Ya, udah lebih aman dan nyaman saya balik ke hotel. Yup, selama hampir satu jam, saya dandan di kamar mandi, di mana kaca besar membantu penglihatan saya dalam memberikan pulas ke wajah. Namanya manggung, saya biasa untuk memaksimalkan warna supaya pentasnya lebih greng. Iya, nggak?
Mengapa tari Golek Manis?
Tari Golek Manis saya pelajari ketika saya duduk di kelas 6 SD Sendangguwo 2 di Semarang. Kebetulan, ibu saya yang guru kesenian yang mengajarkan kepada kami. Pertama tujuannya untuk lomba di kecamatan. Kami juara 4. Mau tahu hadiahnya? Buku tulisssss. Aih, klasik banget kan zaman ituh. Kedua, karena ini adalah muatan tari yang diberikan di kegiatan ekstrakurikuler tari anak-anak SD kami.
Oh, iya, tari Jawa ini diciptakan oleh Sultan Hamengkubuwono ke-IX. Dengan kain batik parang, yang konon hanya boleh digunakan untuk putri keraton, saya merasa "wow" memakainya di luar negeri. Jadi, boleh yaaaa ... Emang saya mendapat nama Raden Roro saat lahir, tapi saya bukan dari kalangan istana, nggak lahir di istana. Cuma kata bapak, eyang kakung adalah demang keraton Jogja, orang keraton...jadinya nama itu sempat tercatat di kertas resmi catatan sipil. Ah, yang penting hati saya princess laaaah.
OK. Tari ini saya pilih karena memang menggambarkan putri yang lemah lembut. Golek artinya adalah boneka. Memang waktu dibuat, sang Raja baru saja pulang menonton wayang golek. Manis sendiri artinya tahu bukan, di mana gadis remaja yang sedang tumbuh pasti sedang ranum-ranumnya aka manis-manisnya. Maka gerakan tari banyak yang melukiskan kegiatan para gadis seperti bersolek, berdandan, merias begitu, deh. Jenis gerakannya lemah lembut jadinya nggak yang kedombrengan, nggak jingkrak-jingkrak ...kan nggak enak di gereja tempat orang doa, rame-rame gitu. Jadinya pas dengan suasana kebaktian yang kalem.
***
Teman-teman, Kompasianer di manapun kalian berada. Apa yang bisa diambil hikmahnya dari tulisan ini? Di Kompasiana kan banyak mahasiswa, anak muda yang masih kinyis-kinyis. Betul. Supaya generasi muda bisa menjadi duta budaya di manapun ia berada. Pelajari dan lestarikan budaya negeri.
Lebih heboh memang ketika berada di luar negeri, saat merah putih dan garuda berkibar di dada. Beda, lho, rasanya manggung di negeri kita dan di negeri orang. Nggak percaya? Coba. deh. Tuh, gemes, kannnn. Ayo, cari beasiswa atau program yang bisa membawamu go internasional.
Lhhha, beneran, untuk menjadi duta budaya begini, pasti harus punya bekal, dong. Artinya harus belajar dulu, sebelum pamer. Saya beruntung dilahirkan dari keluarga yang sangat memiliki ketertarikan di bidang budaya. Otomatis ada niat dan bakat di sini.
Saya sudah menari di 12 negara dan menari selama 42 tahun dalam hidup. Semoga terus begitu. Anak-anak saya juga bisa menari tapi nggak sesemangat saya. Nggak papa, yang penting masih mau belajar dan pentas (kalau nggak lagi ngambek). Bukan, saya bukan penari profesional. Menari di sanggar pun, saya enggak. Jadi dari kegiatan ekstrakurikuler di sekolah saja (SD-SMA) habis itu belajar dari tante youtube. Wkwk, follow me if you want.
Terakhir. Saya ingin mengingatkan dan memberi semangat kepada yang muda-muda, bahwa masih banyak waktu untuk belajar. Jika ada keinginan di situ ada jalan. Kita yang tua-tua tinggal mendorong dan mengamini, visi-misi, tujuan atau apapun mimpi yang ingin kalian capai. Eaaaaa ... gayanya kayak emak-emak lagi kultum.