Hari itu Licterfest. Artinya, sekolah mengadakan festival cahaya di malam hari usai sekolah berakhir.
Kami dari bagian pendidikan sosial, menyelenggarakan dua ruangan. Pertama untuk wayang. Kedua, Schwarzlichtschmink. Wayang tadinya ideku dengan menggunakan wayang golek. Tetapi ada teman yang lebih memilih membuat wayang sendiri dari kertas untuk figur yang nggak ada di wayang golek. Sedangkan ruang kedua untuk merias wajah anak-anak dengan kosmetik yang warnanya hanya terlihat bercahaya di bawah sinar lampu khusus.
Kami sudah siap menghias dua ruangan dua hari sebelumnya, jadi pas hari H, sudah rapi.
Usai acara pembukaan di balai pertemuan, aku menuju ruangan rias. Di sana, aku bertugas di sesi pertama. Menghias wajah anak-anak memang seru. Harus ada komunikasi yang aku bangun, supaya anak-anak percaya bahwa ia akan merasa aman dan nyaman ketika aku menghias wajahnya. Ada, kan, anak-anak yang nggak nyaman dipegang orang asing. Misalnya kusapa dulu, kutanya dulu apa maunya, namanya siapa, mau gambar yang mana dan lain sebagainya. Biasanya, orang tua ada di sebelah mereka. Setelah kelar dihias, aku foto supaya ia bisa melihat hasilnya. Sebab, di luar, riasannya berbeda. Nggak menyala!
Tugasku sebenarnya hanya sejam. Dari pukul 16.45 sampai 17.45. Tapi karena dua orang teman yang bertugas berikutnya, terlihat kewalahan, aku mencoba membantu. Tentunya supaya antrean nggak panjang dan ruangan nggak sesak. Biasanya setelah dihias, anak-anak dan keluarganya akan keluar, melanjutkan ke ruangan berikutnya. Misalnya saja ruangan parcour di kegelapan, ruang galaksi atau lainnya.
Pada sesi ketiga, aku ingin jalan-jalan ke ruangan lain yang diselenggarakan anak-anak dan guru kelas 3-10. Menyusuri lorong, aku bertemu dengan segerombolan anak-anak lelaki.
"Wang seng songggggg." Seorang anak umuran 13 tahun menyapaku. Matanya memandangiku yang segera berhenti di depannya.
"Siapa namamu?" Tanyaku, jariku menunjuk dadanya.
"Alex." Alex meringis.
"Kelas berapa?" Kejarku lagi sambil memandangnya serius.
"Kelas 6 C." Alex tertawa.