Wina adalah ibukota Austria yang bisa ditempuh dengan jalan udara dari Stuttgart, Jerman. Dengan hanya 1 jam 15 menit, saya sudah bisa sampai di sana. Dari bandara Schwetchat ke pusat kota Wina juga hanya 30 menit dan tiket dalam kota 2,40 euro.
Menyenangkan sekali, murah dan mudah sarana-prasarana kota tua tapi modern ini. Indonesia harus meniru sistem transportasi negeri yang terkenal dengan kue Sachertoerte ini.
Negara di mana Putri Sisi pernah menguasai wilayah Austria itu menjadi sangat berarti ketika ada undangan dari Universitas Kremms yang saya dapatkan dari Mbak Susan, sekretaris Mami Kartika Affandi dan Museum Affandi di Yogya.
Sebenarnya, Mas Mommi, menantu mami yang menikahi Mbak Lulu, putri mami yang ketiga sudah bercerita sejak Agustus lalu. Begitu pula mami yang juga sudah kasih wanti-wanti bahwa ada undangan dari universitas di Wina. Sehingga mami tidak bisa mampir ke rumah saya pada kunjungan ke Eropa pada bulan Oktober 2019, saking padatnya acara.
Tuhan Memang Maha Memberi, benar-benar ada kesempatan bagi saya untuk datang ke Wina. Wina, saya datang!
Mempertimbangkan pahe, paket murah yang hanya mengijinkan bagasi tangan 8 kg, saya membawa barang seperlunya; kebaya dan batik, sedikit oleh-oleh, perlengkapan mandi dan make-up. Belakangan, jadi tambah satu; laptop karena Mas Mommi lupa bawa untuk presentasi Mami Kartika di depan publik.
Pada hari H, kami berangkat ke Universitas Krems pada pukul 16.00. Dr. Ulrike Hebrich yang baru saja tiba pukul 15.00 di rumah, hanya memiliki waktu satu jam untuk duduk dan lupa minum.
Ia baru saja tiba dari Marakesch. Rasa capek beliau dikalahkan oleh tanggung jawab sebagai panitia workshop tentang Affandi yang diadakan Universitas Krems. Kasihan juga pasti badan dan pikirannya sudah nggak karuwan. Entah mengapa tidak ada keberanian untuk menggantikan menyetir.
Tepat pukul 17.30 kami sudah sampai di depan pintu Universitas. Mengingat mami pakai kursi roda, kami diijinkan sampai di depan pintu kampus. Biasanya hanya sampai di depan parkir, sedikit berjalan menuju pintu masuk.
Begitu mami turun, panitia dan tamu menyambut kedatangan pelukis wanita, putri dari sang maestro Affandi. Terasa bagaimana teman-teman di luar negeri sangat menghargai, menghormati, mencintai Mami Kartika sepenuh hati. Seperti cerita Mbak Lulu, Mami Kartika sangat menjaga hubungan komunikasi dan korespondensi dengan teman-teman di luar negeri.
Terlihat beberapa teman sekelas mami dari Indonesia yang sama-sama menuntut ilmu konservasi di Universitas Wina. Mereka segera menyambut mami dengan hangat; peluk dan ciuman bertubi-tubi. Sangat terlihat indahnya sebuah persahabatan dalam hidup meski jarak dan waktu memisahkan.