Sudah sejak umur 5 tahun saya menari. Waktu itu di sekolah selalu ada pelajaran menari. Dimulai dari menari kelinci.
Kebetulan ada darah seni, orang tua saya seniman. Waktu muda, bapak pernah jadi dalang dan ibu jadi sinden. Mereka juga pandai menari tetapi tidak memaksa saya secara langsung untuk belajar menari sejak kecil. Kebetulan saja ketika kelas IV, ibu ikut mengajari murid-murid, termasuk saya untuk menari dan ikut lomba sana-sini. Sayanya sukaaa ....
Pada masa itu memang anak-anak perempuan masih suka belajar menari. Mulai dari yang lahir dari keluarga ningrat sampai ningrat (an) aka rakyat jelata. Entah sekarang ....
Makanya prihatin tinggal di Jerman, mana ada pelajaran menari tari tradisional Indonesia? Beruntung saya punya bakat dan minat di jagad tari kita. Nggak ada yang ngajarin? Buka youtube, jadi! Bukankah dasarnya sudah ada ditambah suka? Nggak soal kalau ada yang nyeletuk narinya kurang bagus lah, dandannya clemotan lah, bajunya melotrok lah, terlalu cepat narinya lah, anu, ini, inu, iti, itu, atuuuuu ... yang penting sudah ada kontribusi untuk negara. Kalau mikiran apa kata orang dan nggak positif, nggak bakalan nari, dong takut-takut salah melulu. Emang yang gaweannya hanya ngritik lebih baik? Belum tentuuuuu, jadinya semangat, yuk?! Nggak harus profesional untuk menari di mana saja, karena jadi amatiran saja nggak ada yang tahu kalau ada yang salah dalam pertunjukan tarinya.
Rasanya selangit kalau ada penonton, orang asing yang begitu bahagia melihat tarian dan penampilan kita lalu menghampiri dan menyanjung. Sumpahhhhhh, dadanya sampai mau meledak meski nggak pake helium, euy.
Mengajari anak-anak menari
Itulah ... mulai anak-anak bisa jalan, saya suka menari di depan mereka. Ketika sudah mulai TK, saya ajak mereka pentas. Mulai dari kelas kampung sampai kota.
Mungkin gerakan mereka masih kaku, bisa saja ada gerakan yang lupa. Yang penting, mereka sudah belajar mengenal kebudayaan dari tanah leluhurnya. Kalau nggak saya, siapa lagi?