Mohon tunggu...
Gaganawati Stegmann
Gaganawati Stegmann Mohon Tunggu... Administrasi - Telah Terbit: “Banyak Cara Menuju Jerman”

Housewife@Germany, founder My Bag is Your Bag, co founder KOTEKA, teacher, a Tripadvisor level 6, awardee 4 awards from Ambassadress of Hungary, H.E.Wening Esthyprobo Fatandari, M.A 2017, General Consul KJRI Frankfurt, Mr. Acep Somantri 2020; Kompasianer of the year 2020.

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Pasa Sapi

12 Mei 2020   19:05 Diperbarui: 12 Mei 2020   19:04 563
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Nasi dan ikan asin untuk pasa sapi (dok.Gana)

Kira-kira umur saya waktu itu masih SD, belum dewasa. Badan dan mata saya bulat, muka saya bundar, hidung saya pesek. Untungnya nggak mirip Boboho. Sebelnya, kakak saya bilang saya mirip kacang atom. Itu kacang tanah yang dilapisi tepung gandum hingga berwarna putih. Kacang renyah dan gurih itu beken di masa kecil saya. Toko kelontong biasa menjualnya dalam bentuk contong kertas putih. Kacang atom, Kompasianer pernah mengudapnya?

Nah, zaman SD itu, belajar puasa sudah menjadi sebuah tradisi di lingkungan kampung kami. Anak-anak di tempat kami tinggal mulai berlomba-lomba menahan lapar dan dahaga di bulan ramadan. Ada yang setengah hari, ada yang sudah jempolan kuat sampai sehari. Seru, deh, kami mau menjadi yang terbaik bukan yang terburuk.

Bahkan dalam pelajaran mengaji di masjid Al-Falah seberang rumah setiap sore hari selepas Ashar sampai maghrib, mas guru selalu mengingatkan kami untuk selalu meningkatkan kualitas puasa. Puasa nggak hanya urusan perut tapi juga soal hati. Nggak boleh marah, nggak boleh bohong, nggak boleh nyolong, nggak boleh mengeluarkan kata kotor, nggak boleh lupa sholat wajib, nggak boleh lupa beramal dan sejenisnya. Namanya anak-anak, nggak gampang untuk mengikuti nasehat guru yang nyantrik di ponpes Jl. Majapahit Semarang itu. Yang saya ingat satu, tidak ada kata terlambat untuk memulai sesuatu yang baik, sesederhana atau sekecil apapun.

Ada cerita lucu yang masih terkesan sampai hari ini di masa itu. Suatu hari sepulang sekolah, saya berencana untuk pergi ke kamar mandi. Bukan, bukan untuk BAB atau BAK. Ada niat tersembunyi di lubuk hati yang paling dalam!

Iya, itu saat perut rasanya melilit tapi waktu berbuka masih lamaaaa. Kira-kira masih jam 12.30 an, waktu pulang dari sekolah yang hanya sekian menit dari rumah. Saya lihat bapak sudah sampai di rumah dan menonton TV di ruang tamu, ibu belum pulang. Kakak-kakak belum sampai di rumah. Rumah sangat lengang karena belum pada pulang. Mungkin mampir ke teman atau bermain di taman? Nggak tahu, ah. Biasanya kalau kami bertujuh di rumah,  "full house" deh.

Setelah berjingkat-jingkat dan memeriksa dapur, apa yang masih tersedia, saya temukan nasi di magic jar dan ikan asin di lemari makan, sisa dari makan sahur. Saya ambil sepiring kecil lalu menuju kamar mandi. Ambilnya pelan-pelaaan banget tadi, takut ketahuan. Idih kayak maling.

Tak berapa lama, saya pindah ke kamar mandi. Sebenarnya mau makan di kamar tidur, namun takut kunyahan akan didengar bapak di ruang tamu. Oh, iya. Ruang tamu memang bersebelahan dengan kamar saya.

Lampu kamar mandi hanya 5 watt, warnanya biru. Bayangkan remang-remang sekali, bukan? Mana kamar mandi nggak ada pintunya karena akan direnovasi. Setelah tengok kanan, tengok kiri dan merasa aman, saya mulai melahap nasi yang masih hangat dan ikan asin. Nyam-nyam-nyam, duh, nikmatnya.

Saking asyik mengunyah, saya nggak dengar langkah bapak ke kamar mandi. Waduuuh, alamat nggak bisa menyembunyikan piring. Mana mulut masih penuh belum tertelan. Penampakan saya seperti ikan mas koki. Mata saya melotot dan pipi menggembung.

"Kowe ngopo ning kene?" Bapak menanyakan apa yang sedang saya lakukan di kamar mandi dengan sebuah piring, dalam bahasa Jawa ngoko.

"Mboten, pak." Saya jawab dengan bahasa Jawa ngoko alus. Dasar anak-anak, sudah ketangkap basah, masih juga nggak jujur. Buru-buru saya telan makanan supaya bisa berbicara dengan leluasa. Ih, tenggorokan rasanya seperti kebanjiran. Mata saya menunduk. Wah, takutnya nggak ketulungan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun