Mohon tunggu...
Gaganawati Stegmann
Gaganawati Stegmann Mohon Tunggu... Administrasi - Telah Terbit: “Banyak Cara Menuju Jerman”

Housewife@Germany, founder My Bag is Your Bag, co founder KOTEKA, teacher, a Tripadvisor level 6, awardee 4 awards from Ambassadress of Hungary, H.E.Wening Esthyprobo Fatandari, M.A 2017, General Consul KJRI Frankfurt, Mr. Acep Somantri 2020; Kompasianer of the year 2020.

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Anak Luar Biasa Butuh Perhatian Kompasianer

1 Oktober 2016   18:30 Diperbarui: 1 Oktober 2016   18:34 13
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Anak SLB butuh perhatian Kompasianer.

Dapat souvenir dan mainan, asyik!
Dapat souvenir dan mainan, asyik!
Ibu guru SLB yang setia.
Ibu guru SLB yang setia.
Anak manis harus menurut ibu guru, ya
Anak manis harus menurut ibu guru, ya
Pulang ke Indonesia adalah sebuah mimpi yang selalu membuat saya berbunga-bunga. Jarak dan waktu Jerman-Indonesia yang jauh, kadang membuat saya selalu berpikir; selain mengunjungi orang tua dan saudara, apa yang bisa saya lakukan agar pengeluaran yang tak sedikit itu berhikmah?

Pengalaman di SLB

Adalah sebuah Sekolah Luar Biasa di Jl. Supriyadi  No 12. Semarang. Sekolah yang tak jauh dari tempat saya tinggal di rumah orang tua itu bukan tempat yang asing lagi. Selama mengabdi sebagai koordinator sebuah LSM internasional di Semarang, SLB Widya Bakti adalah sasaran kami untuk mengadakan kegiatan. Mengirim relawan asing dan lokal untuk berinteraksi dengan anak-anak yang butuh perhatian itu selama 1-2 minggu bahkan ada yang setahun (program LMTV-Long Mid-Term Volunteer). Bukan, bukan hanya anak-anaknya, bapak ibu guru yang ada di sana juga. Sudah susah pula merawat dan mengajar anak-anak luar biasa itu, masih rendah pula gajinya. Apa Kompasianer pikir mereka sejahtera? Saya kira tidak. Harus usul sama siapa? Pemerintah? Jangankan sekolah luar biasa ini, sekolah negeri yang ada di pelosok negeri saja banyak guru yang tidak digaji, dihonor saja atau tidak juga diangkat sebagai guru tetap (PNS). Oh, Indonesia, bermimpi bahwa kesejahteraan para guru Indonesia setara dengan manager di kantor-kantor kota.

Nyatanya, kepindahan kami ke Jerman membuat kegiatan itu tak lagi mengisi jadwal.

Sebuah hari yang indah ketika saya pulang dan menyempatkan diri ke sana. Hanya dua menit jalan kaki sampai.

“Selamat siang ...“ Sapa saya. Ketukan pintu tadi telah membuat ibu guru Tri membukakan pintu. Anak-anak berhamburan menuju saya. Barangkali mereka mau bertanya, siapa orang ini berani-beraninya mengganggu kelas tanpa ijin.

“Siang ... eee .. mbak ...“

“Gana, Bu. Dulu yang dari IIWC.“

“Ehhh iya ... saya ingat ... eh, anak-anak kok malah melu-melu. Ayo duduk yang manis.“ Ibu guru menghalau mereka untuk kembali ke tempatnya masing-masing.  Ibu Tri saya kenal sejak LSM berinteraksi dengan SLB. Ditambah, belakangan ibu Tri punya hubungan dengan bapak ibu saya lantaran suaminya ikut kursus medharsabda pranatacara.

Segera saya sudahi basa-basi. Saya ingin mengganggu kelas selama 30 menit untuk mengajar bahasa Ingris, bahasa Jerman, menyanyi dan berbagi hadiah dari Jerman.

Tentu saja ibu  Tri dan asisten, yang waktu itu adalah PPL dari UNNES Semarang segera membukakan pintu ruang kelas lebih lebar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun