Mohon tunggu...
Gaganawati Stegmann
Gaganawati Stegmann Mohon Tunggu... Administrasi - Telah Terbit: “Banyak Cara Menuju Jerman”

Housewife@Germany, founder My Bag is Your Bag, co founder KOTEKA, teacher, a Tripadvisor level 6, awardee 4 awards from Ambassadress of Hungary, H.E.Wening Esthyprobo Fatandari, M.A 2017, General Consul KJRI Frankfurt, Mr. Acep Somantri 2020; Kompasianer of the year 2020.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Berapa Lamakah Orang Tua (Mertua) Boleh Menginap di Rumah Kita?

3 Januari 2013   17:23 Diperbarui: 24 Juni 2015   18:33 3416
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seorang ibu-ibu umuran 74 tahun baru saja menginap 4 hari di rumah kami (31 Desember 2012-3 Januari 2013). Ia sangat senang bahwa dibolehkan untuk tinggal bersama kami, dijamu, diajak kemana-mana, bercengkerama … meskipun kami bukan siapa-siapa, dudu sanak dudu kadang.

Ia ini sengaja kami undang lantaran ia mengeluh tak tahu harus kemana. Keempat putra-putrinya sibuk dengan urusan sendiri-sendiri. Terakhir, ia boleh menginap di rumah anak lelakinya di Zurich, Swiss, sampai tanggal 31 Desember. Setelah itu ia disarankan mencari tempat lain (entah satu dari ketiga saudaranya atau hotel). Anak lanang itu akan terbang ke Afrika bersama istri.

RA kami kenal sejak bulan Agustus lalu waktu liburan di Hungaria. Pemilik sebuah tempat penginapan dan kebun buah-buahan yang luas itu seorang janda yang telah hengkang dari Jerman lima belas tahun lamanya. Selama itu pula, hubungannya dengan anak-anak dan cucu kurang lancar. Sibuk sendiri-sendiri.

Sepeninggal suaminya, rumah yang diatasnamakan anak mantu perempuannya (lantaran yang boleh membeli tanah di daerah pegunungan itu hanya orang lokal) ingin dijual. Susah memang. Pertama karena tak ada calon pembeli dari Hungaria yang bisa membayar rumah dan kebun yang luas itu. Kedua, ini bukan atas nama almarhum suami RA, atau RA sendiri, melainkan nama orang lain. Orang itu adalah anak menantu perempuan asal Hungraia, yang telah bercerai dengan anak lelakinya.

Mendengar masalah ini, keempat anak RA angkat tangan. Ibu RA sebenarnya ingin kembali ke kampung halaman di Jerman untuk menghabiskan hari tua. Lelah rasanya harus mengurusi penginapan dan kebun. Wis titi mangsane, tapa brata. Dari obrolan dengan si ibu, ada keinginan yang tersembul dari perasaannya, andai anak-anak yang dibesarkan berkata; „Ibu, tinggallah sekota dengan kami, jadi kalau ada apa-apa kami bisa bantu“ atau „Ibu, rumah dan kebun itu terlalu besar untukmu. Kami menyemangati bahkan mau bantu untuk menjualkannya dan mencoba berbicara dengan ipar untuk mau tanda tangan penjualannya agar lancar“ dan seterusnya.

Ia bisa saja menyewa kamar di Seniorheim, Altenheim atau panti jompo sejenis di Jerman. Selain ia sangsi pensiun 1100 Euro tak akan pernah cukup, tanpa uang dari penjualan rumah, ia juga masih ingin mandiri dulu selagi bisa. Katanya ia ingin menyewa atau membeli Wohnung alias flat saja. Wanita berbadan tinggi besar itu belum merasa tua. Ada rasa nyaman kalau ada keluarga di sekitar tempat tinggalnya, meski harus sendirian. Tak harus serumah. Maksudnya njagani kalau ada apa-apa itu, loh. Lah, ini kok nggak ada ….

[caption id="attachment_233342" align="aligncenter" width="264" caption="Semoga tak satupun orang tua di dunia yang terlantar di usia tua"][/caption]

***

Dari cerita itu, membuat saya berfikir nan bertanya-tanya, jaman sakini … boleh berapa lamakah sebenarnya orang tua menginap di rumah anak-anaknya yang telah mentas, mandiri, berkeluarga? Kalau mertua mungkin, saya pikir, sekatnya lebih ketat lebih pendek masa menginapnya. Kalau anak sendiri, sepertinya agak longgar bagi orang tua untuk tinggal selama-lamanya? Barangkali belum tentu, ya?

Seingat saya, nenek dari garis ayah, sebelum beberapa hari opname dan meninggal di RS, berbulan-bulan telah tinggal di rumah kami. Beliau juga menginap dalam hitungan bulan di tempat pakdhe, tante, om dan seterusnya. Maklum, anaknya dahulu 11, ingin berbakti semua. Membalas budi orang tua ketika usia tak lagi muda.

Begitu pula dengan nenek dari garis suami saya. Beliau meninggal di rumah, usai dirawat tahunan oleh ibu mertua saya. Sebagai anak ragil, ibu mertua ingin mendarmabaktikan dirinya merawat si ibu yang sudah tak bisa lagi apa-apa itu. Tak mudah, loh, mengurusi orang jompo itu. Mereka jadi seperti anak-anak, berat dan lelah. Saya pernah mencoba beberapa hari ikut bantu merawat tetangga jompo, badan pegal semua. Yah, badan mungil kayak saya begini juga beratlah angkat junjung orang kalau si nenek mau BAB, BAK, tidur dan seterusnya. Mungkin itu sebabnya banyak anak-anak yang telah mandiri, enggan merawat orang tua (lansia) sendiri.

***

Ini nilai-nilai kemanusiaan yang mulai hilang, kata RA pada saya. Bahwa jaman sekarang, anak-anak mulai berfikir rasional untuk membuat orang tuanya yang sudah lanjut usia untuk hidup mandiri saja tanpa bantuan anak-anaknya dan tak mengganggu kehidupan anak-anak yang telah dewasa itu. Dunia lain. Jika sudah tidak bisa apa-apa dimasukkan ke panti jompo sajakah?

Tetapi ingatkah anak-anak yang telah dewasa, bahwa saat ada didalam kandungan sampai dibesarkan dan berdiri sendiri di atas kedua kaki masing-masing itu juga masa-masa sulit bagi orang tua? Saya jadi mengerti jika ada pepatah mengatakan „Cinta orang tua kepada anak itu sepanjang masa, cinta anak ke orang tua hanya sepanjang galah.“

[caption id="attachment_233340" align="aligncenter" width="335" caption="Cinta orang tua sepanjang masa ...."]

1357232639603416095
1357232639603416095
[/caption]

Saya sedih, resah dan takut lantaran jarak dan bea terbentang antara Indonesia –Jerman. Kedua orang tua saya lambat laun, menua. Kekhawatiran tak bisa merawat mereka sangat besar. Tangan dan kaki saya pendek.

Betapa indah kalau kami tinggal berdekatan. Saling mengunjungi, saling membantu, seperti dahulu. Itulah mengapa, RA saya tawarkan untuk tinggal di kota kami, atau di kota sebelah jika tak tahu harus kemana. Kami semoga bisa banyak membantu dibanding ketika RA berada jauh dari kami. Kalau tidak bisa merawat orang tua sendiri, merawat orang tua orang lain yang membutuhkan pertolongan dan dekat, saya pikir juga sama saja. Barangkali, karma baik akan diterima orang tua saya, ada yang merawatkan ketika saya menghilang.

Oh. Saya tak boleh buru-buru menyalahkan keempat anak-anak RA atau siapa saja yang tak bisa merawat orang tua di usia uzur. Kalau memang tak ada waktu, tiada keinginan untuk merawat orang tua seperti ibunda RA di usia senja, mungkin bisa sedikit dipahami. Orang pasti punya pemikiran yang berbeda dan itu sah-sah saja.

Apalagi untuk merawat lansia itu (bahkan sampai menginap lama) banyak faktor yang harus diperhatikan:

1.Seberapa pengertiankah dan integritas antara yang merawat dan dirawat ?

2.Sampai di tingkatan kesabaran manakah antara yang merawat dan dirawat?

3.Bagaimana konsekuensi managemen waktu diantara yang merawat dan dirawat agar tidak saling mengganggu?

4.Apakah ada aktivitas yang tepat yang bisa diikuti oleh yang dirawat (klub, pertemuan, pesta, arisan dan lain-lain) demi terjalinnya lansia dengan kontak sosial dalam masyarakat sehingga tidak terkucil dan merasa dunia hanya selebar daun kelor?

5.Bagaimana kondisi kesehatan psikis dan fisik dari yang dirawat? Apakah bisa dirawat sendiri atau pakai ahlinya?

6. Apakah jarak dan waktu antara tempat tinggal yang merawat dan dirawat (jika tidak serumah) bisa dijangkau?

7. Ada lagi? (G76)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun