"Pasa sapi, po. Bapak arep nyang mburi, wis ndang dilapi." Bapak meminta saya untuk keluar dari kamar mandi karena akan buang hajat dan sudah tahu kalau saya nggak puasa. Melihat piring saya kosong, bapak menduga saya sudah selesai makan dan menyuruh saya mengelap mulut yang berlepotan nasi. Iya, makannya nggak pakai sendok, takut berisik. Akibatnya nasinya nempel ke mana-mana, deh.
"Pasa sapi, pak?" Saya nggak ngerti mengapa meski sudah tahu saya berbohong sedang makan di kamar mandi tapi bapak bilang saya sedang puasa sapi.
"Bar sarapan dilapi." Bapak membuat akronim, "pasa sapi." Pasa= puasa, sapi=bar sarapan dilapi atau habis sarapan dicuci atau dilap mulutnya. Jadi meskipun disebut pasa sapi, nggak ada hubungannya dengan sapi, hewan berkaki empat penghasil daging, kulit dan susu itu.
Merasa bersalah, saya malu dan segera ngeloyor pergi. Ya, ampun, bapak tahu kalau saya puasa sapi alias nggak puasa. Hahaha, kalau ingat saya tertawa sendiri. Kenangan indah dan lucu bersama bapak yang tiga minggu lalu dipanggil Illahi.
Teman-teman, membuat kesalahan itu manusiawi. Memperbaiki kesalahan itu langkah terpuji. Makanya, sejak itulah, saya bertekat untuk bersungguh-sungguh menjalankan ibadah puasa mulai dari beberapa saat sebelum matahari terbit sampai matahari terbenam di manapun dan kapanpun.
Setelah akil balig atau cukup umur, sungguh bersyukur bahwa setiap perempuan diberikan kemudahan untuk istirahat selama seminggu tidak berpuasa dan boleh menggantikannya di bulan yang lain. Jadi nggak perlu ke kamar mandi dan pasa sapi lagi, ah. Bukankah ibadah puasa untuk Allah, Dia Maha Melihat. Ngumpet di manapun, kita tetap bisa ketahuan.
Bagaimana dengan Kompasianer? Sudah pernah puasa sapi juga di masa kanak-kanak? Selamat menjalankan ibadah puasa bagi yang menjalankan. (G76)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H