Tadinya, saya tertarik untuk menginap di Wisma karena pasti unik menarik. Suami saya geleng kepala. Demi niat saya itu, saya siap dengan kartu mahasiswa dari kampus tempat saya belajar, berikut surat keterangan belajar berbahasa Jerman dan terjemahannya dalam bahasa Inggris dari sekretariat. Beanya gratis. Nol. Bahkan Konjen Frankfurt sudah menghubungi secara pribadi, jika ada kesulitan masuk wisma. Luar biasa.
Reservasi hotel
Kerana tadi suami menggeleng dan punya image negatif pada wisma yang penghuninya overload, bahkan di wisma Kemayoran ada berita omikron segala, membuat saya berpikir ulang. Ya udah, cari hotel, deh.
Tapi astaga, tidak semudah dugaan. Dari 64 hotel rekomendasi dari PHRI (Perhimpunan Hotel Republik Indonesia); ada 10 yang saya hubungi dari pagi sampai jam 11 malam. Semua penuh, kecuali hotel bintang tiga "KA." Bungkus. Langsung saya DP 3 juta dari total Rp 9.799.000,00.
Aturan yang diberikan hotel selama pandemi. Itu sudah biasa menginap 10 hari 9 malam, 3 kali makan-minum, antar jemput di bandara, cucian 5 baju perhari dan tes PCR. Harga kamar itu yang termurah dari yang ditawarkan (10 juta dan 13 juta). Hotel bintang empat dan lima kebih serem lagi. Saya nggak perlu yang mewah asal layak dan baik. Staffnya ramah, kok, makanannya uenak tenan.
Waktu pesan kamar itu dari Jerman, PCR Jerman belum keluar hasilnya. Andai saya positif dan nggak jadi terbang, uang DP akan dipotong 21% untuk bea administrasi booking kamar yang batal. Dan jika jadi berangkat dan menginap, uang sisanya harus dikirim jika PCR negatif sudah di tangan atau pas sudah terbang. Aturan yang menurut saya aneh. Untung saya boleh bayar komplit pada hari pertama.
Makanya saya anjurkan teman-teman diaspora yang ingin pulang untuk reservasi hotel jauh-jauh hari. Mendadak melakukannya bisa bikin olahraga jantung. Deg-deg-duer banget. Masak harus tidur di bandara kayak zaman muda saat masih suka backpackeran? Ha ha ha.
Ingat. Bukti QR code dari reservasi hotel sangat diperlukan untuk boleh keluar dari bandara dan karantina 10 hari. Itu saja masuk pemeriksaan sekian lapis sejak tiba di bandara Soekarno-Hatta. Setidaknya butuh 1 jam sampai semua kontrol kelar hingga menunggu dijemput hotel. Lain kali akan saya bahas detil tentang hal itu.
***
Dari pengalaman saya ini, semoga menjadi gambaran teman-teman diaspora yang ingin berkunjung ke Indonesia lalu balik ke negara perantauan. Sudah siap berapa duit untuk bisa survive menunaikan hasrat mudik?
Tiket pesawat, tes PCR dan hotel karantina. Tiap negara beda-beda, untuk kasus saya; 610 euro + 79 euro + 9.799.000,00 = 20.283.000. Itu hanya pokok, belum transport lokal selama kunjungan pasca karantina sampai kembali ke rumah.
Yang kedua, bagaimana, ya, supaya bea karantina bisa ditekan? Misalnya ada ide transportasi khusus dengan mobil travel langsung ke rumah dan boleh karantina mandiri di rumah masing- masing seperti artis yang "itu" dengan tetap mengedepankan kejujuran, kedisiplinan dan ketertiban? Saya ingat Jerman tidak membedakan hotel karantina antara warga lokal dan WNA. Dan semua gratis. Namanya juga negara sosialis. Enak, kan.
Kalau tidak, seperti judul saya "Mau pulang ke Indonesia, Wani Piro?" Boros. Kata suami saya, ”Itulah cara negara saya menyayangi warganya sendiri.“ Wkwk.
Yang terakhir, memotivasi semua yang tinggal di tanah air tercinta untuk tak henti bersyukur bahwa Indonesia yang luar biasa ini dinikmati, patut dirawat karena keindahannya kemilau tiada tara dan mendunia. Magnetnya membuat siapapun yang meninggalkannya akan kembali lagi dan lagi. (G76).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H