"Kamu keren. Gerakanmu bagus. Aku senang menikmatinya. Sayang sekali, yang lain rame. Heran saya mengapa para tamu bisa keterlaluan begitu. Mereka nggak bisa diam." Malam itu, seorang kenalan berambut blonde adalah professor dari sebuah universitas kota besar, tiba-tiba ia mendekati saya yang masih terengah-engah. Hah, terengah-engah? Bukaaaaaan, bukan dari begituh, saudara-saudara.
Beberapa detik sebelumnya, saya baru saja menyelesaikan tarian Sunda, Bajidor Kahot selama 5 menit di depan para tamu yang hadir dalam sebuah pesta pernikahan perak sekaligus ulang tahun emas seorang teman dari Indonesia. Memang sang teman sudah pesan sejak Oktober lalu.
Ketika saya lihat kalender di HP masih kosong, saya sanggupi untuk ditanggap. Yup. Gana, ronggeng dukuh Seitingen siap memeriahkan acara! Tancap ...
Orang Indonesia Suka Ngrumpi?
"Betul, orang Indonesia suka ngrumpi." Itu komentar suami saya atas kesan dari sang profesor. Suami saya pernah lama tinggal dan bekerja di Indonesia. Ia tahu betul karakteristik rata-rata perempuan Indonesia. Iya, centil dan suka ngrumpi. Cerewet banget, kan kesannya. Ooooo ... itu sebabnya suami saya dulu tertarik pada saya.
Saya orangnya suka ngomong nggak ada berhentinya, mirip burung dikasih kroto, makanan burung dari serangga. Khususnya saat saya ngomong di depan corong, microphone siaran di studio atau ngem-C di dalam atau di luar ruangan. Dijamin mulut saya menye-menye ....
Nah, begitulah, nggak heran jika pada acara yang kami hadiri waktu itu, suasanya seperti pasar. Nggak papa, sih karena jarang-jarang lihat keramaian dalam kehidupan sehari-hari. Happy banget. Betapa tidak, saya tinggal di pemukiman orang Jerman yang ada di dataran tinggi dikelilingi hutan dan pegunungan. Jadi, bukan di perkotaan besar yang hingar-bingarnya 24 jam. Sunyi, senyap, sendiri everyday all years along. Makanya menikmati sekali suasana malam itu.
Hanya saja kadang serasa nggak pas karena waktu itu ada peringatan penting teman, ada acara yang digeber di atas panggung. Benar-benar panggung karena permukaannya lebih tinggi dari lantai tempat kursi-kursi diduduki lebih dari 150 orang tamu itu. Ya, ada anak tangga barang dua lah. Ditambah dua buah tirai hitam kanan dan kiri yang bisa dibuka-tutup.
Seorang tamu dari Maluku yang bermain ukulele juga mengeluh,"Tamunya susah diatur." Padahal dia sudah pukul piring, pukul mangkok sampai pukul gelas untuk meredakan suara "lebah" yang mendengung nggak ada matinya itu.
"Teng-teng-teng-teeeeeengggg." Saya ngakak tapi nggak pakai salto. Tambah ngakak begitu lihat perempuan cantik di belakang kursi suami saya, menggebrak meja keras-keras supaya para tamu memberikan perhatian saat ada yang pentas. Wah... sampai segitunya untuk membuat keheningan di dalam ruangan? Untung ketika saya memandu angklung bersama 24 orang keramaian mereda. Dengan mikrophone, suara saya terdengar nyaring.
Kompasianer, peristiwa itu terjadi di Jerman, negeri yang disiplin, teratur, maju, canggih dan entah apalagi kelebihan yang mereka miliki. Kalau bab kekurangannya Jerman, saya pendam saja, seperti orang Jawa bilang "mikul duwur mendem jero" atau mengangkat yang baik-baik saja yang jelek disembunyikan.