Mohon tunggu...
Gaganawati Stegmann
Gaganawati Stegmann Mohon Tunggu... Administrasi - Telah Terbit: “Banyak Cara Menuju Jerman”

Housewife@Germany, founder My Bag is Your Bag, co founder KOTEKA, teacher, a Tripadvisor level 6, awardee 4 awards from Ambassadress of Hungary, H.E.Wening Esthyprobo Fatandari, M.A 2017, General Consul KJRI Frankfurt, Mr. Acep Somantri 2020; Kompasianer of the year 2020.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pilih Anak, Karier, atau Dua-duanya?

29 Oktober 2019   17:14 Diperbarui: 29 Oktober 2019   18:52 120
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Happy mama tinggal di rumah saja (dok.Screenshot video Mama Kani)

Pak M Edy Sunarto, kompasianer di Jakarta tiba-tiba mengirim pesan di facebook. Isinya tentang seorang anak yang nggak terima ditinggal ibunya kerja. Menarik!

"Mama, mama jangan pergi bekerja lagi," seru seorang anak balita berkaos kuning gading loreng hijau gelap yang duduk di jok mobil.

"Mama harus bekerja. Kenapa mama harus berhenti bekerja?" Kamera si mama tetap mengawasinya.

"Jangan, aku mau mama di rumah, makan dan tidur bersamaku." Muka anak laki-laki itu memelas.

"Lalu siapa yang akan bekerja?" Si mama bingung.

"Ayah saja yang bekerja." Logikanya, seorang ayah sebagai kepala keluarga harus bertanggung-jawab menafkahi keluarga. Begitu dengan nalar si anak.

"Siapa?" Si ibu ingin si anak mengulang kalimat barusan.

"Ayah" Jawabnya pasti.

"Nanti Kani yang akan bekerja kalau sudah besar untuk mama." Innocent sekali, angan-angan si bocah melambung tinggi. Semoga bukan janji palsu, bukan "kecil-kecil anak kalau sudah besar menjadi onak."

"Ohh" Si ibu terhenyak. Sebuah janji besar telah dibuat si kecil untuk masa depan.

"Aku ingin mama di rumah bersamaku." Kani mengungkapkan keinginannya.

"Kenapa kamu ingin mama di rumah saja dan tidak ke mana-mana?" Sang ibu ingin mengetahui alasan si anak mau ibunya tinggal di rumah.

"Karena, karena ... hati ini bersama mama." Cieee, bisa saja si Kani. Gemes banget.

"Hati siapa?" 

"Um ... hatiku, hati Kani" Kata si anak lanang sambil memegang dada kanan dengan telapak tangan.

"Bilang lagi, dengan siapa hatimu?" Mama ingin Kani mengulang.

"Mama" yakin Kani menjawab.

"Di mana hati mama?"

"Ada di hati Kani..."  Lagi-lagi Kani memegang dadanya berkali-kali

"Mama janji tidak akan bekerja lagi dan akan tinggal bersama Kani." Mana ada harimau makan anaknya? Trenyuh hati sang bunda mendengar isi hati si buah hati, "Jangan menangis lagi ya?" Mama mengusap wajah Kani. Kanipun mengikuti mengusap wajahnya yang kecil dengan tangan mungilnya. Aduh, polos dan lucu sekali, "Senyum, mana senyumnya ..." Pinta si ibu. Bukankah badai telah berlalu? Setiap masalah ada jalan keluarnya. Tuhan memang Maha Bijaksana. 

Si anak segera mengembangkan senyum sembari menatap mata mamanya. Seperti Alexa, disuruh langsung dilaksanakan. Horeee, mama tinggal di rumah dan tidak kerja lagi!

Happy mama tinggal di rumah saja (dok.Screenshot video Mama Kani)
Happy mama tinggal di rumah saja (dok.Screenshot video Mama Kani)
Hikmah Video Milik Mama Kani
Dalam ending video itu, Bayu Kuswara Hartono mengingatkan kita semua bahwa "Kita butuh UANG untuk menghidupi anak-anak kita, tapi ingat mereka juga butuh orang tua yang disayanginya kapanpun mereka butuh peluk sayang kita. Carilah SOLUSI agar bisa hasilkan INCOME sambil tetap bersama anak-anak kita."

Setelah saya telusuri,  saya baru tahu bahwa video itu lebih dulu diposting komandan Kompasiana, Kang Pepih Nugraha di facebook.

Video yang diklik 927 orang dan mendapat 58 like itu dishare 15 kali. Komentar orang macam-macam; ada yang mengambil hikmah, ada yang terharu, ada yang mengatakan bahwa ada anak yang tegar meski ibunya bekerja, ada pula yang mengingatkan bahwa setiap anak pernah punya mimpi seperti itu tapi berubah seiring bertambah usia. Setiap anak dilahirkan dengan karakter yang beraneka.

Dari sana, ada resep untuk tetap bahagia menunggui anak-anak di masa kecil tetapi tetap tidak meninggalkan keinginan untuk melakukan sesuatu dalam hidup. Banyak perempuan Indonesia yang hobi tata boga buka catering dari partai kecil tingkat RT sampai ekspor ke luar negeri. 

Yang pinter njahit, menerima jahitan atau bikin butik bahkan menjadi desainer terkenal. Yang senang berkebun, menanam sayuran dan buah untuk dipasarkan dan menyehatkan masyarakat. Masih banyak contoh-contoh yang sudah dipamerkan perempuan Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Semua itu ternyata bisa dijalani dari rumah, home office atau apalah namanya, yang bisa diatur bersama-sama saat merawat anak-anak.

Apa yang Sebaiknya yang Dipilih Perempuan?
Menurut saya, ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan sebelum memilih yang mana:

  • Apa tujuan berkarir? Cari uang/penopang ekonomi, aktualisasi diri atau kepuasan diri/ego?
  • Jika anak ditinggal, siapa yang bisa dipercaya selain pembantu/baby sitter? Ibu kandung, tante, budhe, kakak, adik, saudara atau lembaga khusus?
  • Jika berada di rumah, apa kegiatan sesuai bakat minat untuk membuat kita tidak bosan?
  • Diskusi dengan suami dan dukungannya atas keputusan kita untuk tinggal di rumah atau karir. Apa katanya?
  • Dengarkan tanggapan anak-anak jika ibu tinggal di rumah atau ibu berkarir.
  • Apakah nanti kita menyesal tinggal di rumah? Apakah menyesal berkarir tapi meninggalkan anak-anak di rumah? Stop stress, hidup masihlah panjang. Nikmati surga dunia sebelum bermimpi menuju surga akhirat.
  • Percaya dirikah kita berada di rumah atau di luar rumah/karir? Tetaplah rawat diri, jangan mentang-mentang di rumah penampilan awut-awutan dan mencerminkan hidup tidak tertata. Atau jika bekerja di luar rumah, penampilan berlebihan dan mengundang hal-hal yang tidak diinginkan.

Saya Pilih Dua-duanya
Begitu pula dengan saya. Waktu belum menikah bertekat mau tetap mengejar karir meski nanti suatu kali akan berumah tangga. Gaya banget.

Akibatnya, dalam masa awal pernikahan dan masih berada di tanah air, saya melakukannya. Ibu mertua mengeluh dan meminta saya berhenti bekerja demi anak-anak. Ibu kandung saya sendiri menyerahkan keputusan ke saya; apakah tinggal di rumah atau berkarir, terserah. She knows me. 

Sebuah dilema. Tak mudah untuk segera berhenti bekerja. Sampai suatu hari, tak ada hujan dan tak ada angin, saya memutuskan untuk berhenti bekerja. Resign tanpa beban. Huhahhhh.

Sampai suatu ketika kami harus pindah Jerman. Dukungan untuk selalu berada di rumah sangat didukung oleh cara hidup, adat dan budaya orang Jerman. Tinggal di negeri yang memiliki 16 negara bagian itu, harus mandiri. Semua harus dikerjakan sendiri. Oleh sebab itu, anak-anak saya rawat sendirian. Suami kerja dari pagi sampai sore. Yang bantu? Mana adaaaaa?

Hidup tidak mudah dan mewah seperti di Indonesia. Betapa tidak Di tanah air ada pembantu, ada tukang, ada warung, ada bapak-ibu, ada saudara, ada teman atau tetangga yang membantu. Tidak, tidak ada di sini! Jerman mah bedaaa.

Kebiasaan para perempuan Jerman untuk tinggal di rumah sampai anak-anak masuk TK, sudah SD atau lulus SD (kelas IV), membuat saya semakin yakin bahwa kalau tinggal di rumah saja meski berpendidikan tinggi, adalah hal yang biasa. Saya tidak sendiri. Saya nggak boleh belagu dan gengsi apalagi stress.

Tidak mudah memang untuk membuat saya berdiri tegak, memulai dari awal dan bekerja siang-malam di rumah saja. Iya, di rumah saja. Bosan, kan? Mana kami tinggal di tengah hutan dan gunung, bukan di tengah kota yang hingar-bingarnya bisa saja menghibur. Huuuh.

Yup. Mulai membangunkan anak-anak pagi-pagi sebelum mereka berangkat ke sekolah, menyiapkan sarapan dan lunch box, membersihkan rumah, memasak (untuk siang dan atau malam), pekerjaan rumah tangga di dalam dan di luar rumah (red: kebun), sampai menemani membuat PR anak dan mengantar-jemput mereka ke klub macam taksi saja.

Malam baru terasa lega ketika anak-anak sudah bersih dan kenyang, masuk kamar, mendapat pelajaran bahasa Indonesia, bahasa Inggris dan bahasa Jerman dari saya lalu rumah sepi. Eit, pekerjaan saya belum selesai, semua mesin (cuci piring, cuci baju, pengering baju) harus disetel supaya berjalan mulai pukul 22.00, bea listriknya lebih murah. Baru kaki saya bisa istirahat, nonton TV Bersama suami sambil mengobrol, bercanda dan sayang-sayangan. Selanjutnya, terserah kami....(piiiiipppp).

Tahun demi tahun saya sabar menjalani. Meski kepala jadi kaki dan kaki jadi kepala, rasanya tetap nikmat. Saya masih bisa happy dengan hobi travel, berkebun dan menulis (artikel di Kompasiana dan buku dengan penerbit mayor serta indie label). Rupanya memang kita yang mengatur waktu bukan waktu yang mengejar kita seperti hantu. Itu kuncinya. Cie.

Satu lagi, saya baru tahu kalau pikiran stress harus dibuang jauh karena itu penyakit, membuat saya cepat jatuh sakit dan semua kegiatan di rumah akan berabe karenanya. Apalagi di negeri empat musim, alamak ganti-ganti cuaca.

Di Jerman, saya mengenal "Man Flu" bahwa jika seorang laki-laki atau suami sakit sedikit saja, hebohnya nggak karuwan. Lain soal ketika seorang wanita atau istri sakit, semaksimal mungkin tetap mengatur kegiatan rumah tangga, anak-anak dan suami beres. Itulah bedanya.

Sebagai imbalan, rasanya bahagia sampai langit sap tujuh jika anak-anak yang beranjak dewasa masih mampu dan giat mengucapkan:

"Mama, aku mencintaimu."

"Mama, tanpamu aku kehilangan."

"Mamaku paling baik sedunia."

"Mama, aku kangen kamu."

"Mama, aku takut kehilanganmu."

Dan masih banyak kenikmatan lainnya seperti kecup hangat dan pelukan erat dari anak-anak yang membanjiri hari demi hari. Bukan, bukan hanya saat mereka minta duit. Belum lagi masa-masa bersama mereka itu sesuatu, masa yang tidak bisa diulang jika sudah kadung terlewat.

Oh, ya. Saya baru melamar kerja di Jerman ketika anak bungsu sudah masuk TK dan lepas dari ASI. Itupun bekerja hanya dua jam sehari, artinya, anak-anak saya titipkan suami dalam waktu yang tidak lama. Selain untuk mencari uang saku supaya suami tidak merasa seperti mesin ATM, perasaan saya ... memiliki uang sendiri itu kepuasan sendiri. Ajining dini gumanting saka bati. Merasa berharga jika sudah sedikit menghasilkan sesuatu. Betul ibu-ibu??? 

Kedua, supaya ilmu yang saya timba dari bangku kuliah bertahun-tahun lamanya tidak sia-sia. Ketiga, supaya pergaulan menjadi luas, apalagi dengan masyarakat lokal, bukan hanya masyarakat Indonesia atau Asia saja. Tidak boleh. Integrasi di Jerman sangat penting, kalau tidak, orang asing bakal mirip katak di bawah tempurung. Lompat tapi di tempat. Yailah!  

Keempat, menjadi contoh bagi anak-anak untuk tidak boleh bermalas-malasan. Aktif adalah obat sehat seorang manusia. Nggak percaya? Cobalah berbaring seharian hanya di tempat tidur dengan handy di tangan, surfing. Dijamin punggung sakit dan badan capek padahal nggak ke mana-mana atau nggak ngapa-ngapain. Halahhh.....

Pernah saya kepikiran untuk bekerja seharian. Tidak semudah membalikkan telapak tangan karena ijazah S2 belum tentu dianggap master atau magister di Jerman. Penyetaraan? Prosesnya njlimet, syaratnya banyak, pakek lama dan muahallll. "Man kann nicht alles haben", tidak semua apa yang kita inginkan akan jadi kenyataan. Manusia harus pandai bersyukur, ingat rejeki tak lari ke mana dan sadar sesadar-sadarnya, Gusti Allah ora sare. Jika memang nasib kita baik, pasti akan tercapai apa yang kita mau. Tidak ada rejeki dan nasib yang tertukar.

***

Setiap wanita dilahirkan dengan nasib yang berbeda-beda. Ada yang harus membanting tulang untuk menafkahi keluarganya sendirian, ada yang berdua dengan suami bekerja bahu-membahu, ada yang lebih memilih karir meski ekonomi sudah cukup dari suami atau tanpa kerja keras, uang sudah mengalir sendiri sehingga anak-anak tetap dekat dengan ibu di rumah.

Bagi saya, apapun pilihan seorang perempuan ada tanggung jawab yang diemban dengan visi misi yang berbeda. Tak ada maksud untuk menyalahkan mereka perempuan yang tinggal di rumah saja atau mereka yang tidak pernah di rumah demi mengejar karir. Kita tidak boleh membanding-bandingkan dengan teman, saudara, kenalan atau perempuan lain. Lebih baik konsentrasi pada apa yang kita lakukan dan kita capai sendiri, biarkan orang lain saja yang menilai. 

Kadang memang rumput tetangga lebih hijau tetapi saya yakin kenyataannya tidak selalu demikian. Intinya, mari semua perempuan saling mendukung, saling membantu dan saling mendoakan yang terbaik. Silakan copy paste yang baik dan delete yang buruk dari perempuan yang hebat versi kita. Menjadi diri sendiri dan tidak ngotot jadi seperti orang lain itu menyenangkan. 

Saya hanya ingat, tidak ada anak yang minta untuk dilahirkan. Sekali anak lahir dari rahim seorang perempuan, atau si ibu tadi, itu adalah tanggung jawab si ibu untuk mencukupi kebutuhan anak termasuk kepuasan batin tadi. Berani berbuat, berani bertanggung-jawab. Entah ibu memilih di rumah atau ibu ngotot di luar rumah, anak-anak tetap wajib merasakan kasih sayang seorang ibu. Jangan biarkan anak-anak kita seperti si Kani yang mewek bombay itu.

Baiklah. Setuju tidak setuju, dikumpulkan. Selamat pagi, salam dari Jerman.(G76)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun