Mohon tunggu...
Gaganawati Stegmann
Gaganawati Stegmann Mohon Tunggu... Administrasi - Telah Terbit: “Banyak Cara Menuju Jerman”

Housewife@Germany, founder My Bag is Your Bag, co founder KOTEKA, teacher, a Tripadvisor level 6, awardee 4 awards from Ambassadress of Hungary, H.E.Wening Esthyprobo Fatandari, M.A 2017, General Consul KJRI Frankfurt, Mr. Acep Somantri 2020; Kompasianer of the year 2020.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Di Budapest, Zebra Cross Itu Tempat Menyeberang

27 November 2012   15:36 Diperbarui: 24 Juni 2015   20:35 2268
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Zebra crossing atau disebut zebra cross, merupakan tempat menyeberang, misalnya banyak digunakan oleh para pejalan kaki. Pada intinya, negara-negara diseluruh dunia mengoleskan cat bergaris strip dengan lebar 40-60 cm. Warnanya yang hitam putih itu mirip penampakan hewan Zebra dari Afrika. Ya. Masing-masing memiliki ciri tersendiri; dengan tanda larangan parkir disebelahnya agar penyeberang terlihat jelas oleh mobil yang lewat tak ubahnya di Indonesia dan UK, pakai crossing guard (lollipop men/women) seperti di Amrik, ada tong warna kuning di kanan kiri dan rambu-rambu bundar nan kuning bergambar kaki hitam layaknya di Australia, atau dengan pencetan untuk membuat lampu bangjo merah kayak di Jerman.

Eits. Meski bentuk dan fungsinya sama, cara pandang masyarakat kita amat berbeda terhadap Zebra cross ini. Padahal kota tercantik sedunia (no berapa?) dan terkenal seperti Budapest saja misalnya, mampu memberikan ruang yang aman bagi penyeberang (dari segala penjuru dunia).

Bagaimana dengan di Indonesia??? Pasti banyak pengalaman pait melewati Zebra cross ini. Dag dig dug derrrr ….

[caption id="attachment_226198" align="aligncenter" width="481" caption="Zebra cross di depan Buda Siklo"][/caption]

Menyeberang di zebra cross Indonesia tak aman

Tahun 2010 yang lalu saya sempat sport jantung hanya gara-gara menyeberang jalan di zebra cross tanpa lampu merah. Kota Semarang yang telah saya tinggalkan hanya dalam hitungan jari itu, ternyata makin sesek jalanan dan semakin buas pengendaranya. Ngiengggg … ngieeeenggg … ngieeeeeenggg. Mobil dan motor itu tak mau kalah. Kesannya malah mau nabrak. Emangnya pada keburu ke toilet apa ya?

Saya yang waktu itu mendorong kereta anak, sempat kerepotan. Duh Gusti, rumah saya jauhhhh kalau saya kesrempet repoooot pasti. Suami saya bisa bilung (bingung dan ling lung). Jangan deh.

Gara-gara pengalaman itu, saya lebih suka lari secepat kilat sembari tangan kiri melipat kereta, tangan kanan menggendong anak. Yang besar sudah siaga, lari sendiri. Walahhh … mau nyebrang saja kayak mau ngejar maling.

Bukankah sudah ada UU no 22 tahun 2009 tentang zebra cross yang bisa mendenda orang sebesar Rp 500.000 jika menabrak orang di zebra cross sehingga harus berhati-hati saat ada yang melewatinya?

Miris. Aturan kok untuk dilanggar.

Yup. Itu baru zebra cross di kota sebesar Semarang (1,5 juta penduduk), bagaimana dengan kota Indonesia yang lebih besar layaknya Jakarta dan Surabaya? Wah wah … saya takut lebih parah … Oh no! Semoga kalau saya mudik, keadaan sudah berubah. Zebra cross bukan hiasan aspal belaka.

Kota cantik milik dunia, Budapest, zebra crossnya nyaman

Setelah anak kos kami dari Budapest tahun lalu kembali, giliran tahun ini kami mengunjungi keluarganya. Bersilaturahmi.

Kami dijamu penganan khas Hungaria, sup Gulasch ayam dan Paprika serta mie bundar, agak mirip Bulgur tapi besaran dikit.

[caption id="attachment_226199" align="aligncenter" width="487" caption="Lezatnya makanan khas Hungaria"]

13540297051192625753
13540297051192625753
[/caption]

Usai urusan perut kelar, kamipun jalan-jalan ke pusat kota Budapest. Mulai dari jembatan Wilhelm, gedung parlemen, Buda dan seterusnya. Wisatawan yang terlihat tak hanya dari Eropa, tetapi juga Asia, Amerika dan Afrika. Benar-benar kotanya dunia semua orang mau melihatnya.

Ketika hari makin remang-remang, kami memutuskan untuk pulang mencari tempat makan. Jarak antara parkir dan tempat wisata memang agak jauh. Kamipun jalan kaki. Ketika menyeberang, saya amat memperhatikan cara pemakai jalan lainnya (mobil dan motor) mengutamakan kenyamanan kami yang pakai kaki. Mereka sudah mengurangi kecepatan jauh sebelumnya dan berhenti dengan elegan beberapa cm didepan garis Zebra cross. Sip, meski tak ada lampu merah, rela agak di break perjalanannya. Saya tak usah terburu-buru, jalan biasa saja.

[caption id="attachment_226200" align="aligncenter" width="605" caption="Yang nyebrang tak hanya pejalan kaki, becak dan sepeda juga"]

1354029789614728993
1354029789614728993
[/caption]

[caption id="attachment_226205" align="aligncenter" width="472" caption="Mobil sabar berhenti didepan zebra cross dibawah Buda Siklo"]

1354030431691144909
1354030431691144909
[/caption]

Setelah itu kami menuju gang kecil dimana tempat berjalan diperuntukkan hanya untuk sepeda dan pejalan kaki (dengan gambar berwarna kuning berwujud sepeda dan orang diatas aspal). Kalau di Jerman kami biasa melihat gambarnya adalah perempuan memakai rok dengan menggandeng anak. Di Hungaria, kok gambarnya bapak-bapak memegang tangan anak? Budaya patriarki? Atau justru menghargai wanita bahwa tugas mengurus anak adalah juga punya ayah?

[caption id="attachment_226207" align="aligncenter" width="540" caption="Jalur khusus sepeda dan pejalan kaki"]

1354030855989267515
1354030855989267515
[/caption]

Kemudian, kami melewati sebuah plang yang mengingatkan akan sesuatu yang ehem ... ketek. Tertulis siketek sport klubja. Saya tak paham bahasa Hungaria. Hanya beberapa kata dasar saja. Pikiran saya membayangkan bahwa itu adalah klub olah raga para ketekwan dan ketekwati. Xixixi.

[caption id="attachment_226203" align="aligncenter" width="544" caption="Klub apakah ini?"]

13540302891773185788
13540302891773185788
[/caption]

Oh ya. Di jalanan Jerman, saya merasa amat nyaman dengan etika para penggunanya. Kadang zebra cross ada yang dilengkapi dengan lampu bangjo sih. Ada pencetannya segala, yang bisa dideteksi seorang yang buta sekalipun (dengan bunyi khas tek tek tek tek … bukan ketek loh).

Sekalipun tak ada lampu merah, masing-masing mobil sudah dari jauh memperlambat tempo dan memiliki jarak yang cukup untuk memberikan tempat bagi pejalan kaki menyeberang dengan baik dan benar. Seneng banget, merasa dihormati. Kadang-kadang saya menghormati balik dengan menganggukkan kepala tanda terima kasih. Danke, meine Damen und Herren ….

***

Begitulah pengalaman saat berada di Budapest. Kota yang tak hanya milik Hungaria tapi seluruh dunia. Kalau kota sebesar Budapest saja bisa memahami arti dan manfaat zebra cross, mengapa kita bangsa Indonesia yang mengenal dan terdidik sekali soal budi pekerti luhur dan sopan santun sejak jaman nenek moyang, tidak menerapkannya di tanah air?

[caption id="attachment_226204" align="aligncenter" width="500" caption="Kring kring gowes-gowessss"]

13540303701218681766
13540303701218681766
[/caption] [caption id="attachment_226206" align="aligncenter" width="466" caption="Trem, pemakai jalanan (yang lambat) di Budapest"]
13540305211519315082
13540305211519315082
[/caption]

Mari-mari saling menghormati sesama pengguna jalan (mobil, motor, angkutan umum, pejalan kaki, sepeda, becak dan sebagainya). Tidak ada yang lebih tinggi dan tidak ada yang lebih rendah, semua sama-sama memiliki hak untuk selamat berada di jalan. Zebra cross di Budapest benar-benar tempat menyebrang yang aman. Sebaiknya demikian adanya dengan di Indonesia. (G76)

Sumber:

1.Pengalaman pribadi

2.http://en.wikipedia.org/wiki/Zebra_crossing

3.http://id.wikipedia.org/wiki/Lalu_lintas

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun