Cintai guru seperti kita ingin dicintai guru
Pikiran saya kembali melayang-layang. Mengapa e-mail kepada guru yang sama, ditanggapi berbeda? Saya tidak tahu sebabnya. Hanya saja, kalau saya jadi guru, punya murid yang baik dan manis, pasti akan senang, dibanding ketemu yang sebaliknya.
Jika kita mencintai guru seperti kita ingin dicintai sang guru, pasti kita akan mendapatkan hal baik, keuntungan tersendiri. Model mencintai atau menghargai guru ala Jerman dan Indonesia itu beda. Kadang saya geleng kepala tetapi begitulah dua dunia; barat dan timur. Budaya yang hidup di dalamnya memang sangat berbeda.
Hal itu pernah diceritakan beliau pada awal-awal mengajar kami di kelas saat pandemi gelombang satu. Katanya salah satu murid yang dari negara pengungsi ada yang menangis karena ada murid dari Jerman yang berkata tidak sopan kepada guru agama. Karena sudah biasa, bu guru agama sebenarnya tidak apa-apa, malah justru murid yang tidak terima alias sakit hati. Guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa. Hargai dengan cinta.
Tambah beliau, ada perbedaan cara murid dari negara Asia dan negara Eropa dalam mencintai atau menghargai beliau sebagai guru. Dari cara berbicara dan cara bersikap juga berbeda. Guru agama kami menganggap ini adalah bawaan kebudayaan dan didikan timur dari siswa yang bersangkutan. Hal yang baik yang patut dicontoh. Banyak generasi muda Jerman yang sudah kehilangan tata krama dalam menghormati guru atau orang yang lebih tua. Meski sebenarnya, masih ada yang baik-baik.
Nilai 1 karena tes model hafalan
Oh, ya. Untuk nilai 1 itu tentu bukan karena saya pintar, brilliant, intelegensianya tinggi, ya? Mana bisa? Bahasa Jerman itu njlimetnya bikin rambut saya tegak seperti kena setrum. Walaupun sudah bertahun-tahun tinggal di Jerman, tata bahasa saya acak-adut. Bisa ngomong lancar tapi nabrak-nabrak dan tidak "Hochdeutsch" atau bukan bahasa Jerman yang inggil, melainkan "Umgangsprache" alias Bahasa Jerman pasaran. Xixixixi, yang penting bisa untuk belanja dan berkomunikasi dengan orang lain supaya tidak tersesat di jalan.
Teman-teman, nilai satu itu, saya yakin bukan juga karena kalimat manis dari surat elektronik yang saya kirim karena ulangannya mudah, kok. Ceritanya, kami diberi 2 lembar materi ulangan. Jadi modelnya tes itu hafalan. Persis apa yang dibagikan, itu pula yang harus ditulis di kertas ulangan. Butuh setidaknya 2 hari ndremimil", mulut saya komat-kamit seperti dukun, ngapalin isi kertas tersebut sampai ngelotok di luar kepala. Tobat. Kalau harus begini terus, bibir saya bisa kram. (G76)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H