Mohon tunggu...
Gaganawati Stegmann
Gaganawati Stegmann Mohon Tunggu... Administrasi - Telah Terbit: “Banyak Cara Menuju Jerman”

Housewife@Germany, founder My Bag is Your Bag, co founder KOTEKA, teacher, a Tripadvisor level 6, awardee 4 awards from Ambassadress of Hungary, H.E.Wening Esthyprobo Fatandari, M.A 2017, General Consul KJRI Frankfurt, Mr. Acep Somantri 2020; Kompasianer of the year 2020.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kartu Pos Masih Menjadi Alat Komunikasi

6 September 2013   00:49 Diperbarui: 24 Juni 2015   08:17 696
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kartu pos sudah dianggap kampungan, tidak modern dan jarang digunakan oleh kebanyakan masyarakat Indonesia, khususnya mereka yang mengunjungi sebuah pameran kartu pos internasional yang diadakan di kampus IKIP PGRI Semarang, 30-31 Agustus 2013.

Hal ini seiring dengan maraknya teknologi internet, dimana banyak dari generasi muda kita lebih cenderung memanfaatkan jasa jejaring sosial seperti FB, twitter, whatsapp dan lainnya, selain email, MMS dan SMS demi berkomunikasi, sebagai makhluk sosial. Lebih cepat, murah dan mudah.

Di lain sisi, penikmat gelaran kartu koleksi 1890-2013 dari 50 negara-5 benua itu menjadi mengerti bahwa dibagian dunia lain, kartu pos justru masih jadi hobi dan bahkan digunakan sebagai alat komunikasi, misalnya di Jerman.

***

Berawal dari mengguntingi bekas perangko dari surat-menyurat ayah yang mendirikan sebuah yayasan seni budaya, sejak SD, saya mulai menyukai filateli. Hobi ini bertambah menjadi mengumpulkan kartu pos, lantaran menggunakannya sebagai alat komunikasi dengan kawan-kawan alumni KTT remaja palang merah se-Asia Pasifik tahun 1994. Keinginan untuk mengumpulkan kartu bergambar cantik, entah dari berkirim-kiriman, membeli, titip dan hadiah, meningkat sejak bergabung bersama LSM dimana banyak berkenalan dengan relawan dan rekan asing. Apalagi sejak pindah ke Jerman tahun 2006, saya semakin semangat untuk mendapatkannya lantaran pergi ke luar negeri seperti pergi ke luar kota saja. Bahkan serunya, semakin cepat saya menambah koleksi, lantaran garis keturunan suami dan kawan-kawan di klub gymnastik, memiliki hobi yang sama. Bahkan kepunyaan mereka sangatlah tua. Hibah dan warisanpun saya terima. Beberapa kali, saya membeli lewat lelang di internet.

Jumlah 3000-an termasuk masih kategori minim namun saya yakin akan memiliki manfaat yang luar biasa maksimal jika dibagi. Bukan, bukan untuk diberikan ke orang lain satu persatu, melainkan dipamerkan dalam sebuah lobi kampus almamater (tempat belajar dan mengajar, dahulu) supaya bisa dilihat bersama-sama, diamati dan barangkali menginspirasi. Pada akhirnya, masih bisa saya simpan dan di-sharing lagi.

[caption id="attachment_286045" align="aligncenter" width="553" caption="Pemasangan kartu oleh para mahasiswa IKIP PGRI"][/caption]

Lewat dukungan pak rektor Dr. Muhdi, bu dekan FPBS Bu Suci, pak Seno waka dekan FPBS, PMR SMA 2 semarang, kawan-kawan pers sampai satpam dan cleaning service, acara terselenggara dengan baik dan lancar. Pemasangan sekitar 7 kg kartu, sejak Kamis, 29 Agustus 2013 pukul 14.00-20.30 WIB akhirnya hanya 150 an saja yang terpasang di 30 papan. Lain kali, lebih baik.

[caption id="attachment_286046" align="aligncenter" width="553" caption="Pers dan pak rektor (depan paling kanan)"]

13784022691514636097
13784022691514636097
[/caption]

Acara dibuka oleh bapak rektor. Dalam sambutan, beliau mengatakan bahwa ini adalah sebuah contoh kegiatan positif. Hobi yang ditekuni bisa membawa manfaat untuk semua. Barang siapa yang ingin menyalurkan bakat minat melalui pameran, diperbolehkan menggunakan setiap sudut kampus. Tidak akan ada yang melarang, sepanjang positif dan berbau pendidikan, bahkan jika perlu memakai bangunan aula terbaru yang segera kelar. Maklum, IKIP PGRI adalah wadah penuntut ilmu dan mereka yang berkecimpung di dalam dunia pendidikan. Apapun yang menunjangnya pasti didukung penuh.

[caption id="attachment_286048" align="aligncenter" width="566" caption="Pak rektor memberi info pada anak SD, koleksi tahun 1890"]

13784023341098781559
13784023341098781559
[/caption] [caption id="attachment_286049" align="aligncenter" width="554" caption="Siswa SD Kartini membanjiri lobi"]
1378402416178903233
1378402416178903233
[/caption]

Hari pertama begitu padat pengunjung. Pertama dibanjiri oleh para dosen dan karyawan kampus setempat, disusul ratusan anak SD Bandarharjo Kartini Semarang. Masyaallah, suara mereka membicarakan kartu yang ditempel, tak ubahnya kerumunan lebah. Dengungnya membuat saya tersenyum. Pak rektor segera meraih microphone dan menerangkan tentang pameran. Semoga benar mengundang mereka menginjakkan kaki ke dunia luar suatu harinanti.

[caption id="attachment_286051" align="aligncenter" width="387" caption="Kartu pos dari negara pemenang Eurovision 2012, Azerbaijan"]

1378402536848510843
1378402536848510843
[/caption] [caption id="attachment_286052" align="aligncenter" width="399" caption="Kartu pos bergambar anak-anak yang lucu"]
13784026021713335522
13784026021713335522
[/caption] [caption id="attachment_286053" align="aligncenter" width="409" caption="Kartu pos gratisan dari toko, apotik, kantor dll"]
137840265653867994
137840265653867994
[/caption]

Jeprat-jepret dan menulis laporan. Itulah yang mereka lakukan. Corong berada ditangan, selanjutnya saya terangkan sedikit tujuan mengumpulkan perangko yang mulanya adalah alat komunikasi saya dengan rekan-rekan di segala penjuru dunia. Mengumpulkannya ternyata memiliki nilai pendidikan geografi, seni dan budaya. Lewat gambar yang terpampang, jelas orang akan mengerti bahwa Maldives itu sebuah negeri republik yang amat indah pantainya atau ada sebuah negara bernama Republik San Marino.

Kekayaan alam dan budaya masing-masing negara yang berbeda tapi tetap unik menarik, tergurat disana. Termasuk bagaimana negeri lain merawat gedung-gedung kuno dan bersejarah sehingga bermanfaat, tetap dikunjungi dan lestari hingga kini.

[caption id="attachment_286054" align="aligncenter" width="518" caption="Ratusan siswa YSKI"]

13784027311537834470
13784027311537834470
[/caption] [caption id="attachment_286055" align="aligncenter" width="518" caption="Penanya terbanyak, siswa YSKI berkaos lerek ini"]
1378402772964251533
1378402772964251533
[/caption] [caption id="attachment_286056" align="aligncenter" width="534" caption="Siswi YSKI, menulis laporan di BB"]
13784028472114969615
13784028472114969615
[/caption] [caption id="attachment_286061" align="aligncenter" width="551" caption="Sudah kembali ke YSKI balik lagi, minta foto"]
13784031201772935566
13784031201772935566
[/caption]

Berbeda lagi dengan ratusan siswa-siswi SMK YSKI Semarang, berlokasi di depan kampus. Mereka begitu antusias mewawancarai saya ramai-ramai dengan rentetan pertanyaan cerdas dan bermutu. Tak lupa mereka memotret kartu-kartu dan meminta foto bersama kolektor. Meski AC menyala, mereka tetap saja kepanasan dan kipas-kipas cari angin. Mungkin saking banyaknya gerakan mereka kesana-kemari, berdesak-desakan untuk melihat pameran. Tumplek blek. Tumpah.

[caption id="attachment_286058" align="aligncenter" width="490" caption="Mahasiswa, dosen dan karyawan juga melihat-lihat"]

13784029221088188091
13784029221088188091
[/caption] [caption id="attachment_286059" align="aligncenter" width="491" caption="Putra-putri kampus IKIP PGRI habis wawancara saya, foto"]
1378402964780661965
1378402964780661965
[/caption] [caption id="attachment_286060" align="aligncenter" width="491" caption="Gubernur Ganjar tanya, acara apa? Pameran, said rektor"]
13784030371969037943
13784030371969037943
[/caption]

Siswa-siswi lain yang mampir hingga hari kedua adalah dari SDN Bandarharjo, SMPN 3, SMPN 7, SMPN 30, SMPN 32, SMPN 40 dan SMAN 2 Semarang, yang datang silih berganti. Oh, dari ribuan pengunjung itu, tak ada seorangpun yang mengacungkan jari ketika saya menanyakan apakah kartu pos masih menjadi alat komunikasi mereka dengan kawan-kawannya. Saya tekankan bahwa di Jerman, khususnya di kota kami, anak-anak mulai dari TK sampai Gymnasium, masih membudayakan kirim-kiriman kartu pos (khususnya saat liburan 4 musim, paling banyak summer). Dan bursa jual beli dan pameran filateli rutin digelar di kota kami. Bukankah contoh budaya masyarakat modern yang masih mengenal dan melestarikan kartu pos sebagai alat komunikasi ini masih bagus? Memang sih, kartu pos lebih mahal, harus beli kartunya, ditambah perangko (contoh, satu kartu @Rp 5000-Rp 10.000 atau 0,50-1 €, ditambah perangko; Indonesia-Jerman Rp 8000, Jerman-Indonesia, 80 sen).

Saya melirik gadget yang rata-rata mereka bawa, mulai BB sampai Iphone!!! Jadi tak heran, ketika saya menyebut FB dan BBM, banyak yang mengacungkan jari teramat tinggi dan cepat-cepatan. Semoga kartu pos tidak akan pernah mati karena saya dan beberapa rakyat Jerman masih menggunakannya sebagai alat komunikasi bukan saja sebagai hobi. (G76)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun