Waktu SMP, saya jadi kenal yang namanya bahasa Inggris. Yang katanya bahasa internasional, yang kabarnya, kalau sudah bisa nancap di lidah berarti sudah berkelas. Sukaaa sekali menyimak pelajaran yang disampaikan oleh guru-guru. Dari ibu Ekowati yang lembut dan cuantikkkk banget sampai pak Is. Saking sukanya, saya jadi gila. Iya, saya gila, suka ngomong sendiri dengan bahasa Inggris di dalam mobil Fiat hitam bapak yang mangkrak di depan rumah dan akhirnya jadi loak. Limaratus ribu, pak? Yaaaahhh ... padahal sudah ngarep jadi milik saya.
Mulai going abroad minded
Begitu SMA, saya semakin suka bahasa Inggris dan bercita-cita jadi duta besar. Pengen cas cis cus, ke luar negeri, pengen terbang. Allah mengabulkan keinginan saya. Ketika kelas 3 SMA, saya jadi duta PMI untuk mewakili ke pertemuan pemuda se Asia-Pasifik.
Gara-gara itu, saya jadi kedanan untuk ke luar negeri terus. Mau lagiiiiiii ... Yaaa, Gana!
Akhirnya lima tahun kemudian, saya betul-betul ke luar negeri lagi. Gratis. Sebuah pertemuan relawan se Asia-Eropa ... dan seterusnya dan selanjutnya. Lagi dan lagi.
Nggak sadar kali ya, waktu itu ... kalau Indonesia juga indah. Harus dijelajah dari Sabang sampai Merauke ... tapi ... aduhhhhh, saya sudah benar-benar kalap. Pokoknya maunya ke luar negeri terus! Idihhh ... going abroad minded nih yeee ....
Beratnya hengkang dari Indonesia
Sampai suatu hari, saya menikah. Masih juga memiliki sindrom serupa sampai suami saya membukakan mata dengan mengajak mengunjungi kota-kota Indonesia yang belum pernah saya kunjungi. Lho, yang warganegara Indonesia siapa sih, kok tahu banyak suami daripada saya. Terlambat ... saya terlambat. Kesadaran itu sudah melampui batas hingga kami harus pindah ke Jerman. Tidak disangka-sangka.
“OMG! Tidak, saya sama anak-anak di Indonesia saja, pak.“ Suami saya geleng kepala, “semua atau tidak sama sekali.“ Ya, udah ... bedhol desa lah kita. Dua kontainer! Hiks.
Hari terasa begitu sepi, sunyi, senyap, sendiri. Berada di Jerman, negeri yang waktu itu menurut saya sungguh dingin, nggak ramah dan ahhhhh home sick terussss ... merasa bersalah. Begini akibatnya kalau going abroad minded, Gana. Kalau sudah dipindahin ke luar negeri baru deh, ngerasa. Huuuuuu ... Indonesia semakin indah dipandang dari jauh, sayangnya untuk ke sana sudah mahal, jauhhhhh sekali. Boro-boro setahun sekali, dua tahun sekali saja belum pasti. Sebuah keberuntungan kalau saya bisa pulang ke Indonesia ... meski satu kali dalam tiga tahun.
Sesal kemudian tiada guna