima (yang sekarang hijau ditumbuhi pohon kelapa sawit itu (?)) karena pompa air kurang sigap. Lah sampahnya juga menyumbat gorong-gorong di bawah tanah, barangkali.

[caption id="attachment_155937" align="aligncenter" width="602" caption="Polder dan stasiun Tawang Semarang"][/caption]

Jangan heboh juga jika ada orang yang meninggal terkubur longsoran tanah di kawasan Candi. Sedihnya yang keruntuhan adalah rumah orang kasihan, bukan vila-vila cantik yang berjajar diseberang sana. Ah, ini kan urusan nasib. Takdir.

Saya bagai pungguk merindu bulan membandingkan dengan kota lama di Jerman. Di Passau, saya terpukau dengan gereja yang dibangun pada tahun 1010, gerbang peringatan Wasserstand (bekas Fisch Markt) itu berdiri tahun 1000. Bahkan puri yang menjulang tinggi, tegak sejak 999 pasang aksi. Semua masih dalam kondisi yang fit dan layak huni. Pemda dan masyarakat bahu membahu sudah lebih dari satu abad ini. Prima! Pikiran saya terbang pada dinding Lawang Sewu.

[caption id="attachment_155939" align="aligncenter" width="431" caption="Puri Passau yang berdiri tahun 999"][/caption] [caption id="attachment_155940" align="aligncenter" width="415" caption="Salah satu dinding Lawang Sewu Semarang (2010)"][/caption] [caption id="attachment_155946" align="aligncenter" width="429" caption="Bangunan Passau yang hampir mirip Lawang Sewu (renovasi 2011)"][/caption] [caption id="attachment_155948" align="aligncenter" width="407" caption="Indahnya bangunan kota Lama Passau"][/caption]

Indahnya pavingisasi, bangunan dan perawatannya

Saya menyambut manis proyek pavingisasi di kota lama Semarang meski di beberapa daerah banyak bolongnya, rusak dan penyerapan airnya masih juga tak sesempurna yang diharapkan banyak pihak.

Di kota Passau, selain kebersihan yang terjaga, kualitas paving terlihat dari perawatan yang berkesinambungan hingga tahun ini. Nyaman rasanya berjalan tanpa alas kaki di paving yang rata milik mereka. Hiks.

[caption id="attachment_155942" align="aligncenter" width="456" caption="Bangunan terawat dan pavingisasi di Passau"][/caption]

Meminimalisir rob/banjir

Kota lama dan beberapa daerah lain menjadi langganan rob dan banjir. Saya pernah mengalami banjir dari yang setinggi mata kaki sampai pinggang orang dewasa, merasakan kengerian atas getaran jembatan yang goyang-goyang lantaran sungai tak muat menampung hantaran air deras. Polder Tawang adalah salah satu upaya untuk mengatur jalannya air di kali Semarang. Tapi … hiks …

Di kota Passau pada tahun 15 Agustus 1501 pernah mengalami banjir akut setinggi 5 meter. Sedangkan dari tahun ke tahun mulai menunjukkan penurunan yang menggembirakan. Pada tanggal 8 September 1920-an misalnya mengalami titik terendah, 1,5 meteran. Lalu pada 13 Agustus 2002, mencapai 2 meteran. Setelah itu belum ada laporan berarti tentang rob atau banjir disana, apakah ini menandakan tugas mereka meminimalisir rob atau banjir dari kali sudah terlaksana? Haduh, lupa mewawancarai warga …

[caption id="attachment_155947" align="aligncenter" width="564" caption="Gerbang Wasserstand Passau (sekitar pasar ikan dahulu)"][/caption]

Pemanfaatan sungai sebagai aset wisata

Aliran sungai di Semarang yang mengalir hingga kelaut itu ternyata sampai juga ke Sebandaran, Pecinan. Seandainya ini diupayakan sebagai obyek layaknya Gondola di Venezia, atau di Passau dengan kapal pesiar besar dan kecil, alangkah eksotisnya. Sayang, selain airnya kotor dan bau, sampah juga masih berenang disekitarnya. Hiks.

Berbeda dengan di Passau yang dikenal sebagai Dreiflüssestadt atau City of Three Rivers. Pemanfaat kekayaan airnya begitu dimanage sedemikian rupa. Rumah berjajar rapi dan terawat, di seberang sungai. Mulai dari pelabuhan, loket keberangkatan/kedatangan, halte di beberapa tempat dan toko souvenirnya amat terpadu.

[caption id="attachment_155943" align="aligncenter" width="514" caption="Kapal untuk menyusuri "][/caption] [caption id="attachment_155945" align="aligncenter" width="479" caption="Hiasan Swarovski didalam kapal yang lebih besar (Kristallschiff)"][/caption]

Dari semua kenyataan diatas, saya sadar tidak boleh membandingkan Passau dengan Semarang (yang masih jauh dalam memberdayakan kekayaannya lantaran infrastruktur dan SDM yang ada kurang). Baiklah ... saya berandai-andai di dunia maya ini saja, yah … andai kota lama Semarang, layaknya kota lama Passau, Jerman. Gubrakkkk!!! (icon terjatuh dari kasur, bangon Neeeeng!).

[caption id="attachment_155949" align="aligncenter" width="456" caption="Sigh ..."][/caption]

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun