Mohon tunggu...
Gaganawati Stegmann
Gaganawati Stegmann Mohon Tunggu... Telah Terbit: “Banyak Cara Menuju Jerman”

Housewife@Germany, founder My Bag is Your Bag, co founder KOTEKA, teacher, a Tripadvisor level 6, awardee 4 awards from Ambassadress of Hungary, H.E.Wening Esthyprobo Fatandari, M.A 2017, General Consul KJRI Frankfurt, Mr. Acep Somantri 2020; Kompasianer of the year 2020.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Ada Pengemis di Jalanan Jerman

11 Juni 2013   19:25 Diperbarui: 24 Juni 2015   12:11 640
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sudah lama sebenarnya seorang kompasianer meminta saya untuk menuliskan artikel tentang orang miskin di Jerman. « Apakah ada ? » tanyanya. Ia terinpirasi tulisan kompasianer sekampung halaman, Abanggetanyo (?) babagan bule ada yang miskin di tanah air kita.

Arghhh. Ada rasa berat, karena ini ironi. Negeri yang sebenarnya sudah makmur, maju dan modern tapi masih saja didera masalah sosial seperti ini.

Bayangkan berapa pajak yang harus dibayar setiap penduduk Jerman, pendapatan negara yang dikembalikan lagi untuk kesejahteraan rakyat diantaranya untuk keluarga (tunjangan ibu, dana anak), jalan tol, kesehatan, bantuan untuk luar negeri/tetangga, pembangunan, pendidikan, para pengangguran atau Hartz IV dan masih banyak lagi.

Tetap saja, itu tak menghindari menjamurnya Obdachlose atau mereka yang berkeliaran di jalan (dari tidur sampai meminta-minta). Kalau tidak salah; Ob atau oben (atas), Dach (atap) lose (tanpa). Orang papa di Jerman? Jawaban untuk pak Toni: ada. Banyak! Bahkan jadi pengemis dan hidup dijalanan.

Dan lagi, ini mengingatkan kepada siapa saja yang tergiur untuk nekat ke Jerman tanpa bekal pekerjaan tetap atau sesuatu di tangan. Oh, nö!

***

Hari Sabtu, 8 Juni 2013, saya menjemput kompasianer Cici dan suami untuk jalan bareng ke alun-alun kota. Mumpung hari panas, jaraaaang lagi.

Ketika melewati sebuah toko terkenal, duduk seorang lelaki brewok dengan anjing besar jenis friendly bukan Shepherd. Didepannya, tergeletak sebotol minuman bersoda dan dua mangkok plastik. Satu yang besar untuk makanan anjing, lainnya lebih kecil untuk jatuhan uang koin orang yang lewat. Untuk minum hewan itu, barangkali bisa menjilat dari titik tengah alun-alun yang memiliki pompa dan genangan air. Anak-anak amat menyukai area yang ada CCTV-nya ini.

Tiba-tiba, seorang gadis remaja membuka dompet dan menjatuhkan uang ditempat yang tersedia. “Warte, Mama … ich gebe ihn Geld“ Begitu ujar gadis berambut coklat pada mamanya yang tak sabar menanti langkah sang anak. Rupanya, si anak wadon meminta ibu untuk menunggu.

[caption id="attachment_267095" align="aligncenter" width="509" caption="Obdachlose di Jerman ada dijalanan"][/caption]

Saya amati orang yang duduk dilantai itu. Tidak tahu apakah ia orang asli Jerman. Pantatnya menduduki tas ransel panjang yang ada. Wajahnya serem, bukan tipikal pengemis di tanah air yang biasanya bermuka kasihan. Bahkan pakaiannya keren, tak benar-benar lusuh/kumal tapi entah kalau bau. Badannya tinggi, tegap, berisi dan berkacamata. Saya taksir ia 170-180 meteran.

Ya. Orang itu tak hanya satu dua kali saya lihat dalam 7 tahun melewati daerah itu. Oooo … langganan yake. Hanya tempatnya kadang beda-beda. Sesekali depan toko, lain waktu dekat gereja dan seterusnya. Ngetem.

Itu di kota Tuttlingen.

***

Hari Senin, 10 Juni 2013, saya ada tugas mengajar seorang anak di bimbel kota Trossingen. Walah, namanya anak remaja. Sudah saya persiapkan materi untuk dua jam, difoto kopi segala, eeee … mbolos! Ketika dikontak sekretaris bimbel, ibunya mengatakan si anak sedang berada di alun-alun kota dan tidak mau datang. Lewat HP si anak menjelaskan enakan main skateboard. Halahhh, Nang …

Ya, sutra. Datang juga dihonor. Tapi sayamenyesal ia tidak belajar bersama saya. Ini sudah ketiga kalinya bolos! Huuuh. Kapan pintere, Leee?

Sebelum pulang ke rumah, saya mampir membeli susu untuk anak-anak. Di toko yang afiliasinya se-EU itu memiliki pemandangan lain. Seorang lelaki berkulit gosong, berlutut didekat deretan keranjang aluminium untuk belanja. Padahal hari hujan rintik, 12 derajat.

Saya pandangi, ia mengangguk. Saya potret saat ia tak melihat saya. Cekrek.

Lalu saya masuk toko. Sembari belanja, saya tak habis pikir ada pengemis yang masih terlihat juga tahun ini. Saya kira sudah sampai tahun-tahun kemarin saja. Ternyata saya salah sangka. Mereka masih ada di jalanan Jerman. Tuttlingen dan Trossingen adalah kota kecil. Satu-dua pengemis atau Dachlose tampak terlihat disana-sini. Bayangkan berapa di kota besar? Diberitakan ada paling tidak 1000 Obdachloser di Hamburg. Kota sebesar Semarang itu punya banyak program untuk mereka. Termasuk 1000 Wöhnungen atau flat bagi mereka dan sebagainya.

[caption id="attachment_267097" align="aligncenter" width="440" caption="Pengemis Hungaria di Jerman, tampak belakang"]

1370953252566681033
1370953252566681033
[/caption] [caption id="attachment_267098" align="aligncenter" width="434" caption="Pengemis Hungaria di Jerman, tampak muka"]
1370953314476951500
1370953314476951500
[/caption]

Belanja usai. Saya ingin mencari tahu mengapa ia berdiri disana. Saya ulurkan sebuah koin. Wow. Bahasa Jermannya lumayan. Bahasa Tarzan-pun menyertai :

« Woher kommen Sie ? » Saya menanyakan darimana asal lelaki melas itu.

« Ung … Unggarn » Ooo … dari Hungaria, tho, paklik. Memang kata Regina, seorang teman dari Jerman tinggal di Hungaria yang pernah kami kenal selama 11 hari liburan disana, ia ini pernah menjelaskan banyak orang Hungaria pergi ke Jerman untuk ngemis. Whatttt??? Liburan untuk meminta-minta?

Saya ternyata lihat buktinya, kemarin.

Kalimat “Haben Sie Kinder?” saya ganti dengan memperagakan tangan kanan pada sebuah batasan ketinggian anak kecil. Saya ini mau tahu apakah ia memiliki anak. Pria berambut klimis itu mengangkat tiga jarinya. OMG! Tiga!!! Saya bayangkan anak-anak kami dirumah. Apa kata mereka kalau tahu orang tuanya menjadi pengemis di jalan untuk menafkahi mereka? Masyaallah.

Saya ingin menanyakan “Wann kommen Sie nach ungarn wieder?” untuk menelisik kapan ia akan pulang menjenguk mereka. Saya gunakan bahasa Tarzan lagi. Jari telunjuk saya mengarah ke belakang dengan mengatakan “zurück … Ungarn?“

Tangan pria kurus itu mengangkat dua jari.

« Zwei Tage ? » Saya ingin memastikan. Pria berkaos panjang motif loreng-loreng itu mengangguk. Beberapa keterangan lainnya yang berhasil saya himpun adalah ia tidak mendapat sokongan dari pemda Hungaria atau Jerman dan memang sudah lama menjalani bisnis jalanan ini. Duhhhh.

Orang-orang yang lalu-lalang berbelanja, memandangi saya dengan tatapan aneh (bukan pada pengemisnya). Barangkali saya dibatin, “Oalah mbaakkk-mbak, kok kurang kerjaan ngobrol dengan pengemis“. Husshh … hussshhh.

***

Ketika saya tanyakan lagi kepada sekretaris bimbel dimana banyak para imigran juga datang untuk belajar bahasa Jerman A1-C1, wanita yang menikah dengan orang Belanda itu menjelaskan bahwa Obdachlose atau pengemis itu tak akan terjadi kalau orang yang bersangkutan tidak mau (nicht will). Banyak orang asing yang mengaku padanya, bercita-cita jadi pengangguran-lebih enak. Wong hidup juga sejahtera.

Wanita yang anaknya sebentar lagi UMPTN itu menceritakan seorang kawan karibnya, yang hidup bertahun-tahun sebagai Hartz IV. Pendapatannya 400-600€ (kali dua, karena suami- istri), sokongan dari pemda untuk tiga anak (450€), rumah gratis, listrik dibayari, kulkas, mesin cuci dan alat rumah tangga lain disumbang. Hidup serasa di surga. Untung saja perempuan itu segera mendapat pekerjaan dan tak lagi menjadi pengangguran yang disupport pemda.

Suami saya menambahkan bahwa Hartz IV itu biasanya harus lapor ke pemda. Mereka ini terdeteksi dan terdaftar dengan rapi. Pemda mencarikan daftar lowongan, mereka wajib untuk datang mencoba melamar dan wawancara. Kalau tidak mau, ya dana distop. Woooo … begitu?

Itulah mengapa ketika depsos pemerintahan Bundes Republik Jerman dikritik soal melubernya para Obdachlose ini, ada pembelaan bahwa orang jalanan itu hidup dijalan dan orang yang tidak punya. Kalau mengikuti prosedur dari ketentuan pemerintah pasti mereka tak perlu turun ke jalan. Itu karena mereka maunya begitu. Jadi tidak ada dana untuk mereka. Biasanya, alasannya karena mereka memiliki kesulitan dalam bersosialisasi didalam masyarakat.

Kenyataannya banyak program bantuan diberikan kepada mereka (khususnya saat musim dingin dibawah nol derajat yang bisa menyebabkan kematian). Digambarkan profil mereka ini separohnya adalah umuran 20-39 tahun. Laki-laki dan perempuan. Selain perceraian, sepertiga alasan para pria itu karena banyak hutang.

Oh. Ini mengingatkan saya pada kasus anjal di Semarang beberapa tahun yang lalu. Meski sudah dibuatkan tempat tapi masih pada senang di jalan sajalah. Ya, karena disana lebih bebas dan maunya orangnya begitu. Entahlah sekarang.

Jadi memang adanya pengemis di Jerman itu diciptakan oleh penduduknya sendiri bukan karena pemerintah kurang perhatian atau kurang dana. Sudah ada aturannya, kok. Banyak dana bagi orang yang pantas menerimanya. Pakem. Dan ini Jerman, bukan Indonesia. (G76).

Sumber: Pengalaman pribadi

Link:Orang jalanan jerman

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun