Malam tiba, waktunya istiharahat. Senang sehari telah terlewati, meski di rumah kerjaannya tadi segunung.
Sambil nonton TV dan meluruskan kaki di sofa panjang bersama suami, saya membuka-buka bahan materi sekolah. Maklum, sudah lebih tua, kalau belajarnya nggak rajin pasti ketinggalan sama yang muda-muda-yang masih kinyis-kinyis. Apalagi bahasa pengantar pakai bahasa Jerman, masyaallah susahnya. Pakai bahasa Indonesia saja pasti sudah menggeh-menggeh, ini lagi dengan bahasanya sudah susah, tambah materinya sulit.
Saya merasa bahwa faktor U sangat mempengaruhi daya ingat saya. Kalau 20 tahun yang lalu saya masih segar di kepala untuk ujian dan tes, sekarang ini saya kok, loyo. Badan loyo, otak mlungker. Bagaimana dengan Anda yang masih belajar di usia paruh baya?
Ya, Allah, berikan hamba-Mu kekuatan. Saya sedang jihad di jalan kebaikan, menuntut ilmu sampai ke Jerman. Bukankah ilmu yang bermanfaat akan dibawa mati. Itu saja harapan yang menguatkan diri untuk semangat sampai garis finish.
Ada pesan tentang perempuan yang terbaca
Eh sedang konsentrasi membaca ulang lembar demi lembar, muncul pesan dari Whatsapp group admin Komunitas Kompasiana. Ini adalah grup yang dibuat untuk menjalin komunikasi antar komunitas yang lahir dan besar di Kompasiana, grup keroyokan kesayangan kita semua.
Nah, di sana itu, diulas lagi pengumuman para nominator Kompasiana awards 2020 oleh mas Agung Han (penerima Kompasianer of the year 2019). Mas Agung bangga bahwa dari beberapa nama, ada satu-dua nama admin komunitas juga. Menurut saya, pantas lah karena admin komunitas itu bukan Kompasianer biasa. Maksud saya mereka ini bukan punya tenaga sihir tetapi adalah para penulis yang rajin menulis di Kompasiana dan getol menggalang kegiatan online dan offline di Kompasiana. Nggak gampang, lho. Coba saja deh, jadi admin. Kalau saya jurinya, admin komunitas yang dicalonkan dijamin menang.
Dari info itu, muncul banyak komentar:
- Bahwa kalau sudah pernah dapat award dari masa pertama Kompasianival sampai tahun 2019, masih bisa dicalonkan lagi.
- Kuota perempuan sedikit.
- Perlunya evaluasi dari pemberian award, apakah perlu diganti "idol" mengingat pemilihan adalah dari vote Kompasianer bukan penghargaan (award) dari Kompasiana.
Keterwakilan perempuan di Kompasianival
Dari sekian komentar, yang paling menggelitik saya adalah soal keterwakilan perempuan. Jiah, sok feminis saya. Mohon jangan dilempar tomat, saudara-saudara. Tapi sumpah karena tinggal di Jerman dan terlihat nyata dalam kehidupan sehari-hari bahwa perempuan dan laki-laki itu betul-betul bisa duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi, saya bergetar. Hak perempuan sangat dilindungi oleh negara. Banyak hukum-hukum pasti yang melindungi perempuan dan bukan isapan jempol saja. Jadinya, wajar kalau saya gemes sama soal yang satu ini. Bagaimana Indonesia?
Dalam kancah politik Indonesia, banyak digembar-gemborkan keterwakilan 30% kaum hawa di dalam dewan perwakilan rakyat. Sudahkah terwakili? Jika sudah atau sedang dalam perjalanan ke sana, ini sebagai representasi atau partisipasi? Representasi hanya sebagai pemanis, pencukup kuota atau pelengkap saja ... atau berpartisipasi, benar-benar terjun dan menyumbangkan tenaga, pikiran dan waktunya untuk kepentingan bersama? Nah, bias kan.