Mohon tunggu...
Gaganawati Stegmann
Gaganawati Stegmann Mohon Tunggu... Administrasi - Telah Terbit: “Banyak Cara Menuju Jerman”

Housewife@Germany, founder My Bag is Your Bag, co founder KOTEKA, teacher, a Tripadvisor level 6, awardee 4 awards from Ambassadress of Hungary, H.E.Wening Esthyprobo Fatandari, M.A 2017, General Consul KJRI Frankfurt, Mr. Acep Somantri 2020; Kompasianer of the year 2020.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Mencintai dan Menghormati Guru Itu Sesuatu

14 Januari 2021   04:12 Diperbarui: 14 Januari 2021   04:28 284
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Cintai guru seperti kita ingin dicintai guru

Pikiran saya kembali melayang-layang. Mengapa e-mail kepada guru yang sama, ditanggapi berbeda? Saya tidak tahu sebabnya. Hanya saja, kalau saya jadi guru, punya murid yang baik dan manis, pasti akan senang, dibanding ketemu yang sebaliknya.

Jika kita mencintai guru seperti kita ingin dicintai sang guru, pasti kita akan mendapatkan hal baik, keuntungan tersendiri. Model mencintai atau menghargai guru ala Jerman dan Indonesia itu beda. Kadang saya geleng kepala tetapi begitulah dua dunia; barat dan timur. Budaya yang hidup di dalamnya memang sangat berbeda.

Hal itu pernah diceritakan beliau pada awal-awal mengajar kami di kelas saat pandemi gelombang satu. Katanya salah satu murid yang dari negara pengungsi ada yang menangis karena ada murid dari Jerman yang berkata tidak sopan kepada guru agama. Karena sudah biasa, bu guru agama sebenarnya tidak apa-apa, malah justru murid yang tidak terima alias sakit hati. Guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa. Hargai dengan cinta.

Tambah beliau, ada perbedaan cara murid dari negara Asia dan negara Eropa dalam mencintai atau menghargai beliau sebagai guru. Dari cara berbicara dan cara bersikap juga berbeda. Guru agama kami menganggap ini adalah bawaan kebudayaan dan didikan timur dari siswa yang bersangkutan. Hal yang baik yang patut dicontoh. Banyak generasi muda Jerman yang sudah kehilangan tata krama dalam menghormati guru atau orang yang lebih tua. Meski sebenarnya, masih ada yang baik-baik.

Nilai 1 karena tes model hafalan

Oh, ya. Untuk nilai 1 itu tentu bukan karena saya pintar, brilliant, intelegensianya tinggi, ya? Mana bisa? Bahasa Jerman itu njlimetnya bikin rambut saya tegak seperti kena setrum. Walaupun sudah bertahun-tahun tinggal di Jerman, tata bahasa saya acak-adut. Bisa ngomong lancar tapi nabrak-nabrak dan tidak "Hochdeutsch" atau bukan bahasa Jerman yang inggil, melainkan "Umgangsprache" alias Bahasa Jerman pasaran. Xixixixi, yang penting bisa untuk belanja dan berkomunikasi dengan orang lain supaya tidak tersesat di jalan.

Teman-teman, nilai satu itu, saya yakin bukan juga karena kalimat manis dari surat elektronik yang saya kirim karena ulangannya mudah, kok. Ceritanya, kami diberi 2 lembar materi ulangan. Jadi modelnya tes itu  hafalan. Persis apa yang dibagikan, itu pula yang harus ditulis di kertas ulangan. Butuh setidaknya 2 hari ndremimil", mulut saya komat-kamit seperti dukun, ngapalin isi kertas tersebut sampai ngelotok di luar kepala. Tobat. Kalau harus begini terus, bibir saya bisa kram. (G76)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun