Saya mengenal sebuah tradisi bernama Kaffee trinken itu, dari Jerman. Kebiasaan minum kopi/teh ditemani kue/kek tidak ada dalam sejarah budaya Jawa yang saya kenal sejak lahir. Ngertinya cuma jajan pasar seperti cenil, kue lapis, ganjel ril, kue maha, onde-onde, carabikan dan sebagainya, yang dimakan saat arisan keluarga, arisan RT, kenduren dan lainnya. Oiii, lezatnyaaaa … jadi kangen Indonesia.
[caption id="attachment_229538" align="aligncenter" width="622" caption="Tukang roti mengajari anak bikin kek natal"][/caption]
Belajar membuat kue/kek
Saat pertama kali tinggal di Jerman, pernah ada sebuah rasa malu yang muncul di hati karena saya tidak pandai bikin kue/kek dan memang ibu saya juga tidak. Seingat saya, ibu hanya tiga kali mengajari saya membuat kue saat remaja; sentiling (kue ketela pohon), kue bolu loyang dan bolu kukus. Ya sudah, itu saja. Sebagai wanita karir kala itu, beliau memang tidak punya banyak waktu luang, tak sering memasak istimewa, masak hanya sebuah kebutuhan pokok saja. Seterusnya, membuat kue/kek bukanlah hobi beliau.
[caption id="attachment_229547" align="aligncenter" width="498" caption="Beragam kek natal Jerman yang saya coba"]
Tinggal di Jerman, belajar bikin kue/kek!
Malu bukan berarti tak boleh maju. Lambat laun, saya mulai belajar sendiri untuk membuat kue/kek lewat resep di buku/internet (trial and error). Alah bisa karena biasa. Kue apel, kue Blackforest, kue Marmor, kue Fastnacht, kue coklat, kue kacang, kue pisang dan beragam kek Jerman. Sehingga ketika kami harus menjamu tamu pada sore hari (biasanya pada akhir pekan), tak hanya menawarkan lumpia dan pisang goreng dari tanah air saja, juga tidak usah membeli kue di toko roti yang mahal, melainkan menghidangkan kue/kek hasil sendiri. Ada kebanggaan yang hadir di hati dan sebuah garansi akan kesehatan makanan yang dikonsumsi.
Hmmm … saya heran, kaum perempuan di Jerman kok kebanyakan jago bikin kue/kek/roti ya? Tak peduli berapa usia mereka, dari kasta mana dan latar belakang pendidikannya gimana. Semua pandai menyuguhkan penganan dari dapur sendiri. Ck ck ck … bukan generasi instan. Ini semakin terlihat diacara amal di sekolah (pas natal, musim panas, festival sekolah, perayaan klub kota setempat dan lainnya) dimana para ibu diharapkan membawa satu Loyang kue/kek. Byuh byuuuhh … kelihatan talenta masing-masing ibu.
Saya tak pernah bertanya mengapa seperti itu adanya hanya saja dari pengamatan bertahun-tahun, sudah turun temurun memang, misalnya dari keluarga kami ; nenek buyut suami ditularkan ke nenek lalu kepada ibunya dan diteruskan kepada suami saya (karena tak ada anak perempuan). Begitu pula dengan ibu-ibu Jerman yang saya kenal. Biasanya yang pintar membuat kue/kek, ibundanya juga sama, turunan.
[caption id="attachment_229539" align="aligncenter" width="560" caption="Tart coklat pisang bikinan suami, lezat"]
Mengajak anak masuk dapur
Itulah mengapa, selain mengajak anak-anak masuk dapur saat saya memasak (meski hanya menuangkan bumbu, mengiris, mengupas atau sekedar mengaduk, kami juga membuat kue/kek bareng-bareng (Muffin, crepes, Waffel, kek paskah, kek natal, lumpia, martabak, donut, dan sebagainya). Setelahnya, be-ran-tak-an … waaaaaaaaaaaaduh, tepok jidat. Giliran kegiatan merapikan dapur bersama bikin capek tapi senang.
[caption id="attachment_229540" align="aligncenter" width="346" caption="Buat crepes bareng-bareng"]
Pelajaran memasak di sekolah
Kemudian saat di taman kanak-kanak, sering digelar kelas memasak lho, yang tak hanya bikin omelet atau mi Jerman saja tapi juga kue/roti/kek seperti Muffin, kue labu, kek natal, kek paskah dan masih banyak lagi. Anak-anak suka heboh cerita dapat Stern Stunde (hari istimewa dimana anak yang ditunjuk diperbolehkan untuk masak/berhias/buat prakarya) itu. Dokumentasinya diabadikan dalam sebuah buku lengkap dengan keterangan dan gambar. Dikumpulkan hingga anak lulus taman kanak-kanak. Amboiiii … senang sekali membuka-buka halamannya.
Kursus membuat kue/kek tahunan di toko roti setempat
Selain itu beberapa toko roti menggelar acara membuat kek bersama anak-anak umuran TK-SD. Tak peduli laki atau perempuan, semua dikirim orang tuanya untuk belajar membuat kek. Begitulah yang saya rasakan disini, dapur bukan monopoli kaum perempuan saja karena laki-laki tak tabu masuk kawasan ini. Olive misalnya, anak kelas satu SD ini mengatakan bahwa ia semangat mengikuti kursus dua jam membuat kek lantaran ingin melebihi kemampuan sang mama dalam membuat kek natal. Lain lagi dengan Mark, bocah lanang umuran 4 tahun itu bilang dengan senang hati mengikuti masak-memasak di toko roti itu karena nanti bisa menikmati hasil buatannya sendiri sampai habis. Belum lagi Anastasia, 5 tahun. Gadis pirang itu mengatakan bahwa ia sering membuat kek/kue/roti bersama Oma saat dikirim orang tuanya untuk menginap di akhir pekan. Pengetahuan memasaknya ini ingin ia asah bersama teman-teman seusia, lebih seru katanya. Saya hanya terpana. Kesempatan itu belum pernah saya miliki waktu kecil. Saya tak ingin menciptakan Gana-Gana yang lain. Gana yang tak pernah belajar bikin kue/kek/roti dimasa kecil, biasa beli dari toko/warung ... habis perkara. Kini saya memang telah belajar karena memang harus bisa! Dan bisa kok meski tak pintar-pintar amat, rasanya juga nano-nano. Tak ada kata terlambat untuk sesuatu yang baik.
[caption id="attachment_229542" align="aligncenter" width="414" caption="Pelajaran pertama kek natal; taburkan tepung dimeja"]
Nah, tak rugi saya kirim ketiga anak kami. Mereka memang terbiasa membuat kue/kek bersama saya, tetapi jika ada ahlinya si tukang roti jadi lebih afdol, mengapa tidak? Bea yang dipatok per kepala toh hanya 10 euro sudah mendapat celemek gratis, penutup kepala, bahan-bahan dan kue bisa dibawa pulang. Alat-alat seperti telenan, penggiling dan cetakan dibawa dari rumah masing-masing. Acara tahunan menjelang natal bagi anak-anak. Ide yang kreatif nan inspiratif.
[caption id="attachment_229546" align="aligncenter" width="377" caption="Habis dipanggang,bawa pulang. Senaaaang!"]
Ah … anak-anak, mereka amat menikmati dan menyukai membuat kue/kek/roti ini beda sama jamannya saya kecil ya? Selain melestarikan budaya membuat kue/kek/roti daerah secara turun temurun, kebiasaan memasak bersama mereka atau lewat kursus juga meningkatkan rasa kebersamaan dan kerjasama dalam sebuah tim, ketika membuat makanan bersama saya, teman sebaya dan gurunya itu. Lagian, budaya tak harus jajan kalau ingin nyemil makanan, juga terselip dalam acara mengajari membuat kue/kek ini. Alasannya mereka jadi lebih bangga melahap masakan/makanan buatan sendiri meski kadang bentuknya tak sempurna rasanya kemana-mana. Mari membuat kue/kek bersama anak. Pegangan jari atau tangan dalam bis kota, dengan anak laki-laki atau perempuan sama saja. Seru, lho ya! (G76).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H