Dy ... kamu tahu hari ini hari apa? Hari Kamis, hari kedua per minggu untuk bekerja di taman kanak-kanak. Sekarang ini, semangat jadi dobel karena aku dipindah di kelas Kurcaci. Dulu aku di kelas Lonceng. Di kelas yang baru ini, tantangannya adalah harus mengenal 7 anak baru dari jumlah 9. Dua anak sudah aku kenal saat di kelas yang lama. Mereka pernah gabung kelas kami. Ugh. Alamat sebulan kerja keras mendekati satu demi satu anak-anak yang dititipkan orang tuanya pada sekolah. Mungkin akan lebih sulit karena mereka lebih muda dari anak-anak di kelas yang pertama.
Habis melahap sepotong toast oles keju jamur biru Roqefort, Applewatch sudah menjerit. Ah, sudah pukul 8 pagi. Waktunya pergi. Ternyata, salju di luaran masih menumpuk tebal di mana-mana. Alamat nggak bisa nyetir cepet, alias harus pelan-pelan. Harapanku, aku dapat tempat parkir.
Keluar dari rumah, aku menyetir pelan tapi pasti. Begitu keluar dari kampung dan melewati tanda batas wilayah, aku ingin menarik gas sampai 100 kmh. Tapi aku takut, jalanan tertutup salju. Membayangkan mobil dangdutan karena jalan licin pasti parno. Ya, sudah, aku tancap 50 kmh. Biar lambat asal selamat.
Kamu tahu nggak, Dy, di jalanan itu masih segar di ingatan, ada kecelakaan berat sampai ada helikopter dan 4 unit pemadam kebakaran membebaskan orang di dua mobil yang bertabrakan frontal. Itu semua kulihat di depan mata. Aku nggak mau itu kejadian pada diriku. Hanya gara-gara tergesa-gesa hingga membuat diri dan orang lain susah? Bodoh namanya.
Aku putar lagu dari USB. Di sana ada lagunya Claudia Emmanuella Santoso. Kamu tahu kan, siapa dia? Yup, pemenang the voice of Germanya 2019 dari Indonesia. Seminggu yang lalu, ia membalas Whatsappku. Dia baik-baik saja. Meskipun lirih, aku pun ikutan nyanyi supaya keteganganku melawan licinnya jalan hilang. Sengaja volume Claudia juga nggak banter karena aku harus konsentrasi dengan jalan. Tak ada siapapun waktu itu yang berani ngebut. Nggak ada yang mau jadi jagoan hari ini, Dy. Keren, ya?
Setengah jam kemudian, aku sudah sampai di depan sekolah. Aduh, nggak ada tempat parkir! Aku segera kembali ke depan sekolah musik di jalan besar. Kebetulan masih ada satu. Setelah itu aku sedikit berlari memasuki gedung, supaya tidak terlambat. Untung, sepatuku solnya tebal dan kuat, mampu mencakram aspal yang ditumpuki salju. Puh!
Segera aku letakkan keranjang isi perkakas yang aku butuhkan kalau mengajar di depan pintu kelas. Biasanya, aku kudu menaruh di ruang guru, tapi aku takut terlambat. Tahu, kan, Dy. Jerman paling top soal tepat waktu, nggak ada jam karet.
Dengan tiga anak, kami mulai ritual pagi. Mulai dari menyapa, bernyanyi, menempelkan gambar ramalan cuaca, cuci tangan sampai makan pagi. Tahu nggak, Dy, bedanya balita Jerman sama Indonesia? Balita Jerman sudah dididik mandiri sejak kecil. Mereka harus makan sendiri meski semua kecer-kecer, berantakan di lantai.
Caranya, dengan mendudukkan mereka di kursi khusus, meletakkan piring, gelas dan alat makan. Sudah, balita harus bekerja keras melahap makanan mereka sampai habis. Bayangin, nggak Dy? Muka mereka jadi kayak dakocan. Bahkan dari rambut sampai baju mereka warnanya sama dengan warna makanan yang ada di meja. Ya, ampuuuuunn, kalau boleh ketawa aku bisa ngakak. Tapi, kan, nggak boleh, Dy. Ini pendidikan namanya. Harus jaga wibawa di depan anak-anak balita.
Meski baru dua hari kenal dengan mereka, anak-anak sudah lengket sama aku. Kalau nangis, tinggal aja digendong lalu diajak kuda-kudaan. Semua udah seneng. Gampang, kan? Aku umpamakan saja caraku mengasuh ketiga anak-anakku dulu. Pengalaman memang guru yang terbaik. Namanya juga anak Jerman, mana ada yang nggak suka kuda? Makanya mainan kuda-kudaan. Ya, lompat-lompat gitu, Dy. Lucu, ya. Jangan ketawa sampai pipis, ya.
Abis makan, kami keluar main salju. Ya ampun, minus 3 derajat! Sama kulkas saja, dingin luaran. Kamu udah diam di rumah, Dy. Kalau keluar kamu jadi es lilin.