Namanya orang kerja pasti pengen liburan. Takut jadi orang kurang piknik, ah.
Makanya sebenarnya akhir bulan Desember kami sekeluarga berencana ke New York. Yaelah, pengen liat patung Liberty aja segitunya. Tapiiii, sangat manusiawi, tidak semua keinginan manusia itu bisa terwujud. Selain repot dengan urusan visa, rasanya kok, nggak sreg senang-senang di masa skripsi yang juga penuh ujian tiap minggunya pula. Ya, udah, di rumah ajaaaa. Diambil hikmah baiknya saja (sambil mewek).
Kebetulan, tanggal 30 Desember, saya sudah diminta perkumpulan diaspora yang saya ikuti di Friedrichshafen, Jerman Selatan untuk mengajari anak-anak Jerman yang tergabung dalam "Sternsinger", menari tarian Indonesia (tari Saman dari Aceh dan Poco-Poco). Wkwk, saya pernah belajar sehari waktu di Denmark. Tutornya orang asli Aceh. Gara-gara lupa, saya wayangan latihan dari youtube. Alhamdulillah, bisa!
Yang belum pernah dengar tentang Sternsinger; Stern artinya bintang dan Singer artinya penyanyi. Mereka ini adalah anak-anak Jerman yang biasa mengumpulkan dana dari pintu ke pintu setelah natal. Mereka ini akan memakai kostum tiga raja atau disebut "die drei Koenige" (Caspar, Melchio dan Balthasar), menyanyi di setiap pintu rumah orang Jerman. Ada yang kebagian membawa kotak uang, ada yang kebagian membawa dupa, ada yang membawa tongkat berujung bintang, ada yang mendorong tas yang nanti bisa untuk menaruh coklat atau snack yang disumbangkan orang selain uang. Seru banget, bukan?
Kegiatan yang sangat saya rekomendasikan untuk mendidik anak-anak berempati dengan orang lain, kerja keras dan belajar kerja sama. Perlu diketahui bahwa biasanya di kampung kami, anak-anak yang bergabung tidak melulu orang Katolik, ada yang Kristen, ada yang atheis, ada yang Islam (kebanyakan anak orang Turki).
Menari di gereja Katolik Jerman
Nah, pada akhir kegiatan bersama 200 anak Jerman tersebut, ada kebaktian di gereja. Anak-anak sudah berkumpul dari pukul 10 pagi dan macam-macam kursus baru usai jam 16.00. Selain kursus tari Indonesia yang saya pandu, ada teman lain yang mengajari masak masakan Indonesia, bermain angklung, silat dan hasta karya. Heboh pakai bingit, dah.
Eh. Mengapa semua berbau Indonesia? Lantaran gereja memiliki setidaknya 4 suster dari Indonesia dan ada suster Jerman yang pernah tinggal di Indonesia. Ide untuk menampilkan budaya Indonesia selama kebaktian pas dengan latar belakang orang-orang yang bekerja di dalam gereja. Ada ikatan batin di sana.
Setelah dirundingkan di dalam perkumpulan kami, acara permainan angklung yang diminta pihak gereja dibatalkan. Kami kekurangan orang karena banyak yang libur. Hasil obrolan dengan panitia, kami diberi waktu selama 10 menit; ada saya yang menari tari Golek selama 5 menit dan Citra cs membawakan lagu Indonesia dengan waktu yang sama.
Dari gedung tempat kursus tari ke hotel kami menginap, hanya 7 menit jalan kaki. Jadi jeda waktu satu jam dari lepas acara sosial sampai kebaktian ada sekitar satu jam. Nggak salah kalau saya balik ke hotel untuk ganti kostum tari. Toh, dari hotel ke gereja juga hanya 7 menit jalan kaki. Tadinya mikir mau ganti baju di gereja tapi nggak tahu apakah ada tempatnya. Nggak jadilahhh. Mosok saya harus ganti di bilik bergorden untuk orang mengaku dosa? Nggak sopan, kan. Lagian kalau saya harus mengaku dosa pasti seharian nggak selesai karena sudah tua bersantan, dosanya banyak. Hik.