Mohon tunggu...
Gaganawati Stegmann
Gaganawati Stegmann Mohon Tunggu... Administrasi - Telah Terbit: “Banyak Cara Menuju Jerman”

Housewife@Germany, founder My Bag is Your Bag, co founder KOTEKA, teacher, a Tripadvisor level 6, awardee 4 awards from Ambassadress of Hungary, H.E.Wening Esthyprobo Fatandari, M.A 2017, General Consul KJRI Frankfurt, Mr. Acep Somantri 2020; Kompasianer of the year 2020.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Setiap Penduduk Luar Negeri adalah Duta Bangsa

18 November 2013   20:04 Diperbarui: 24 Juni 2015   04:59 641
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya pernah marah, maraaah sekali. Mengapa saya harus meninggalkan Indonesia? Tanah tumpah darah, tempat yang indah dan nyaman bagi saya. Mengapa saya dan anak-anak tidak tinggal di sana dan membiarkan suami saja yang bolak-balik? Hati saya, sebagian masih tertinggal di Indonesia.

Jerman? Ihhhhhhh … saya menyalahkan suami. Kok, pindaaaaaaaaaaaahh?

***

Itu dulu, pada awal tahun 2006. Tahun berganti. Tak terasa, sudah menginjak tahun 2013. Sebentar lagi bahkan meninggalkannya dan taraaa … 2014 di ambang pintu !

Sekarang keadaannya berbeda, saya sedikit bisa menikmati tanah rantau yang sebenarnya kalau boleh memilih, hanya saya pilih sebagai tanah singgahan barang sebentar. Bukan untuk kurun waktu tak terbatas seperti sekarang.

Saya mulai berpikir, rindu kampung halaman pastilah sah dan boleh-boleh saja. Tapi menangis, menggerutu, menyalahkan orang, merenungi nasib, menyendiri … bukanlah solusi terbaik dari rasa gundah-gulana yang melanda di dada “Mau pulaaaaangggg.”

Apa yang saya lakukan untuk menghibur hati ?Saya orang Indonesia. Perasaan saya, barangkali dindingnya terlalu tipis sehingga mudah robek. Banyak orang memandang Ausländer/in atau orang asing di negeri sosis ini sebagai kelas dua! Dan ini sempat melukai saya.

Oh, kelas dua? Berarti ada kelas satu? Haruskah saya naik kelas? Oh, tidak, tidak perlu. Saya ingin berada di kelas dua dengan kualitas terbaik, tak perlu naik pangkat.

Caranya? Saya berintegrasi. Ikut memperkenalkan diri saya, asal negara kita, makanan yang mengisi sel-sel darah di tubuh ini, budaya dan tradisi yang sudah sekian lama tertanam sejak lahir dan tetek bengek lainnya yang menandakan keindonesiaan dan membuktikan negeri kita memang kaya dan boleh dicontoh.

Saya taksir, guna-guna saya kepada bangsa barat, Jerman, termasuk dalam kategori lumayan bagus. Ini buktinya:

2007 – memperkenalkan masakan Jawa pada kawan dan tetangga

Ini tahun pertama saya sadar. Saya dari Indonesia. Memangnya kalau dari Indonesia tidak boleh jadi bangsa yang hebat ? Bangsa yang membanggakan ? Jawabannya kalau mau dan bisa … boleeeeh !

Itulah sebabnya, saya bangkit. Saya tidak boleh malu dan rendah diri. Saya undang para tetangga kanan-kiri, depan-belakang untuk makan di rumah kami pada tahun pertama kami (membeli sebuah rumah). Makanan yang tersedia bukan ala barat seperti yang mereka dapatkan sejak kecil. Tidak. Saya hidangkan makanan harum dari dapur mbak Gana … masakan nusantara, khususnya dari Jawa. Merekapun terbiasa. Mengundang mereka tidak hanya sekali, dua kali saja. Rutin.

[caption id="attachment_302684" align="aligncenter" width="512" caption="Makan masakan nusantara bersama tetangga dekat"][/caption] [caption id="attachment_302685" align="aligncenter" width="512" caption="Makan tumpeng bareng ibu-ibu kampung Jerman"]

13847784861036548985
13847784861036548985
[/caption]

[caption id="attachment_303448" align="aligncenter" width="512" caption="Ibu,tante&oma Jerman makan di rumah kami setahun sekali"]

13850297661019079789
13850297661019079789
[/caption]

2008 – Makan tumpeng bersama anak-anak Jerman

Saat anak-anak berulang tahun, biasanya ingin mengundang kawan-kawannya. Tak sekedar untuk mendapatkan kado tetapi juga berbagi hari (makan, bermain, lomba, bercerita dan lain-lain).

Disinilah saya memperkenalkan tumpeng kepada anak-anak Jerman. Mereka terbiasa menikmati kue ulang tahun dengan gula manis, coklat atau Marzipan warna pastel atau pelangi.

Di tempat kami itu, tumpeng membuat mata mereka terkesiap. Ini benda apa??? Bisa dimakan, ya? Tidak semua anak menyukainya. Tapi setidaknya, mereka sudah saya giring ke budaya Indonesia. Ulang tahun ? Makanlah tumpeng ! Ini ada kandungan kunyit untuk kesehatan dan kerucutnya, panjatan doa pada Yang Kuasa. Lain waktu, lumpia tetap nomor satu bagi anak-anak Jerman.

[caption id="attachment_302688" align="aligncenter" width="512" caption="Tumpeng itu apa?"]

1384778640739258498
1384778640739258498
[/caption] [caption id="attachment_302689" align="aligncenter" width="520" caption="Kerucut tumpeng, memanjat doa pada-Nya"]
1384778693404194943
1384778693404194943
[/caption] [caption id="attachment_302690" align="aligncenter" width="512" caption="Kuning kunyit, kok tidak kerucut?"]
13847787701772808495
13847787701772808495
[/caption]

2009 – mengajari anak-anak kampung di Jerman menari Jawa

Saya sudah belajar menari sejak duduk di taman kanak-kanak. Ayah, ibu dan kakak saya bisa menari. Bahkan mereka lebih gemulai dari saya. Meskipun demikian, semangat saya untuk belajar menari tak pernah padam sampai saya dewasa, bahkan hingga hari ini (sedang belajar jaipongan, Sunda, lewat youtube, hehe). Siapa mau ikut belajar ???

Itulah sebabnya, saya meminta ijin suami untuk menggunakan ruang bawah tanah yang waktu itu tidak terpakai, disulap sebagai studio tari.

Lantai kayunya digerinda lagi biar kinclong. Dindingnya dihiasi kaca-kaca besar seperti studio balet. Piala-piala dan foto milik saya saat menari, dipasang di sana-sini.

Sudah ada sepuluh anak yang mendaftar dan datang seminggu sekali. Satu anak sepuluh euro. Mereka belajar beberapa tari seperti kelinci, yapong dan merak. Setelah kelas kedua dengan anak-anak yang lain … berhenti dan studio tari berubah menjadi kantor suami! Yaaaa, sudahlah.

[caption id="attachment_302691" align="aligncenter" width="512" caption="Usai latihan menari (anak kami tidak mau ikut foto)"]

1384778815287649701
1384778815287649701
[/caption]

2010 – bantu persiapan pentas seni SD kota sebelah dengan tari bambu

Waktu itu Kelvin masih SD. Gurunya banyak bertanya tentang asal-usul saya. Maklum, tak banyak orang Asia di wilayah tempat tinggalnya. Saking tertariknya, sang guru meminta saya untuk membantu persiapan anak-anak didiknya dalam menari di pentas seni. Saya pilih tari bambu dari Indonesia dan Bonodori dari Jepang.

[caption id="attachment_302692" align="aligncenter" width="524" caption="Sebelum menarikan tari bambu "]

1384778863830485631
1384778863830485631
[/caption]

2011 – pelajaran tari Jawa untuk anak SMP dan SMA

Sewaktu Kelvin masuk OHG Gymnasium (sekolah setara kelas V-SMA eksak), saya diminta sekolah untuk mengajari tarian Asia. Saya pilih yapong dan merak untuk diajarkan kepada remaja putri. Anak-anak gadis bertubuh bongsor itu amat menyukai Yapong lantaran lebih seksi.

Seharian penuh saya menari bersama mereka. Kedua anak perempuan saya bawa, tidak rewel. Tapi, sayang … saya lupa motret !

2012 – pesta tujuh belasan di kebun rumah

Yang paling istimewa dari hari kemerdekaan bagi saya adalah adanya lomba tujuh belasan. Jaman saya masih kanak-kanak, saya sering ikut. Meski kalau menang hanya dapat buku tulis, senangnya bukan kepalang.

Kenangan itu sepertinya ingin saya tularkan kepada anak-anak. Agar mereka tahu, hari yang diawali dari proklamasi kemerdekaan oleh Soekarno-Hatta itu sedikit ada gaungnya walau berada di Jerman. Caranya? Merayakan sendiri di kebun belakang.

Hiyaaa … semua bergembira. Ada balap karung, makan krupuk, mengisi air ke dalam botol, memasukkan pensil dalam botol dan menggulung stagen (ikat pinggang orang Jawa).

Hadiahnya sederhana, barang baru yang tersimpan di almari stok rumah saya. Horeee ….

[caption id="attachment_302694" align="aligncenter" width="512" caption="Memasukkan pensil dalam botol"]

13847791071411758324
13847791071411758324
[/caption] [caption id="attachment_302696" align="aligncenter" width="512" caption="Balap karung"]
1384779149243195050
1384779149243195050
[/caption] [caption id="attachment_302697" align="aligncenter" width="512" caption="Siapa bisa cepat menggulung stagen?"]
1384779189919120440
1384779189919120440
[/caption]

2013 – pameran foto bersama Kampret dan pelajaran memasak

Sudah sejak akhir tahun 2012, saya menyusun rencana membuat pameran keindonesiaan. Foto dan benda-benda yang khas Indonesia.

Rencana akan diselenggarakan Mei 2013, diundur sampai Oktober 2013 agar banyak yang mengunjungi. Bulan dingin, biasanya banyak orang Jerman yang masuk museum. Memang terbukti, sebanyak 563 pengunjung melihat koleksi pameran.

[caption id="attachment_302698" align="aligncenter" width="512" caption="Kunjungan anak TPA (SD dan TK)"]

13847792461272803595
13847792461272803595
[/caption] [caption id="attachment_302699" align="aligncenter" width="521" caption="Penutupan pameran dengan lomba gambar "]
1384779297480644971
1384779297480644971
[/caption]

Selanjutnya, acara makan masakan Indonesi bersama masyarakat lokal, sudah sering saya lakukan. Tapi tidak untuk masak-masak. Sejak 4 tahun lalu sudah banyak ibu-ibu dan nenek-nenek yang menanyakan kapan saya memiliki waktu untuk masak bersama masakan Indonesia. Kapan, ya? Sik, sebentar.

Ternyata baru terwujud tahun ini. Tidak dengan orang dewasa tapi dengan anak-anak di tempat penitipan anak. Pasalnya, seorang guru sekolah (tempat Shenoa dan Chayenne sekolah) menelpon saya. Kami bernostalgia saat pameran. Lalu wanita berkacamata itu menanyakan apakah saya bisa datang beberapa hari lagi untuk acara masak-masak di dapur sekolah. Saya mengangguk. Kegiatan yang seru dan butuh tindak lanjut. Tidak hanya anak-anak TK dan SD itu yang ketagihan, si Nenen dan Nowi yang kebetulan saya bawa serta, mau lagi.

[caption id="attachment_302702" align="aligncenter" width="512" caption="Lumpia, paling disuka orang Jerman"]

13847793701905589344
13847793701905589344
[/caption] [caption id="attachment_302703" align="aligncenter" width="523" caption="Belajar membuat lumpia sama mbak Gana"]
13847794231950471379
13847794231950471379
[/caption]

***

Begitulah, pendul (istilah yang saya pinjam dari pak Isk di Australia, untuk menyebut penduduk Indonesia yang tinggal di luar negeri), ternyata adalah duta bangsa. Karena ketika seorang warga negara berada di luar negeri, ia tak hanya sebagai sebuah pribadi tetapi juga layaknya wakil negara Republik Indonesia. Kelihatannya terlalu menjulang tinggi, ya? Padahal tidak demikian adanya karena mengekspresikan Indonesia bisa dimulai dengan hal-hal yang sederhana seperti beberapa yang tersebut di atas.

Sesuai pengalaman, orang Jerman memandang saya, tidak hanya sebagai seorang GANA (red: Gaganawati) melainkan salah satu contoh warga dari tanah air kita … Indonesia Raya.

Nah, kalau saya saja bisa jadi duta bangsa (mengangkat diri sendiri), Kompasianer pasti tambah bisa dan tentu lebih baik lagi. Tak percaya? Silahkan mencoba dan nikmati kepuasannya. ACI.

Hmm … Apa lagi nuansa keindonesiaan yang bisa saya sebarkan di Jerman pada tahun-tahun mendatang? Semoga takberhenti hingga di sini. Kita lihat saja nanti. Mari-mari ….(G76)

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun