Sedih rasanya kalau dalam hidup ini, kebiasaan menghina, mengejek atau merendahkan orang lain lebih mudah hadir ketimbang memuji, menghormati, mengagungkan atau mengagumi. Begitulah kenyataan dalam hidup. Jadi, ingat pepatah “Gajah di pelupuk mata tak tampak, semut di seberang lautan tampak.“ Kalau perlu, ada saja, orang yang mencari-cari kejelekan orang lain.
Ngomong apa, coba? Daripada pusing ping satus, saya ajak Kompasianer untuk menengok Jerman. Negeri yang sudah maju, modern dan canggih itu rupanya masih memelihara tradisi saling memuji. Eh, memuji? Iya, memuji pohon natal! Wisssss. Unik, tho?!
Seorang kakek umuran 65 tahun dari Tuttlingen menelpon suami saya, katanya, ia mengundang kami untuk datang. Acaranya? Christbaum Loben! Yaaaa, seperti tahun-tahun sebelumnya; dari rumah si kakek, ke rumah om lalu ke rumah budhe, lanjut ke rumah teman dan seterusnya. Dari rumah ke rumah. Ada juga kelompok yang ngadain lomba pohon natal terbaik dari kunjungan itu. Di mana yang dinilai total dari ketinggian pohon, jarum pohon, hiasan pohon, simetris, keaslian dan kerimbunannya. Lumrahnya, acara dilaksanakan dari hari natal sampai tanggal 6 Januari, yakni hari tiga raja (Die der Könige).
Tiba di rumah Onkel, kami duduk di sofa, menikmati kudapan (Christole, Plätzchen), lalu meski langit gelap mata pun berbintang-bintang ... memuji keindahan pohon natal mereka dan tentu, hiasan yang menggantung di sekitarnya.
Christbaum, Tannenbaum atau Weihnachtsbaum itu adalah pohon natal dari potongan pohon cemara. Yang paling disukai biasanya jenis Nordmanntanne yang nggak ganas jarumnya, kalau menyocok kulit. Pohon natal di Jerman itu tidak hanya berasal dari Jerman tapi dari Norwegia, Polandia, Ceko, Hungaria, Denmark, dan Austria. Harganya bersaing 10-20 an €. Dijual dengan tinggi kisaran 1,5 sampai 2 meteran.
Hiasan Weihnachtskugeln (bola-bola dari gelas), Lamette (kertas kerlap-kerlip dipotong tipis dan panjang), Engels (malaikat), Weihnachtsman (santa), Lichterketten (rangkaian lampu) ... oiiii indah! Kalau di Indonesia kan biasa plastik ya, pohonnya. Awet memang, seumur hidup tapi pakai pohon asli, pandangan mata jadi beda, lho!
Nah, usai acara memuji selesai, biasanya yang punya rumah mengeluarkan Snap, minuman keras dari bahan buah-buahan seperti Birne atau Apfel, yang dituangkan di gelas mini. Maklum, alkoholnya pasti tinggi jadi sedikit saja. Selain sebagai bentuk rasa terima kasih, Snap dianggap sebagai jamu, verdauung dari baksil atau penyakit di dalam tubuh dari makanan dan minuman yang dikonsumsi manusia. Lah, kalau saya sudah mencium baunya udah mau pingsan. Maaf, tidak mau minum, takut ketagihan atau muntah....
Tradisi Christbaum Loben yang dimulai sejak abad 19 di Jerman ini mengingatkan saya akan tradisi minum teh masyarakat Jepang. Yang nggak paham budayanya pasti jemu. Lihatlah bagaimana santai dan lamanya tradisi minum teh itu dan bagaimana tamu memutar-mutar cangkir sebagai tanda mengagumi keindahan barang milik tuan rumah. Semakin kenceng sruputan tehnya, makin besar tanda rasa kagum. “Srrrrrttt ....Nikmat!“ Saya pikir, begitu unik cara Jepang mengajari orang untuk menyanjung orang lain. “Wahh, tehmu enak. Bikinnya gimana? Ajari dong ...“ atau ... “Wah, cangkirnya bagus, sukak ... beli di mana?“