Teman-teman, kalian pernah ke kota lama, "The little Netherland" di Semarang atau di kota-kota tua lainnya di seluruh penjuru tanah air? Atau yang sudah ke tempat wisata di Passau, Jerman atau Venezia, Italia pasti pernah melihat pemandangan yang mirip, yaitu gang sempit dan lantai yang sama.
Lihatlah, lihat. Di sana jalannya bukan beraspal tapi berpaving. Peninggalan Eropa yang mengingatkan saya pada tempat di mana saya merantau saat ini, membuat saya ingin berbagi tentang wawasan baru mengenainya.
Mengapa orang memilih paving?
Di Jerman, paving atau disebut "Pflaster" banyak digunakan untuk digunakan sebagai lantai di depan rumah, depan garasi atau di taman. Mengapa?
Pertama karena secara optik, paving enak dan nyaman dipandang serta bersih. Namanya orang Jerman, sangat identik dengan dua hal itu.
Istilahnya ketika mau makan pun, sajiannya harus cantik supaya mengundang lidah bergoyang. Kata mereka "Die Augen essen mit" atau yang makan tak hanya mulutnya tapi juga matanya. Dari mata turun ke perut.
Kedua, ramah lingkungan. Jerman sangat peduli tentang hal satu ini. Paving memberi kesempatan bumi untuk bernafas, meskipun ditutupi batu atau beton. Sebab, ada celah di antaranya yang memungkinkan air hujan atau air yang datang, jatuh ke bawah dan diserap tanah. Bayangkan jika semua permukaan diaspal. Bagaimana mungkin air mengalir? Banjir!
Ketiga, banyak bentuk yang bisa dipilih, dari yang bundar, persegi panjang, kuadrat.
Keempat, banyak warna yang bisa dipilih sesuai selera. Ada yang abu-abu, hitam, merah, oranye dan warna campur.
Kelima, awet. Meski paving bisa saja rusak, tetapi lebih awet dibandingkan kalau lantai disemen atau diberi bahan lainnya.
Di Jerman, selalu ada standardisasi untuk semua hal, begitu pula paving. Garansi rata-rata paving yang beredar di pasaran hanya 10-20 tahun. Bisa juga 25 tahun atau lebih, tergantung kondisi. Dan nggak heran banyak orang Jerman mengganti paving setelah 25 tahun berlalu, padahal kalau untuk ukuran orang Indonesia sepertinya masih layak.