Pohon bakau atau disebut Mangrove adalah tanaman air asin yang memiliki akar kayu yang nongol ke permukaan tanah. Biasanya mereka ini hanya hidup di daerah tropis seperti di Kuba, Brasil dan tentunya … Indonesia.
Tanaman ini dikatakan bermanfaat untuk melindungi abrasi laut, ombak besar, tsunami dan menjadi tempat bagi ikan dan udang berkembang biak. Sebuah upaya penanamannya ikut mengerem global warming di bumi ini.
Berkenaan dengan peringatan hari pohon sedunia 21 November 2012, Indonesia International Workcamp mengundang para relawan seluruh dunia untuk bergabung menanam pohon bakau di pantura Semarang pada bulan Agustus-September 2012 yang lalu.
Mengapa bule-bule itu tertarik untuk menanam pohon mangrove dan apa saja pernak-pernik yang ada selama kegiatan ini?
[caption id="attachment_226437" align="aligncenter" width="509" caption="Bule dan lokal tanam bakau sama-sama"][/caption]
***
IIWC sudah memulai menanam bakau sejak tahun 1999. Waktu itu didaerah Tapak, Semarang. Pesertanya dari Jepang dan Indonesia. Kalau tidak salah setiap relawan asing waktu itu dikenai bea 100 dollar (untuk kas LSM, akomodasi, piknik, asuransi, perijinan dari tingkat RT-Polri, donor kegiatan dan alat/media yang dibutuhkan) dan peserta Indonesia sekian rupiah (hanya untuk perhitungan makan barang 2 mingguan). Kemudian dari tahun ke tahun pastilah naik. Hari ini sudah mencapai 185 euro untuk relawan asing dan Rp 400.000 untuk lokal.
Nah. Melihat animo orang asing dan masyarakat lokal yang tinggi dalam menanam tanaman ini, LSM tersebut mengadakannya secara rutin (1-2 kali setahun). Kerjasama dengan pihak-pihak yang berkompeten soal tanam menanam bakau pasti ada. Ribuan bibit itu telah dijamah dan dibenamkan relawan dengan baik dan benar, penuh tanda kasih dan cinta.
[caption id="attachment_226438" align="aligncenter" width="523" caption="Bercocok tanam bakau dengan baik dan benar"]
Mengapa bule seneng nanam bakau?
Pada awalnya, peserta asing hanya dari Jepang, mengingat partner yang juga founder LSM yang bersangkutan itu memang amat erat. Seiring dengan waktu yang berlalu begitu cepatnya, peserta yang ikutan kegiatan nanem pohon itu tak hanya dari Asia (Jepang, Korea) tetapi juga dari Eropa dan Amerika.
[caption id="attachment_226439" align="aligncenter" width="523" caption="Dari Jepang"]
Banyak alasan mengapa bule itu bela-belain nanam bakau di Indonesia. Kurang kerjaan? Bukan. Mereka ini tertarik dengan program lingkungan saking pedulinya pada negeri kita yang banyak kehilangan pohon (di pantai atau hutan misalnya). Jempol! Darling(sadar lingkungan)-nya memang tinggi. Kabarnya ini juga untuk anak cucu orang sedunia, tak hanya turunan Indonesia. Lah iya lah … terima kasih.
[caption id="attachment_226440" align="aligncenter" width="523" caption="Saking Irlandia"]
Kedua, mereka tertarik dengan rangkaian program yang mengikuti penanaman bakau itu. Antara lain adalah pendidikan dan penyuluhan lingkungan ke sekolah-sekolah terdekat (dekat base camp). Interaksi dengan anak-anak Indonesia yang murah senyum pepsoden dan gampang tertawa bebas (saya kira ini tipikal Asia). Atau cultural exchange, yang mencoba memperkenalkan budaya bangsa timur kita kepada rakyat barat (membatik, main alat musik tradisional, menari, bahasa Indonesia, menyanyi lagu anak Indonesia dan lainnya). Tak ketinggalan seminar, perlombaan dan masih banyak lagi.
[caption id="attachment_226442" align="aligncenter" width="523" caption="Asal Jerman"]
Ketiga, promosi masing-masing organisasi pengirim (negeri asal) yang gencar dan dahsyat. Biasanya mereka tak hanya memasang di web site tetapi juga melalui madding, pamflet, booklet, pertukaran relawan jangka panjang (M/LTV) dan teman-temannya.
[caption id="attachment_226443" align="aligncenter" width="510" caption="From France"]
Hidup relawan selama menanam bakau, ala kadarnya
Sebelum tiba di tanah air buat tanam bakau, mereka sudah berkorban dulu bayar uang pendaftaran kepada organisasi pengirim dan atau organisasi penerima (yang 185 euro tadi), belum lagi mengeluarkan tiket pesawat PP yang rata-rata ribuan euro itu. Jarak bermil-mil dari tempat tinggal mereka ke Indonesia, melelahkan, terkungkung di badan pesawat. Belum lagi perbedaan temperatur udara yang pasti bikin orang asing adus kringet, basah oleh keringat karena saking panasnya khatulistiwa, kerasnya bekerja dan lembabnya udara. Issue yang paling bikin mereka deg-degan hingga tak lupa bawa obat-obatan untuk menangkalnya adalah; malaria dan sampah. Duhhhh … sampahhh! Iya kan kotor, bikin sakit perut karena banyak lalat mampir ke makanan hingga memasuki rongga perut. Mencret dah.
Tempat tinggal mereka biasa disebut base camp. Ya tak kayak camping beneran sih. Yang ketamuan biasanya tak harus pak lurah seperti di kegiatan KKN universitas, tapi siapa saja keluarga yang bersedia untuk ditinggali dan memiliki tempat yang cukup untuk menampung barang 1-2 minggu. Biasa diganti bea air dan listrik saja oleh panitia.
Oh ya. Tempat tidurnya hanya beralas tikar. Bantalnya adalah tas/backpack masing-masing. Relawan asing biasa bawa sleeping bag sih tapi dipakai untuk alas saja wong sumuk! Biasanya putra dan putri dibagi dalam kamar yang berbeda, takut ada jari-jari.
Untuk acara makan-makan, mandi dan bersih-bersih dijadwal tiap anggota. Kadang makanan dicampuri masakan asing dari negara peserta (miso sup, teriyaki, Pfankuchen, salat, roti), meski seringnya masakan Jawa (nasi, krupuk, ikan asin, sayur asem, sop, jangan bening dan seterusnya). Doyan nggak doyan, makan! Hak!
Karena dari beragam bangsa, bahasa yang digunakan peserta dengan usia 18-30 an itu adalah bahasa Inggris (tak peduli dari level basic, middle atau advance). Seru! Kadang dibumbui bahasa-bahasa dari masing-masing peserta. What a cross cultural exchange! Tak heran jika orang Perancis mau tanam pohon bakau menyemangati peserta asing lain dengan mengatakan Gambate kudasaii. Bahasa Jepang itu ditularkan oleh peserta dari Jepang. Atau ketika semua peserta asing bisa mengatakan “Selamat pagi”, “Terima kasih”, “Saya relawan” dan sebagainya.
***
Hingga tahun ini sudah sedikitnya 150.000 pohon mangrove yang ditanam relawan asing dan lokal. Selama lima tahun pohon yang tertanam bisa jadi rusak, menghilang atau bahkan sebaliknya, beranak pinak. Kegiatan menanam bakau itu semoga akan terus berlanjut dan tak kan pernah padam semangat yang ada.
Mari-mari peduli lingkungan di sekitar kita. Kalau orang asing saja sudah berkorban materi (duh total berapa ribu euro tuh), jiwa dan raga demi menanam bakau di Indonesia … tentunya kita sang pemilik tanah tumpah darah bisa melakukan lebih baik lagi. Semoga. (G76).
„Mari lindungi mangrove, maka mangrove akan melindungi kita.“
P.s: Semua foto hasil screen shoot saya ke youtube punya IIWC yang dikirim linknya via FB.
Sumber:
1.Pengalaman pribadi
2.http://de.wikipedia.org/wiki/Mangrove_(Baum)
3.http://iiwcindonesia.wordpress.com/
4.http://www.youtube.com/watch?v=-Kjjj3kSxJ4&feature=BFa&list=UUI4l15_1E4LyhY9c7XDPOTA
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H