“Buk, aku nggak mau kamu pegang laptop terus. Aku mau sayang-sayang...“ Suami saya biasa merajuk kalau saya sudah mulai menulis ketika anak-anak menghilang, bermain di luar atau di pulau kapuk. Badannya yang segaban itu ngglendhot ke tubuh saya yang unyil, sak-upiiiil.
Karena pekerjaan rumah yang tak pernah habis dan kadang mboseni, saya butuh variasi dong, pak. Punya hobi yang menyenangkan. Salah satunya, ya, menulis di Kompasiana. Sekalipun saya “dilarang“ atau lebih tepatnya suami keberatan, saya tetap nekat. Sudah kadung seneng. Maaf, ya, Hunny. Nggak bakal nyeleweng kok, paling cuma ngiler. Hahaha.
Walah. Saya memang sudah kena pelet Kompasiana sejak tahun 2009. Nggak papa kann, asal bukan pelet dukun tiban. Sayang hanya baca-baca saja, sambil lalu. Kemudian, baru tahun 2011 tepatnya 30 April, punya akun sendiri. Soalnya, gemes, nggak bisa komen kalau nggak punya akun. Alias harus log in duluuuu.
Akhirnya, ya, gitu. Posting, komen sampai ikut lomba-lomba hingga kopdar segala. Pokoknya seruuuu. Rugiii banget gabung kompasiana, kenapa nggak dari duluuuuu? Oh, maaf. Tak ada kata terlambat untuk memulai sesuatu yang baik. Betul?
Nah, sebentar lagi, Kompasiana kayak mau masuk SD. Genap 7 tahun! Kalau anak saya usia segitu sudah bisa mulai mandiri, nggak mak-mek lagi. Sudah bagus sih, sudah mengerti kalau dikasih tahu ... pokoknya bukan jabang baby lagi deh. Sekiranya, Kompasiana minimal seperti itu, selebihnya, ya lebih dahsyat lagi tho. Top morkotob.
Lantas, keuntungannya jadi Kompasianer? Banyak, jelas banyak. Dari dapat teman, ilmu menulis, perasaan yang istimewa, bisa siaran KompasTV lewat hangout, wawasan dan ilmu pengetahuan baru dan masih banyak lagi.