Kalau diamati dekat-dekat, bola salju itu mulanya dibuat dari adonan tepung, gula, mentega, dan telur yang dibuat layaknya pita memanjang dan bergerigi di kanan-kirinya. Lalu, digulung menjadi sebuah bola. Unik, ya.
Kami memang berempat, tapi kami putuskan hanya membeli dua bola saja untuk percobaan. Namanya makanan, kita tidak tahu suka atau tidak dan kalau dibuang sayang. "Membuang makanan akan menjauhkan kita dari rezeki", pesan ibu saya.
Dan betullah, setelah mencoba yang rasa original warna putih dan coklat gelap, biasa saja. Saya pikir, kalah sama kegurihan onde-onde Indonesia yang agak keras, tapi tanpa isi kacang hijau.
Kami meninggalkan toko roti atau di Jerman disebut Bakerei. Tak jauh dari sana, ada toko es krim atau Eisdiele. Maklum, hari yang panas menyengat, mendesak kerongkongan untuk diguyur dengan (jilatan) es manis beragam warna. Anak-anak pun minta dibelikan satu contong.
Karena corona, kami harus antre dengan jarak 1,5 meter dan memakai masker. Sayang tidak ada bacio, es krim kesukaan saya yang terbuat dari kacang bacio berwarna coklat muda. Saya pun gigit jari dan tidak membeli.
Satu tangan memegang contong es. Sembari menjilat-jilat es krim, anak-anak mengikuti kami dari belakang.
Mana ada harimau yang makan anaknya? Kami ingin anak-anak juga happy berlibur dengan kami. Selalu ada tempat-tempat yang akan membangkitkan gairah anak-anak, yang kami temukan dan kunjungi bersama.
Tempat itu bernama Stadtmauer, benteng kota. Di sanalah anak-anak antusias untuk naik ke atas benteng. Ambil nafas panjang karena anak tangganya menuju ke atas, mirip tempat olahraga.
Pak tua bertopi pelukis tadi pagi mengatakan bahwa dari benteng kota, ada 5 km nya yang bisa dilewati para wisatawan. Jadi, you must visit, deh.
Yang menarik adalah, benteng tua itu banyak yang rapuh dindingnya, pemkot memiliki gagasan dengan mengundang para donatur untuk merestorasi dinding dan nama pedonor dan asalnya terpatri di atas dinding. Tertulis juga di sana, berapa meter yang sudah dikerjakan masing-masing pedonor.