"Hari ini hari ibu." Kata saya pada anak-anak.
Mereka tertawa karena Mei lalu, kami sudah merayakan hari ibu ala Jerman. Artinya, untuk kedua kalinya, pada hari ibu ala Indonesia itu, anak-anak dan suami memanjakan saya. Mulai dari menyiapkan sarapan sampai makan malam, membersihkan rumah dan lainnya, tidak dikerjakan oleh saya. Bahkan, saya dapat hadiah!
Salah satu hadiah yang menyentuh adalah secarik kertas voucher bergambar. Tertulis, saya boleh tidur bersama si anak. Oh, bukannya terbalik? Biasanya anak-anak yang minta ditemani untuk tidur. Suami saya sudah cemberut, membayangkan suatu hari istrinya tidak tidur di sampingnya karena menukarkan voucher. Ah, ada-ada saja. Memang dalam keluarga kami, anak-anak yang sudah bukan balita, sangat bahagia tidur bersama kami.
Nah, karena saya juga seorang anak yang masih memiliki ibu, pada hari ibu ala Indonesia itu, saya telpon ke Semarang untuk mengucapkan selamat hari ibu. Ibu menyapa dengan sangat bahagia. Ah, terharu sampai mata berkaca-kaca, meski tak sampai air mata jatuh. Anak-anak saya daulat untuk bersama-sama menyanyikan lagu "Satu-satu, aku sayang ibu." Dari seberang, terdengar ibu tertawa kecil. Oh, bahagianya mendengar ekspresi suara ibu, nenek dari anak-anak kami. Tanpa bertatap muka langsung, rasanya dua dunia tanpa batas.
Begitulah rasanya kalau tinggal jauh dari ibu. Tinggal di luar negeri, di mana kalau ingin bertemu tidak bisa bertemu langsung. Butuh rencana, uang, waktu dan tenaga yang tidak sedikit.
Untuk menggunakan facetime, skype dan sejenisnya, ibu menolak karena internet dianggap mahal dan lelet pula koneksinya. Ibu saya mungkin bukan satu-satunya ibu yang gaptek, jadi saya memahaminya dan tidak memaksa. Biarlah ikatan ada di dalam batin kami bahwa kami masih terhubung dan sayang-menyayangi. Hubungan lewat surat dan telepon saja sudah cukup, jika ada rejeki, pulang kampung!
Memperingati hari ibu, Kompasiana mengadakan lomba blog tentang hari ibu. Merayakan kebaikan-kebaikan ibu. Hadiah apa yang pernah ibu berikan selama ini? Materi?
Beberapa tahun sekali, saya pulang ke Indonesia. Biasanya saya menginap di rumah ibu, memijat ibu sambil mengobrol. Maklum, sejak kecil jarang bertemu. Begitu dewasapun, kami lama tidak bertemu lantaran jarak dan waktu yang memisahkan.
Sebelum bertolak ke Jerman, ibu menghadiahkan sesuatu. Suatu kali, kalung dan tindik berlian kecil yang dimiliki waktu ibu masih muda. Tadinya saya menolak karena saya tidak membutuhkannya dan bukankah itu barang bernilai dan berharga? Tapi kata ibu, ibu masih punya beberapa lagi dan ibu merasa sudah tua dan tidak memerlukannya. Kalau saya sudah memakai dan suatu hari tidak suka lagi, dianjurkan untuk diwariskan kepada anak gadis kami. Terharu, ibu rela memberikan barang-barang miliknya untuk saya, padahal lebih butuh.
Tidak hanya itu kebaikan ibu, ibu jugalah yang membelikan baju-baju tradisional yang saya pakai untuk menari di 8 negara. Koleksi itu tak hanya mahal tapi juga bermanfaat untuk mengenalkan budaya tanah air Indonesia. Manfaat yang tidak hanya saya rasakan sendiri tetapi untuk orang banyak bahkan negara.