Sebagai balasan, kami ingin membayarnya dengan euro. Ditolak! Jadinya, setiap akhir tahun, Onkel kami kirimi bingkisan.
“Jangan kirimi kami hadiah natal, aku beraliran Y ..., kami tidak merayakannya!“
“Bukan, Onkel ... itu untuk membalas kebaikanmu selama ini. Khususnya tong-tong sampah dan menyalakan api kalau kami berlibur. Kebetulan ya, ini pas Desember, musim natal.“ Kami memahami perbedaan keyakinan. Hadiah itu tulus atas nama balas budi, bukan mengucapkan natal seperti yang dilakukan umat Kristen dan Katolik sedunia. Syukurlah diterima.
Danke, Onkel Rheinhardt, terima kasih.
***
Bagaimana dengan cerita Kompasianer? Ada tetangga yang baik hati seperti Onkel Rheinhardt? Atau Kompasianer adalah salah satu dari tetangga yang baik hati itu. Melakukan kebajikan untuk orang lain tanpa pamrih. Ohhhh, alangkah beruntung dan berbahagianya dengan keajaiban itu.
Jadi bukan tetangga yang reseh, suka memata-matai, merasa paling benar, merasa paling bijak, merasa paling top, merasa paling hebat, paling ... ahhhhhhh. Ya, gitu deh ....
Na ja ... hidup hanya sekali. Kesempatan pendek harus digunakan semaksimal mungkin. Berbuat baik memang tak perlu dinilai dengan mata uang negeri manapun. Jika mau, pasti bisa. Berbuat baik bisa kilat, sederhana, kapan saja dan di mana saja. Mari mulai.
Selamat berbuat kebaikan hari ini dan percaya bahwa suatu hari, kebaikan itu akan kembali. Bukan dari orang yang kita beri kebaikan tadi bahkan bisa jadi ... dari musuh dalam hidup! Bukan musuh dalam selimut. Eh. Selamat pagi. (G76).
PS: Tulisan ini mengingatkan saya "Tetangga adalah saudara yang terdekat". Absolutely right ... apalagi kalau di rantau ...