Dalam zoom Komunitas Traveler Kompasiana menyongsong hari Kartini, saya mewakili admin sebagai moderator untuk mendampingi Dubes Luar Biasa dan Berkuasa Penuh Republik Indonesia untuk Hongaria 2014-2018, Dra. Wening Esthyprobo Fatandari, yang menyampaikan presentasi bagaimana memperingati hari Kartini di negeri Orang.
Dalam beberapa acara di Hongaria dan Jerman, ibu dubes mampu mencontohkan bagaimana menjadi perempuan Indonesia di negeri orang. Antara lain adalah mau dan mampu berbusana pakaian tradisional dalam acara-acara khusus dan kegiatan lain yang berhubungan dengan keperempuanan seperti memasak dan menata bunga di dalam ruangan.
Dalam acara itu, saya berpakaian kebaya hitam dengan garis bordir emas dan ... disanggul! Memang ada salon di Jerman yang bisa membantu saya? Tidak, tentu tidak. Pertama, pandemi semua salon tutup. Alasan kedua, gaya tatanan rambut Jawa dengan sunggar dan sanggul tentu bukan menjadi menu dalam pelayanan mereka. Makanya, saya buat sendiri.
Kok, bisa? Kalau saya pikir karena ibu dulu waktu remajanya sinden dan ketika menikah dan berkeluarga, ibu masih sering memakai sanggul sendiri alias bukan ke salon. Perias hanya membantu ibu jika ada acara mewah seperti mantu atau menikahkan saya dan adik bungsu. Bayangkan kalau harus ke salon, ibu hampir setiap minggu sanggulan, bisa besar pasak daripada tiang!
Dari situ, saya sering melihat ibu menyasak rambut di kamar, menyemprotkan hairspray dan memberi satu demi satu jepit biting warna hitam supaya rambut rapi. Seru!
Kemudian, karena saya suka menari meski sudah berada di Jerman, saya harus bisa menggelung rambut sendiri. Dan saya mau mencoba, terus dan terus. Alah bisa karena biasa. Tidak sehalus kerjaan salon tapi lumayan, sudah pantas disebut sunggar dan gelungan Jawa lah.
Teman-teman, saya sendiri dulu adalah bukan anak sekolah yang membayangkan bahwa suatu hari akan tinggal di luar negeri. Kalau keliling dunia dan kembali ke tanah air, iya. Saya memimpikan itu. Rupanya nasib sudah digariskan. Saya harus berada di negeri orang.
Di luar negeri semua dikerjakan sendiri, tidak ada keluarga, teman atau pembantu yang bisa meringankan tugas kita. Jadi istilahnya; kalau nggak masak nggak makan. Kalau nggak mencuci dan menyetrika baju, telanjang. Nggak bisa dandan dan berhias, monoton tampilannya. Capek, deh.
Hikmahnya, kita jadi pribadi yang terlatih untuk mencoba apa saja dan bisa apa saja karenanya. Thanks God, I am a woman! Bersyukur sekali, saya dilahirkan sebagai seorang anak perempuan di dunia ini.
Apa saja ketrampilan anak perempuan yang sebaiknya diasah selama masa sekolah?
Waktu masih SD tahun 1980 an, saya beruntung masih ada kurikulum pendidikan seni ketrampilan di mana saya diajari para ibu guru untuk membuat sentiling (jajanan dari parutan ketela pohon), membuat kue bolu kukus, menata bunga di dalam vas, membuat prakarya untuk hiasan dekorasi rumah, menyetrika, memiru (melipat bagian ujung dari kain batik untuk melengkapi kebaya) dan menari.