Mohon tunggu...
Gaganawati Stegmann
Gaganawati Stegmann Mohon Tunggu... Administrasi - Telah Terbit: “Banyak Cara Menuju Jerman”

Housewife@Germany, founder My Bag is Your Bag, co founder KOTEKA, teacher, a Tripadvisor level 6, awardee 4 awards from Ambassadress of Hungary, H.E.Wening Esthyprobo Fatandari, M.A 2017, General Consul KJRI Frankfurt, Mr. Acep Somantri 2020; Kompasianer of the year 2020.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Grafiti, Seni yang Indah atau Merusak?

15 April 2015   16:39 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:04 330
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Beberapa waktu yang lalu, koran kota memasang pengumuman membahas grafiti, di bawah headline. Pemda menyayangkan tindakan orang-orang yang mencorat-coret dinding bangunan, jembatan atau plang yang ada di sekitar kota. Ada ancaman bagi mereka yang tertangkap basah.

Saya bacanya ikut geleng kepala. Ternyata kota semodern dan setertib Jerman masih punya masalah dengan ini. Padahal saya yakin, orangnya sudah terbiasa untuk diatur alias tidak sembarangan. Apalagi horor soal pengaduan dan denda yang di sini sudah jamak terjadi. Serem.

Suami saya hanya bisa menimpali keheranan saya, “Kotanya sendiri dirusak ... goblok.“ Hahaha saya tertawa. Belahan jiwa saya itu memang paling wasis bilang kata yang terakhir. Memang agak kasar. Entah darimana dia belajar salah satu kata dari bahasa Indonesia itu. Saya tak pernah ajari begitu. Buru-buru saya koreksi dengan pilihan kata “bodoh.“ Meski sama-sama kata negatif, saya pikir agak mendingan. Nyatanya, itu bisa jadi lebih enak diganti “kurang cerdas“ ya?

Coba saja. Sebuah peta dekat sungai Donau dekat jembatan di kota Tuttlingen yang sangat berguna bagi pendatang atau wisatawan misalnya, mana bisa dilihat dengan jelas karena semua sudah dipilok? Warna dari grafiti kan dari cat kaleng warna-warni. Dan itu mengganggu. Tak hanya soal pandangan mata juga informasi terhalang.

Lain waktu, jembatan di jalan tol atau plang sepanjang perjalanan kami dari Jerman Selatan ke Jerman Timur juga ikut jadi korban. Itu pun juga terjadi saat minggu lalu kami ke Weimar, dekat Berlin. Di mana kami bingung melihat peta ukuran 2 x 1 meter di dinding sebuah halte bus, tak bisa dibaca karena grafiti. Dengan bantuan Siri dan google map, kami pun tetap harus putar-putar sampai gelap baru ketemu; rumah Goethe dan Schiller. Dua pujangga Jerman yang kondang dan sobatan itu memang punya rumah dan museum yang dilestarikan hingga kini.

Kalau tidak salah, di Semarang pun juga mengalami hal serupa. Lewat twitter, pak wali pernah mengingatkan soal ini. Dan gambar kelompok anak muda berkaos hitam dengan tulisan identitas grup yang suka corat-coret terpampang di wall. DPO? Melu mumet.

Di beberapa ruas seperti di Mugas atau MILO (MULO) SMPN 2  Semarang ada juga kok, grafiti yang sengaja dilombakan. Kreatif, inspiratif dan indah dipandang. Seratus jempol, pinjam milik Kompasianer.

***

Ya, begitulah. Grafiti. Sebuah ungkapan ekspresi orang atau sekelompok orang yang kadang berisi pesan tertentu. Contohnya sindiran, ketidakpuasan, kemarahan, kebencian, euphoria ... dengan bahasa atau gambar sandi yang barangkali tidak semua orang mengerti. Corat-coret memang sudah sejak jaman bangsa primitif sudah ada. Peninggalannya bisa ditemukan di seluruh dunia.

Oh, ya. Saya yakin, banyak sekali seniman sukses yang memulai karirnya dari coretan model grafiti dinding sembarangan. Sayangnya, di sisi lain, ini menyusahkan pemda yang memang harus merawat kota. Dana yang tidak sedikit dan energi yang banyak, keluar sudah.

[caption id="attachment_410218" align="aligncenter" width="512" caption="Di sebuah gang seberang Hauptbahnhof Leipzig"][/caption]

[caption id="attachment_410220" align="aligncenter" width="512" caption="Ungkapan perasaan ...."]

1429090078119057419
1429090078119057419
[/caption]

[caption id="attachment_410221" align="aligncenter" width="512" caption="Dari BW sampai pelangi ...."]

1429090140793862027
1429090140793862027
[/caption]

[caption id="attachment_410222" align="aligncenter" width="512" caption="Resto dengan grafiti 3D, apik"]

14290902001887604890
14290902001887604890
[/caption]

[caption id="attachment_410223" align="aligncenter" width="339" caption="Di sebuah dinding rumah pribadi di pinggir jalan raya ...."]

1429090249785679136
1429090249785679136
[/caption]

[caption id="attachment_410224" align="aligncenter" width="320" caption="Taman kota Leipzig untuk bermain anak juga jadi sasaran ... "]

14290902951355765828
14290902951355765828
[/caption]

Ada tapinya, saya tetap setuju ada grafiti tapi terarah. Saya beberapa kali termangu-mangu memandangi grafiti bagus. Saya tunjukkan pada anak-anak dan abadikan di kamera. Cekrek!

“Nih, begini grafiti yang terarah dan tidak merusak mata ....“ Anak-anak mendengarkan dengan seksama, sembari mengamati detil gambarnya. Mereka memang suka warna dan gemar menggambar. Ada contoh baik rupanya. Tidak selalu yang menjengkelkan, merugikan dan nyulek mata.

Baiklah. Sekarang, silakan amati sekitar area Kompasianer. Apa ada grafiti? Punya pendapat lain? (G76)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun