Jaman saya kecil, mau lebaran identik dengan beli baju baru. Begitu memiliki anak kecil, ini menjadi: usai lebaran ? Cari pembantu baru! OMG !
Entah apakah ini jamak terjadi pada keluarga lain, yang jelas itu pernah terjadi dalam kehidupan saya di tanah air. Dan sejak tinggal di Jerman, saya jadi memahami bahwa sebenarnya saya tidak perlu memiliki rasa takut kehilangan pembantu yang berlebihan, seperti waktu itu. Jerman berhasil membukakan pikiran, mata dan telinga saya lebar-lebar. « Kerjakanlah sendiri, semampunya. »
***
[caption id="attachment_278333" align="aligncenter" width="500" caption="Baby sitter pergi, ngeri?"][/caption]
Memiliki pembantu di Indonesia
Ibu saya memiliki tujuh anak. Ketika kami masih kecil-kecil, ibu meminta bantuan dua orang pembantu untuk menyelesaikan pekerjaan rumah tangga dan merawat anak-anak. Ibu yang PNS, harus bekerja hingga sore hari. Begitu pula bapak.
Ketika adik ragil sudah masuk TK, ibu memutuskan untuk tidak mempekerjakan pembantu rumah tangga. Alasannya, anak-anak (terutama kakak-kakak, semua lelaki) sudah bisa dipasrahi untuk menjaga rumah dan menyelesaikan pekerjaan rumah tangga secara bergilir atau sesuai tugasnya. Kami sudah diajari dan dianggap mandiri, sejak kelas IV SD serta selamat. Sesekali eyang kakung, eyang putri atau saudara menginap, bisa sedikit membantu.
Ketika berumah tangga, saya memang tetap menjadi wanita karir (seperti ibu saya atau layaknya cita-cita semasa muda). Pekerjaan rumah tangga diserahkan kepada beberapa pembantu, baby sitter, tukang kebun dan sopir.
[caption id="attachment_278334" align="aligncenter" width="446" caption="Pembantu yang dicarikan kawan,cocok"]



Kejadian tahunan yang selalu menjadi masalah adalah pergi ke agen untuk mengambil pembantu. Wih, mereka ini berjajar rapi, dengan pakaian yang sopan pula. Jumlahnya sekitar 15-an.
Seorang pria menyodorkan formulir pada saya, ia meminta saya melihat-lihat para wanita calon pembantu rumah tangga, dari segala usia, secara sekilas. Saya disarankan menunjuk, mana yang mau dibawa. Dipilih-dipilih-dipiliiiiiiih. Eh?
Unik, saya sebenarnya lebih menyukai mempelajari calon pembantu dari sebuah pertemuan empat mata dan membaca lamaran dan data pribadi yang ada didalamnya. Entah mengapa perasaan saya mengatakan, agen tersebut hanya sekedar menciduk orang untuk dipekerjakan sebagai pembantu rumah tangga … Asal-asalan. Disuruh main tunjuk saja.
Kata orang, memiliki pembantu itu cocok-cocokan. Kalau cocok, ya selamanya (beruntung). Kalau tidak cocok, jangankan habis lebaran, baru satu bulan masuk sudah kabur duluan ! Lagunya,huhuhuuuu … pamitan!
Dalam satu tahun misalnya, saya sudah ganti pembantu berapa kali, ya? Ada yang punya alasan pindah karena iming-iming gaji yang lebih, ada yang kabarnya tidak boleh suaminya, ada yang keberatan meninggalkan anak lama-lama, ada yang ingin buka usaha sendiri di kampung …. Baiklah.
Saya tergolong ibu-ibu yang dekat dengan pembantu. Senang saling curhat. Jaga diri itu pasti. Bukankah menilai orang bukan dari siapa dia, melainkan dari tabiatnya?
Belum lagi, sebenarnya setiap hari sabtu dan minggu, kami membebaskan mereka. Kami (saya dan suami) mengerjakan sendiri pekerjaan rumah tangga (bersih-bersih, rapi-rapi, menyetir dan memasak). Dengan alasan, agar kami terbiasa kalau pembantu pulang atau tidak kembali, dan harus mencari dengan jangka waktu yang tidak cepat. Sesekali ibunda menjenguk dan membantu.
Menjadi pembantu di rumah sendiri di Jerman
Eit … begitu harus pindah ke Jerman tahun 2006, semua harus dikerjakan sendiri. Glek. Mana demi perpanjangan visa, saya musti belajar bahasa Jerman dan tak lupa kursus menyetir, biar mandiri. Huuuuh, tetap repot meski ditemani perangkat mesin, tuh?!
Anak dan rumah, ditangani sendiri. Orang Jerman tahun 1800 an, masih mengenal Kindermädchen seperti baby sitter. Jaman modern, sejumlah rakyat negeri sosis memakai Au Pair Mädchen. Itu berarti remaja umuran tak lebih dari 25 tahun itu hanya membantu mengurusi anak-anak keluarga yang ditumpanginya, 5 jaman sehari (1 hari=24 jam). Hari Sabtu/ Minggu libur.
Atau ketika orang Jerman sudah sangat-sangat tua, akan mengundang Pfleger/Pflegerin dari Polandia ke rumah (24 jam, seharian lalu pulang ke rumah sendiri, atau datang pada jam tertentu saja selama beberapa saat). Ada juga yang masuk Seniorheim (panti jompo).
So, menjadi pembantu di rumah sendiri sudah menjadi adat kebiasaan orang Jerman. Para wanita itu pada rela melepas pekerjaannya usai melahirkan, demi membesarkan anak dan mengerjakan pekerjaan rumah tangga sendiri. Anak-anak bukanlah anak pembantu, benar-benar lebih dekat, nempel ke ibu.
[caption id="attachment_278337" align="aligncenter" width="435" caption="Ibu kerja paruh waktu,anak ikut mertua"]


Mulai dari membangunkan anak-anak, memandikan, menyiapkan sarapan pagi, menyiapkan bekal, mengantar ke sekolah, membersihkan rumah, mencuci, menyetrika, berbelanja, memasak makan siang, menjemput, membantu anak mengerjakan PR, berkebun, memasak makan malam dan mengantar anak-anak tidur.
Tak ketinggalan pekerjaan sambilan seperti renovasi rumah (misalnya mengecat).
Banyak ibu-ibu Jerman yang saya kenal, mereka itu akhirnya bekerja. Ketika anak sudah masuk sekolah, biasanya, ada ibu yang mulai mencari pekerjaan paroh waktu. Untungnya ada tempat penitipan anak di TK setempat hingga sore hari. Ada pula anak yang dititipkan orang tua/ mertua seharian selama hari kerja atau tiga kali seminggu.
***
Walhasil, ketika seorang kawan mulai menggerutu bahwa gara-gara pembantu mudik, ia tidak berkutik …
Atau saat salah satu saudara saya menangis lantaran pembantunya tidak kembali, dan harus mencari lagi hingga solusinya mengungsi ke hotel atau tempat ibunda. Aman …
Atau seorang tetangga, yang masih ramadhan sudah phobia dan geregetan soal mencari pembantu lepas lebaran ….
Saya hanya menyarankan mereka untuk bersabar, dikerjakan sendiri saja dulu satu-satu. Sebisanya, semampunya. Saya ajak mereka berempati: bagaimana rasanya jadi wanita yang tinggal di Jerman selama satu-dua abad ini, semua harus mandiri, dikerjakan sendiri. Tidak ada yang mengeluh keberatan atau sayang saat meninggalkan karir. Pembantu mudik berlaku setiap hari, seumur hidup.
Kalau wanita Jerman saja bisa … mosok wanita Indonesia kalah? Saya sering melihat tukang gendong atau kuli di pasar … bawaan mereka banyak dan besar. Kuaaaat sekali. Saya berasumsi bahwa bangsa kita, wanitanya, sebenarnya tercipta tidak hanya kuat secara jiwa tapi juga raganya. Pembantu mudik? Tetap semangat! Siap, kerjakan! (pekerjaan rumah tangga).(G76)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI