Bekerja bersama anak-anak memang beda dengan bekerja dengan komputer. Satunya benda hidup dan satunya benda mati - yang harus diprogram dan dijalankan oleh orang hidup.
Karena sama anak-anak, ada saja pelangi yang menyelinap di antara hari-hari saya. Makanya saya enjoy banget begitu PKL di taman kanak-kanak Jerman. Bawaannya happy saja. Enggak percaya?
Kali ini, akan saya bagikan kisah dengan Ayako.
Diam itu menghanyutkan
Ayako adalah anak gadis umur 2 tahun keturunan Jepang yang tinggal di Jerman. Karena belum lama tinggal di negeri Bundes Republik Deutschland, mungkin itu sebabnya, si ibu selalu berbahasa Jepang dengan si anak. Hasilnya? Si anak tidak bisa berbahasa Jerman seperti anak-anak seusianya.
Ada bagusnya bahwa Ayako chan belajar bahasa ibu, tapi karena tidak dibekali bahasa lokal, ia tampak kesulitan memahami percakapan teman-teman sebaya atau guru di sekitarnya.
Pertama kali ketemu anak ini saat praktikum, ia sekelas dengan Jinsu yang dari Korea. Tentang Jinsu sudah saya ceritakan sebelumnya, ya.
Nah, saat ketemu Ayako, saya langsung jatuh cinta padanya. Ini anak; mungil, matanya bening, cantik, tipikal Asia, pendiam dan kalem. Ia mengingatkan pada anak kami yang kedua. Agak mirip, padahal mereka beda ayah dan ibu.
Oh, iya. Awalnya, Ayako tidak mau mendekat ketika saya sapa. Dalam setiap kesempatan, saya selalu menyapanya. Tidak masalah jika ia tidak berekspresi dan tanpa kata-kata. Ketika berbicara dengannya, saya selalu berusaha seukuran badan dengannya dengan posisi jongkok di lantai.
Pandangan mata saya lurus padanya. Selalu saya tunjuk di dada, bahwa saya bernama Gana dan dia bernama Ayako. Ia hanya tersenyum sambil mojok.
Saya yakin, ia paham apa maksud saya. Betul, perkenalan. Apalah arti sebuah nama? Penting. Kalau panggil saya biar Ayako tidak bilang "Eh" saja.