Mohon tunggu...
Gaganawati Stegmann
Gaganawati Stegmann Mohon Tunggu... Administrasi - Telah Terbit: “Banyak Cara Menuju Jerman”

Housewife@Germany, founder My Bag is Your Bag, co founder KOTEKA, teacher, a Tripadvisor level 6, awardee 4 awards from Ambassadress of Hungary, H.E.Wening Esthyprobo Fatandari, M.A 2017, General Consul KJRI Frankfurt, Mr. Acep Somantri 2020; Kompasianer of the year 2020.

Selanjutnya

Tutup

Hobby Artikel Utama

Membuat Flaedle Suppe, Sup Sederhana Khas Bangsa Schwabia, Jerman

21 April 2020   15:20 Diperbarui: 22 April 2020   01:10 443
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Beberapa kali saya share foto dan video tempat di mana saya tinggal di daerah Blackforest, Jerman Selatan. Hutan, gunung, bukit, hijau, fresh, alami, asri, menenangkan dan entah apalagi kesan yang pasti bikin kalian semua iri kami dianugerahi  daerah segar ini.

Sebelum corona merebak, kami tinggal 30 menit sampai sejam saja menuju Swiss. Negara yang memiliki keindahan alam yang luar biasa itu sekarang lock down, sama dengan Jerman. OK, nggak bisa jalan-jalan lagi. Yup, nggak ngeyel, ah. Tetap di rumah, physical distancing.

Begitulah, di masa corona, kami menikmati berada di rumah. Duduk di dapur atau di balkon dan membuka jendela, terbentang pemandangan gereja yang dibangun tahun 1700 an dengan latar belakang hutan. 

Duduk di teras, akan disuguhi gambaran nyata gunung kecil yang ratusan tahun yang lalu di tengah-tengahnya bercokol puri seorang bangsawan. Membuka pintu utama rumah, hijaunya hutan pinus tampak ramah menyapa. Ia selalu hijau, kecuali saat salju turun. Alamak, betapa indahnya. Jerman betul-betul peduli dengan lingkungan.

Betul. Itulah kelebihan yang dimiliki bangsa Schwabia, keindahan alam yang tiada tara dan lestari.

Ada lagi yang membuat daerah itu kondang dan menjadikannya sebagai ciri khas wisata kuliner?

Sup Flaedle
Ya! Adalah Sup Flaedle. Sup yang memiliki cerita dibalik ketenarannya sebagai sup khas masyarakat Schwabia itu agak mirip dengan kisah nasi goreng. Eh, nasi goreng? Nggak salah?

Begini. Masyarakat Indonesia suka atau lebih tepatnya harus makan nasi. Kalau belum makan nasi berarti belum makan. Hayooo, ngaku!

Jika malam makan nasi, masih ada sisa. Lantas nasi haruskah dibuang? Oh, tentu tidak, bangsa kita tidak dididik seperti itu.

Konon, barangsiapa yang membuang makanan, dia akan mendapat karma dari makanan; jauh dari rejeki. Itulah sebab masyarakat Indonesia yang masih berkembang terus dan terus, banyak memiliki ide cemerlang. 

Salah satunya adalah nasi yang sudah nggak baru lagi itu digoreng paginya buat sarapan. Kreatif banget. Iya, menjadi nasi goreng! Hmmmm … kawan-kawan, bayangin kita bisa pesta nasi goreng sesudah corona berlalu di ujung gang sana. Iya … di sanaaaah. Janjian, yukkk.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun