Mohon tunggu...
Gaganawati Stegmann
Gaganawati Stegmann Mohon Tunggu... Administrasi - Telah Terbit: “Banyak Cara Menuju Jerman”

Housewife@Germany, founder My Bag is Your Bag, co founder KOTEKA, teacher, a Tripadvisor level 6, awardee 4 awards from Ambassadress of Hungary, H.E.Wening Esthyprobo Fatandari, M.A 2017, General Consul KJRI Frankfurt, Mr. Acep Somantri 2020; Kompasianer of the year 2020.

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Rasanya Mengajar Bule Bahasa Inggris

13 Maret 2015   19:44 Diperbarui: 17 Juni 2015   09:42 875
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya pernah kuliah di jurusan Pendidikan Bahasa Inggris sampai program pascasarjana. Baru sejak tahun 2012, saya mulai mengajar bahasa Inggris di Jerman. Mengapa tidak sebelumnya? Pertama karena soal anak. Sebagai ibu rumah tangga full di Jerman, tugasnya sak hohah, banyak sekali, tak pernah habis dan tak ada yang bantu. Kenalan, kerabat tidak banyak waktu itu (beda dengan sekarang). Apalagi kalau anak masih kecil-kecil dan menyusui, belum lagi adaptasi di negeri orang....

Alasan kedua karena saya tahun awal kedatangan di negeri rantau nggak PD. Mosok orang Indonesia ngajar bahasa Inggris di Jerman? Bahasa Jerman amat penting di negeri sosis ini. Bahasa Jerman saya? Hiyy, ya ampuuun, deh. Tapi lumayanlah daripada cuma pakai bahasa tarzan.

Melamar kerjaan tanpa transkrip nilai, bisa!

Nah, setelah menginjak tahun 2012 itu, anak yang ragil sudah lepas ASI. Saya mulai mengirim lamaran dan langsung diterima. Mujur sekali nampaknya. Padahal sampai hari ini pun saya belum punya transkrip nilai, lho. Weleeeh. Cuma foto kopian, itu saja sementara. Tahun 2013 saya pernah urus di kampus UNNES di Bendhan, ternyata belum dibuat. Hah? Aneh, saya lulus tahun 2005 dan ikut wisuda tahun 2006 lalu pindahan itu. Belum jadi? Saya sudah urus katanya yang tanda tangan kepala administrasinya yang dulu pindah luar negeri. Sama. Hadoooh. Tolong, deh.

Ya, sudah. Saya tetap memberanikan diri melamar tanpa transkrip tadi. Ternyata memang tidak ditanyakan saat wawancara. Orang Jerman hanya mau tahu ijazah, rekomendasi bos tempat kerja sebelumnya dan catatan pengalaman saja.

Nah, buktinya setelah mengajar bahasa Inggris di sebuah bimbel pada tahun 2012, saya diterima di sebuah LPK pemerintah bernama VHS-Volkhochschule tahun 2014. Alasansang direktur menerima saya adalah pengalaman dalam daftar riwayat hidup yang panjang (terutama mengajar bahasa Inggris berikut surat keterangannya dalam terjemahan bahasa Jerman dan Inggris pula) dan bahasa Jerman saya yang sudah lumayanlah. Katanya ....

[caption id="attachment_402638" align="aligncenter" width="449" caption="I like Monday"][/caption]

Murid bule, sama saja

Bule adalah sebutan bagi orang asing di Indonesia. Entah itu orang Amerika, Eropa, Australia... semuanya disebut bule. Pada saat yang sama, konotasi lainnya adalah, mereka bisa cas cis cus. Benarkah kalau sudah rambutnya pirang, matanya biru, kulitnya putih mampu berbahasa Inggris dengan baik dan benar lebih dari orang Indonesia?

Image ini tiba-tiba berubah di mata saya, khususnya ketika mengajar bahasa Inggris di Jerman. Mula-mula saya dipegangi grup kelas SD-SMA. Lalu meningkat menjadi anak kuliah dan orang dewasa di bimbel. Sedangkan di VHS, saya memang khusus memilih kelas lansia dan balita. Sayang kelas balita pesertanya sedikit, sama dengan kelas bahas Indonesia, dibatalkan. Akhirnya, rasanya saya lebih mantap mengajari lansia bahasa Inggris ketimbang yang muda. Pengalaman terdahulu kan mengajari orang muda.

Mengapa? Mengajar anak muda itu sepertinya membuat saya kurang puas. Coba, kalau nilainya sudah dapat 4-5 di sekolah lalu saya harus menyulap nilai mereka jadi 2-3 dengan kursus bahasa Inggris bersama saya, gitu? Nilai tertinggi di Jerman adalah 1. Ya, amplop, mana bisa? Nilai ditentukan di sekolah. Kalau tidak belajar keras, ya nilai tetap jalan di tempat bahkan mundur ke belakang meskipun ada bimbingan dari saya, mulai speaking, writing, sampai reading comprehension. Sedangkan tahu sendiri namanya anak-anak, kalau tidak dinasehati, tidak didorong, mana mau belajar keras?

Saya sempat putus asa dan menyampaikan kepada sekretaris dan buk bos, yang punya bimbel; saya mau kukut wae, PHK. Tapi melihat anak-anak itu saya jadi nggak tega sendiri. Kasihan. Sudah orang tuanya bayar mahal, motivasi datang tiap minggu, eee... gurunya gak mau datang. Piye?

Mereka mengatakan sudah cocok sama saya, sayanya yang lemes kalau lihat nilai raportnya... gak semangat.

Lain dengan dengan lansia yang saya ajari. Mereka ini kan motivasinya pertama untuk belajar bahasa Inggris biar bisa ngomong. Sudah ada buku panduannya, CD, DVD ... mudah sebenarnya. Apalagi kami banyak praktek. Bahasa ada hubungannya dengan seberapa sering digunakan. Semakin sering diucapkan semakin bagus. Buktinya saya pernah belajar bahasa Perancis sama Jepang, tidak digunakan ya... ilang.

Kedua, bersosialisasi. Masyarakat Jerman yang majemuk (Jerman, pecahan Rusia, Turki, Asia), mereka ini memiliki budaya sendiri. Kebanyakan, tergolong individualis. Dengan kebersamaan yang tercipta, ada kegembiraan di sana. Manusia membutuhkan manusia yang lainnya. Apalagi di usia senja. Betul?

Dan mengajari bule yang belum bisa bahasa Inggris memang susah-susah gampang. Ada yang susah banget melafalkan kata atau kalimat yang diajarkan, ada yang mudah. Saya tetap sabar.

Memang bahasa Inggris saya Janglish (Jawa-English), belum pernah sekalipun berkunjung atau tinggal di negeri yang memakai bahasa Inggris sebagai bahasa ibu. Saya hanya belajar dari bangku kuliah saja dan pertemuan internasional yang saya ikuti dahulu. Sudah. Suatu hari nanti, saya ingin belajar lagi dan ke sana.

Bagaimanapun, bersyukur bahasa Inggris saya diterima murid-murid bule saya. Saya paling suka ngobrol dengan mereka. Bahasa pengantarnya tetap bahasa Jerman nih.Saya mikirnya berapa kali ya? Kadang dari mulut saya mencolot kata dari bahasa Indonesia atau Jawa, ngakak. Hahaha, dasar!

Mengajar bule lansia juga asyik, mereka ini berbagi tentang pengalaman hidup, kisah keluarganya, berbagi makanan dan minuman saat kursus dan masih banyak lagi keasyikan yang membuat saya selalu bilang pada suami saya, “I like Monday“ sebab kelas diselenggarakan pada hari Senin.

Belakangan, respon lansia bagus. Pak direktur pun menelpon saya, "... saya tambahi kamu tahun 2015 satu kelas lagi ya?" Walaaaahhhhh ... maunya cari kesibukan kalau dikasih banyak kesibukan malah kebanyakan, nulisnya bisa keter, kelabakan. Selamat sore. (G76).

Tips: Sebelum pindah ke luar negeri (sementara, jangka pendek, jangka panjang atau selamanya), pastikan Kompasianer membawa surat dokumen penting dari tempat menuntut ilmu, surat keterangan dari tempat bekerja dan surat keluarga (surat kelahiran, KK, KTP) yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa lokal di negara tujuan (dengan penerjemah tersumpah dan ditandatangani kedutaan setempat). Sesampainya di rantau, usahakan untuk mencari pengalaman pekerjaan sesering mungkin, coba dan coba lagi .... Malu bertanya sesat di jalan. Jangan lupa meminta surat keterangan pengalaman pekerjaan sebagai batu loncatan mencari pekerjaan yang diinginkan pada masa berikutnya. Selamat mencoba.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun